"Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar undang-undang," tegas Burhanddin.
Dengan demikian, kata Burhanuddin, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka penjatuhan sanksi pidana mati untuk koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat ditegakkan.
Persoalan lain dalam penerapan hukuman mati terhadap korupti, adanya pandangan yang menghendaki dihapuskannya sanksi pidana mati dengan argumentasi bahwa adanya sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan.
Pandangan tersebut 'dilawan' oleh Burhanuddin dengan sebuah pertanyaan serupa secara "a contrario" yaitu : Apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?"
"Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi," kata Burhanuddin.
Meski begitu, Burhanuddin menyebutkan, penerapan hukuman mati bagi para koruptor perlu dikaji lebih dalam untuk memberikan efek jera.
Selama ini kejaksaan telah melakukan beragam upaya penegakan hukum, misalnya menjatuhkan tuntutan yang berat sesuai tingkat kejahatan, mengubah pola pendekatan dari "follow the suspect" menjadi "follow the money" dan "follow the asset", serta memiskinkan koruptor.
Tapi ternyata efek jera hanya mengena para terpidana untuk tidak mengulangi kejahatan. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat, karena koruptor silih berganti, dan tumbuh dimana-mana.
Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana hukuman mati terhadap koruptor, berkaca dari dua kasus megakorupsi yakni pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya.
Baca Juga: Soal Wacana Pidana Mati Koruptor, Arteria PDIP Dukung Jaksa Agung
Kedua kasus korupsi tersebut berdampak besar bagi masyarakat luas terutama pegawai dan anggota asuransi tersebut. Kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar, yakni Rp 16,8 triliun untuk kasus Jiwasraya, dan Rp 22,78 triliun di kasus Asabri.