Anak Pengungsi dari Luar Negeri Masuk Sekolah Formal di Indonesia

SiswantoBBC Suara.Com
Jum'at, 19 November 2021 | 20:43 WIB
Anak Pengungsi dari Luar Negeri Masuk Sekolah Formal di Indonesia
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hampir enam ratus anak pengungsi dan pencari suaka dari luar negeri sedang menempuh pendidikan formal di sekolah dasar dan sekolah menengah di berbagai wilayah Indonesia. Itu menjadi kebijakan yang ditunggu selama bertahun-tahun, karena selama ini mereka dilarang bekerja dan sekolah lantaran pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi PBB tentang pengungsi.

Di Pekanbaru, Riau, dua anak pengungsi dari Afghanistan dan Pakistan bercerita tentang bagaimana frustasinya mereka saat tak bisa sekolah dan mengapa pendidikan formal penting untuk anak-anak ini.

Baca juga:

"Kami sangat takut, khawatir, tertekan tentang masa depan kami."

Baca Juga: Anak Perempuan Afghanistan Mulai Dijual Keluarga untuk Bertahan Hidup

Dia, Mina Amini.

Usianya baru 14 tahun, tapi masa depannya kelabu.

Mina berasal dari Afghanistan, negara yang selama puluhan tahun dilanda perang melawan kelompok militan Taliban.

"Sekarang saya tinggal di Indonesia sebagai pengungsi," katanya memperkenalkan diri kepada wartawan Dina Febriastuti yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pertama kali bertemu dengannya, ia terlihat seperti gadis yang periang.

Baca Juga: Demi Pekerjaan dan Hidup Baru, Warga Afghanistan Menyelundupkan Diri ke Iran

Mengenakan pakaian seragam SMP putih-biru dan berkerudung putih, remaja perempuan ini mengaku senang karena bisa memulai kembali pembelajaran tatap muka.

"Saya senang sekolah di sini," ucapnya dalam bahasa Inggris sembari tersenyum lebar.

Mina sudah lima tahun berada di Indonesia. Ia pergi dari Afghanistan bersama tiga kakak dan ibunya karena tidak merasa aman.

Akibat konflik, Mina sekeluarga kehilangan tempat tinggal. Anak-anak perempuan tak diizinkan sekolah sehingga banyak yang buta huruf.

"Hidup kami dalam bahaya. Kami seperti tidak memiliki hak sebagai manusia."

Saat tiba di Pekanbaru, Riau, pada tahun 2015 lalu, ia tak bisa melakukan apapun, termasuk sekolah.

Maka tiap kali melihat anak-anak seusianya berangkat pagi-pagi ke sekolah, ada perasaan iri.

"Mengapa pengungsi tidak boleh sekolah?" tanya Mina.

Sementara keinginan untuk melanjutkan pendidikan, sangat besar.

Berkali-kali ia bilang ke ibunya kalau ia mau sekolah demi mengejar mimpi dan cita-cita.

"Tapi ibu saya tak bisa berbuat apa-apa," sebutnya.

Bazira Amini, ibu Mina, membenarkan cerita anaknya itu.

Ia bercerita, ambisi anak bungsunya itu tak bisa dibendung. Tanpa pendidikan akan susah untuk Mina mengasah kemampuan dan mengejar cita-citanya.

"Di dunia ini setiap orang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan. Begitu juga dia."

Setiap anak termasuk para pengungsi, katanya, harus memperoleh hak atas pendidikan: sekolah.

Sayangnya ketika pemerintah Indonesia membuka pintu kepada anak-anak pengungsi untuk masuk sekolah formal tak banyak yang mengikuti jejak Mina karena kendala bahasa.

"Ada banyak anak-anak pengungsi yang tidak bisa bersekolah, karena masalah bahasa. Dan itu menjadi masalah besar bagi kami," ujar perempuan 54 tahun ini.

Jauh sebelum kebijakan teranyar pemerintah Indonesia ini lahir, organisasi Internasional untuk Imigran atau IOM di Indonesia sebetulnya menyediakan kursus bagi anak-anak pengungsi selama tiga bulan.

Tetapi kata Mina, itu tidak cukup. Ia berkeras ingin menempuh pendidikan formal yang diakui negara.

Selain karena kangen diajari oleh guru, ia juga rindu memiliki teman sebaya di sekolah, dan belajar di dalam kelas.

"Bercanda, bermain, belajar bersama, saya merindukan itu semua."

Namun di sisi lain, ia sadar kekurangannya: tak bisa berbahasa Indonesia.

Karena itulah ia berlatih sendiri, dengan bantuan Google dan YouTube. Cukup banyak kosakata yang telah ia kuasai, tetapi masih tak percaya diri untuk berbicara dalam bahasa Indonesia.

"Susah, tidak bisa," katanya malu-malu dalam bahasa Indonesia dan tertawa.

Tiga tahun lamanya ia berdiam diri di rumah lantaran tak bisa sekolah.

Hingga pada tahun 2019 — dengan bantuan IOM Indonesia — Mina bersama beberapa anak pengungsi lainnya untuk pertama kali, bisa masuk sekolah formal di Indonesia.

Di SD Negeri 56 Pekanbaru, Mina ditempatkan di kelas 5.

Dia masih ingat hari itu. Bertemu wajah-wajah baru yang berbeda dengannya. "Kaget," katanya.

Gara-gara belum fasih berbahasa Indonesia, ia pun bingung bagaimana berkomunikasi dengan guru dan teman-teman kelasnya. Termasuk saat belajar.

Itu mengapa, Mina lebih suka pelajaran matematika, seni, dan sains. Sebab tiga pelajaran itu tak perlu banyak penjelasan panjang seperti sejarah atau pendidikan kewarganegaraan.

Untuk kesenian, Mina bisa dibilang jago menggambar. Salah satu karya Mina menggambarkan seorang perempuan Afghanistan bergaun hijau dan berkerudung merah sedang menari.

Pertengahan tahun 2021, ia menyelesaikan pendidikan SD. Sebuah sertifikat pendidikan diberikan sebagai surat keterangan pernah belajar di sekolah.

Kini ia duduk di kelas 1 SMP Negeri 25 Pekanbaru. Cita-citanya bisa melanjutkan pendidikan sampai ke universitas dan menjadi progammer.

"Lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di negara ketiga. Sehingga saya bisa mengabdi untuk masyarakat. Saya harap negara ketiga mendengar suara kami di sini," harap Mina.

Wali kelas Mina, Yenni Siswanti, tak punya cara khusus dalam menerangkan mata pelajaran kepada Mina. Hanya saja, usai jam pelajaran, ia kerap mengajaknya berdiskusi dan bertanya apakah ada kesulitan memahami pelajaran.

"Saya tahu dia agak bingung, tapi dia berusaha memahami," ujar Yenni.

Yenni yang belum pernah punya pengalaman mengajar anak-anak pengungsi, masih ingat ketika diberitahu akan mengajar anak imigran.

Hal pertama yang ia pikirkan kala itu, "Bagaimana nanti komunikasinya?"

Tapi begitu tahu Mina sedikit mengerti Bahasa Indonesia, ia sedikit lega.

Satu hal yang selalu ia wanti-wanti pada anak didiknya itu agar bertanya kalau tidak mengerti pelajaran yang diajar. Sebab ia tahu betul, Mina belum menguasai bahasa Indonesia.

Adapun Kepala Sekolah SMP Negeri 25 Pekanbaru, Asbullah, berharap pemerintah memberikan tanda kelulusan berupa ijazah kepada anak-anak pengungsi.

"Kalau bisa disamakan. Mau dari negara manapun, ijazah itu kan pasti berlaku. Itu yang kita harapkan ke depan."

'Kalau dia seperti saya, itu artinya ada masalah'

Di Pekanbaru, Riau, total ada 100 anak pengungsi yang belajar di sekolah formal. Catatan Dinas Pendidikan setempat, sebanyak lima anak duduk di Sekolah Menengah Pertama dan sisanya Sekolah Dasar.

Seratusan anak itu adalah gelombang pertama yang berhasil masuk ke sekolah formal di Indonesia di tahun 2019.

Bertahun-tahun sebelumnya, para keluarga pengungsi dan pencari suaka dilarang bekerja maupun sekolah sebab pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi.

Tapi atas nama kemanusiaan, Muhammad Elyas Ibrahim dari Islamabad, Pakistan, diterima belajar di Sekolah Dasar Negeri 190 Pekanbaru.

Bocah laki-laki berusia 13 tahun ini sudah berada di Indonesia sejak tahun 2015. Konflik, perang, dan tingginya kasus kriminalitas di negaranya, membuat sang ibu memboyongnya ke sini, menyusul suaminya yang saat itu sudah dua tahun berada di Indonesia.

Di Pakistan, ia hanya sekolah sampai kelas 2 sekolah dasar dan tak pernah sekalipun merasa aman setiap kali pergi belajar. Suatu kali bom meledak di dekat sekolahnya.

"Susah untuk pergi sekolah. Perang, tidak aman," ujar Elyas.

Elyas, rindu pada teman-teman, guru, dan sekolah. Apalagi ketika melihat anak-anak di dekat rumahnya pergi sekolah.

Niat itu akhirnya ia sampaikan ke sang ayah.

"Saya cerita kepada orang tua. Saya mau sekolah di sini, punya banyak teman, belajar dan bisa bahasa Indonesia."

Sekitar satu hingga dua tahun, Elyas tak bisa berbuat apa-apa. Tetapi waktu Elyas mengutarakan ingin sekolah, Ahmad Muhammad Ibrahim langsung setuju.

"Saya berpikir kalau dia seperti saya, itu artinya masalah. Karena itu dia harus punya masa depan. Makanya saya bilang ke dia, 'Elyas kamu harus pergi sekolah'," ucap pria 43 tahun itu.

Dia kemudian mendatangi beberapa sekolah. Satu sekolah yang dekat dengan rumah, ia sambangi berkali-kali supaya membolehkan anak sulungnya itu belajar di sana.

Tapi ditolak karena bukan warga negara Indonesia.

"Saya marah dan mencari pihak berwenang di sekolah itu. Orang itu tetap katakan, tidak bisa karena saya bukan warga negara Indonesia."

Sekolah kedua, ia datangi dan memohon agar dibantu. Ia beralasan "tidak ingin anaknya seperti dia. Tidak bisa baca-tulis'," katanya mengeluh.

Karena iba, Ibrahim diarahkan agar menemui Dinas Pendidikan Riau kalau ingin anaknya diizinkan masuk sekolah formal.

Kira-kira tiga sampai empat kali, Ibrahim bolak-balik ke Dinas Pendidikan Riau, bicara panjang lebar tapi lagi-lagi ditolak dengan alasan tidak ada kartu identitas.

"Saya bilang, 'tolong saya, please...'" katanya memohon.

Esoknya, ia kembali datang. Membujuk. Dan akhirnya diterima dengan syarat Elyas harus melampirkan akta kelahiran.

Bapak tiga anak ini buru-buru minta kerabatnya di Pakistan mengirim surat kelahiran Elyas ke Indonesia.

Pada tahun 2016, Elyas diterima masuk kelas 1 SD Negeri 190 Pekanbaru.

Akan tetapi satu masalah belum terpecahkan, bagaimana membuat Elyas lancar berbahasa Indonesia.

Di bulan pertama sekolah, bocah laki-laki itu kelihatan frustasi.

"Dia marah-marah kalau pulang ke rumah dari sekolah. Bulan kedua, bisa sedikit-sedikit bahasa Indonesia, dia senang. Teman-temannya mengajak main dan ngobrol dengan bahasa Indonesia."

"Alhamdulilah, sekarang dia sudah lancar," ujar Ibrahim.

Elyas, yang kini duduk di kelas 6, bercerita Matematika dan Bahasa Indonesia adalah dua mata pelajaran yang paling dia sukai.

Ditanya mengapa suka pelajaran Bahasa Indonesia, ia berkata karena banyak cerita bagus di dalamnya.

Muhammad Nabil, teman sekelas Elyas menyebutnya sebagai anak yang jahil dan sesekali bikin rusuh. Di sekolah mereka biasa bermain sepak bola atau petak umpet.

"Suka jahil kalau sedang belajar. Tapi baik."

Dalam beberapa bulan lagi, ia akan tamat sekolah dasar. Keinginannya dan juga mimpi sang ayah, bisa melanjutkan pendidikan sampai ke universitas dan bekerja.

"Cita-cita saya jadi dokter," katanya yakin.

Bagaimana anak-anak pengungsi bisa sekolah?

Di Pekanbaru, Riau, total ada 264 anak pengungsi dari luar negeri dan pencari suaka.

Tapi dari angka itu, hanya 100 yang masuk ke sekolah formal mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, Ismardi Ilyas, berkata program anak pengungsi mengakses pendidikan formal dimulai sejak tahun 2019.

Setahun sebelumnya IOM Indonesia telah mendata anak-anak pengungsi usia sekolah itu untuk diajukan ke Dinas Pendidikan.

"Bagi kita yang penting adalah bagaimana menyelamatkan anak-anak ini. Jangan sampai loss [hilang] terhadap akses pendidikan," ujar Ismardi saat ditemui di kantornya.

Tidak ada syarat khusus bagi anak-anak pengungsi yang ingin masuk sekolah. Yang utama, mereka bisa dan mengerti bahasa Indonesia.

Adapun mengenai penempatan kelas, dinas menyerahkan kepada IOM Indonesia untuk menyeleksi. Namun ke depan, kata Ismardi, pihaknya bakal membuat panduan agar dijadikan bahan evaluasi.

National Media and Communications Officer IOM Indonesia, Ariani Hasanah Soejoeti, mengatakan pendidikan formal untuk anak-anak pengungsi dan pencari suaka sebetulnya sudah dirancang sejak tahun 2018.

Dimulai dengan pembicaraan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga satuan tugas pengungsi luar negeri yang diampu oleh Kemenkopolhukam.

"Dari pembicaraan itu kemudian berujung pada rapat koordinasi di Yogyakarta pada Maret 2019 tentang akses pendidikan formal bagi mereka yang dihadiri UNHCR," ucap Ariani kepada BBC News Indonesia.

Pada Juli 2019, Kemendikbud mengeluarkan Surat Edaran yang secara resmi menyetujui program pendidikan formal kepada anak-anak ini.

Berbekal surat itu, IOM Indonesia menjajaki pembukaan sekolah di beberapa daerah.

Kota pertama yang menyambut rencana ini Makasar. Disusul Medan, Pekanbaru, Batam, Jakarta, Tangerang, Semarang, dan Kupang.

Baca juga:

Ariani bercerita, dasar kebijakan tersebut Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 1990 tentang pengesahan konvensi hak-hak anak yang menjamin hak anak pengungsi dan pencari suaka.

"Aturan itu menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia memenuhi hak-hak anak yang diakui dalam konvensi tersebut."

Catatan IOM Indonesia pada Juli 2021, total ada 566 anak pengungsi yang masuk sekolah formal. Sebanyak 323 anak di sekolah negeri dan 243 anak di sekolah swasta.

Kata dia, pendidikan formal penting bagi mereka.

"Bagi anak-anak pengungsi, pendidikan tidak hanya penting untuk masa depan mereka, tapi bagi masyarakat sekitar tempat mereka tinggal apakah itu di negara tujuan atau negara sekarang di mana mereka menunggu, dan di negara mereka sendiri jika ingin dipulangkan."

"Kami percaya pendidikan yang berkualitas bisa meningkatkan peluang hidup mencari pekerjaan di masa mendatang."

"Pencapaian ini berarti no one is left [tidak ada seorang pun yang tertinggal]."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI