Suara.com - Upaya pencegahan kekerasan pada anak disebut "terlupakan" selama pandemi Covid-19 merujuk pada meningkatnya kasus kekerasan yang mencapai 11.200 lebih pada tahun 2020, lebih banyak dibanding tahun sebelumnya.
Tapi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menampik anggapan itu dan justru menilai peningkatan itu berarti pihaknya berhasil mendorong masyarakat untuk ikut terlibat dalam melaporkan kasus kekerasan pada anak sehingga tidak lagi ditutup-tutupi.
Salah satu kasus yang menjadi perhatian publik, yakni dugaan pemerkosaan dua anak kecil oleh tujuh pelaku yang merupakan keluarga dan tetangga korban di Padang, Sumatera Barat, sedang ditangani kepolisian. Mereka terancam hukuman hingga 15 tahun penjara.
- Perkosaan anak: Korban pelecehan seksual dalam keluarga di Indonesia terjebak di tengah pandemi Covid-19
- 'Pandemi kekerasan seksual' di kampus dan Permendikbud 30: Mengapa 'tanpa persetujuan korban' dimaknai 'pelegalan kebebasan seks'?
- Kejahatan seksual anak: Mahkamah Agung India batalkan putusan bebas hakim Pengadilan Tinggi atas pelaku yang meraba-raba bocah 12 tahun
Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi di Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Jasra Putra, menyebut pencegahan kekerasan pada anak baik dalam bentuk fisik dan psikis, tak menjadi perhatian serius pemerintah saat pandemi Covid-19 melanda.
Baca Juga: Polda Jatim Sebut Santriwati Korban Dugaan Perkosaan di Mojokerto Bertambah
Itu nampak dari dialihkannya anggaran di pusat maupun daerah untuk pemulihan ekonomi. Sementara dana untuk organisasi perangkat daerah yang melakukan promosi pencegahan, dipotong bahkan ada yang distop.
Padahal ketika kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diberlakukan, potensi kekerasan pada anak besar kemungkinan terjadi di dalam rumah. Sebab mayoritas pelaku kekerasan merupakan orang terdekat.
Dalam satu survei yang digelar KPAI, kata Jasra, dari 14 ribu orangtua yang ditanya, cuma 30% yang tahu bagaimana mengasuh anak secara baik.
"Situasi rumah yang tidak ideal itu pada akhirnya anak-anak jadi pelampiasan kekerasan, baik fisik dan psikis. Kalau keluarga ini tidak diintervensi kondisinya semakin parah. Padahal keluarga adalah benteng utama perlindungan anak," ujar Jasra Putra kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (18/11).
Menurut Jasra, situasi kekerasan pada anak saat pandemi "semakin parah" apalagi dengan tidak ditopang oleh program, anggaran, dan sumber daya manusia yang mumpuni.
Baca Juga: Santriwati Korban Dugaan Perkosaan Pengasuh Ponpes di Mojokerto Trauma Berat
Karena itulah dia mendesak pemerintah agar perhatian pemerintah tak cuma pada pemulihan ekonomi ketika kondisi pandemi Covid-19 sudah melandai.
Jangan sampai di kemudian hari, pemerintah bertindak sebagai pemadam kebakaran tanpa ada upaya pencegahan di hulu.
"Karena pandemi Covid-19 sudah melandai, perhatian pemerintah ke persoalan ini harus ditingkatkan. Sehingga pemda bisa memberikan pelatihan, edukasi kepada orangtua, dan sosialisasi pencegahan."
"Kalau menghukum pelaku sudah bagus, ada aturan pemberat bagi pelaku, yakni dikebiri. Sudah maksimal. Tapi pencegahan ini yang harus dimasifkan lagi."
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sepanjang Januari - September 2021 menerima 5.206 laporan kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan secara langsung maupun online.
Dari angka itu, pelaporan kasus kejahatan seksual sebanyak 672 kasus. KPAI menyebut data yang tidak terlaporkan bisa dua hingga tiga kali lipat lebih besar.
Dugaan pemerkosaan dua bocah perempuan oleh tujuh pelaku di Padang
Salah satu kasus yang menarik perhatian banyak pihak yakni dugaan pemerkosaan dan pencabulan dua bocah perempuan di Padang, Sumatera Barat, oleh tujuh pelaku yang merupakan keluarga dekat dan tetangga.
Kasat Reskrim Polresta Padang, Kompol Rico Fernanda, mengatakan polisi telah menangkap lima pelaku. Adapun dua lainnya, yaitu tetangga dan paman korban, masih buron.
"Sampai hari ini, kami sudah mengamankan lima orang pelaku yaitu Kakek korban DJ (65), paman korban AO (23), kakak korban RM (11), GA (9) dan AD (16)," ujar Kompol Rico Fernanda seperti yang dilaporkan wartawan Helbert Chaniago kepada BBC News Indonesia, Kamis (18/11).
Dari lima pelaku yang ditangkap, polisi baru menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Tiga orang itu adalah DJ, AO dan AD.
"Untuk dua pelaku lainnya, kami masih berkoordinasi dengan pihak Dinas Sosial dan Bapas. Karena mengingat mereka masih anak-anak di bawah 12 tahun," lanjutnya.
Para tersangka akan diancam dengan Pasal 76 dan 82 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.Adapun ancaman dengan pasal hukuman kebiri masih akan berkoordinasi dengan kejaksaan.
Pemkot Padang buat tim relawan deteksi kasus kekerasan anak
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Padang, Editiawarman, mengatakan kedua korban, yang berusia 5 dan 7 tahun, berada di rumah aman untuk merehabilitasi mental mereka.
Pengamatannya, kondisi psikologis korban masih trauma berat dan takut bertemu dengan pria dewasa.
"Kondisi anak memprihatinkan. Kami menduga anak itu kurang mendapat kasih sayang keluarga. Sepertinya anak secara mental sudah keras," imbuhnya.
"Kami temukan fakta, mereka tidak sekolah dan hubungan dengan ayah dan ibu sepertinya tidak sebagaimana idealnya."
Catatan Kota Padang sejak Januari hingga November 2021, ada 16 kasus kekerasan pada anak.
Editiawarman menyebut kasus kekerasan pada anak di Kota Padang seperti fenomena gunung es. Karena itulah pihaknya merekrut 100 lebih relawan untuk mendeteksi kasus yang terjadi di masyarakat sebagai bentuk keseriusan pemda menangani persoalan ini.
"Relawan ini adalah mata dan telinga di lapangan. Salah satu manfaatnya kasus yang selama ini lama untuk sampai ke pemda, akan segera diketahui."
"Kalau ditemukan lapor ke dinas, kemudian kami koordinasi dengan kepolisian karena terkait dengan tindak pidana."
Tim relawan itu, katanya, baru dikukuhkan Oktober lalu.
Kasus kekerasan anak tetap jadi prioritas di masa pandemi
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat pada tahun 2020 jumlah kekerasan terhadap anak meningkat menjadi 11.278 kasus.
Di antaranya kekerasan fisik 2.900 kasus, psikis 2.737 kasus, kekerasan seksual 6.980 kasus, eksploitasi 133 kasus, perdagangan orang 213 kasus, penelantaran 864 kasus, dan kasus kekerasan lainnya sebanyak 1.121.
Terbaru pada 2021 data Januari-September, jumlah kekerasan pada anak sebanyak 9.428 kasus.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, mengeklaim penanganan kekerasan pada anak tetap menjadi prioritas meskipun di tengah pandemi Covid-19.
Meningkatnya angka kekerasan di tahun 2020 dibanding tahun 2019, katanya, menjadi bukti keberhasilan pihaknya mendorong masyarakat untuk ikut terlibat dalam melaporkan kasus kekerasan pada anak sehingga tidak lagi ditutup-tutupi.
"Bukti penambahan itu artinya jalur pelaporan dari masyarakat tidak ada hambatan," kata Nahar kepada BBC News Indonesia.
Kementerian juga, sambungnya, sedang menyempurnakan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) yang mencakup tindaklanjut laporan hingga putusan di pengadilan.
Sistem yang dibangun pada Januari 2020 itu, lanjut Nahar, akan meminimalisir adanya "kasus yang terhenti di tahapan tertentu".