Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid sebagai tersangka dalam perkara korupsi pengadaan barang dan jasa di Kabupaten HSU, Kalimantan Selatan (Kalsel) tahun 2021-2022.
Penetapan tersangka Abdul Wahid dilakukan setelah KPK melakukan pengembangan kasus yang telah menjerat Plt Kadis PU pada Dinas PUPR Kabupaten HSU Maliki dan Direktur CV Hanamas yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 15 September 2021 lalu.
"Ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup dan KPK selanjutnya meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan tersangka Bupati Hulu Sungai Utara periode 2017-2022 Abdul Wahid," kata Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Merah Putih KPK Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis (18/11/2021).
Firli pun menjelaskan, konstruksi perkara yang menjerat Abdul Wahid berawal saat bupati dua periode tersebut, pada tahun 2019 menunjuk Maliki sebagai Plt Dinas PUPR Kabupaten HSU.
Baca Juga: Tersangka Suap, Bupati HSU Abdul Wahid Kantongi Belasan Miliar Rupiah dari Proyek Irigasi
Dalam penunjukan itu diduga Maliki memberikan uang kepada Abdul agar dirinya mendapat jabatan.
"Diduga ada penyerahan sejumlah uang oleh MK (Maliki) untuk menduduki jabatan tersebut karena sebelumnya telah ada permintaan oleh tersangka AW (Abdul Wahid)," ucap firli
Pemberian uang Maliki kepada Abdul, kata Firli, terjadi pada Desember 2018 di rumahnya. Saat itu, penerima uang tersebut melalui ajudan Abdul Wahid.
Selanjutnya, Maliki pada awal tahun 2021 menemui tersangka Abdul Wahid di rumah dinas bupati. Ketika itu, Maliki membicarakan terkait ploting paket pekerjaan lelang pada bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP HSU tahun 2021.
Menurut Firli, dalam pertemuan tersebut, Maliki melaporkan dokumen pekerjaan yang disusunnya dan menyebutkan nama-nama dari para kontraktor yang akan dimenangkan dan mengerjakan berbagai proyek.
Baca Juga: Dicekal KPK, Bupati HSU Abdul Wahid Dilarang Pergi ke Luar Negeri Selama 6 Bulan
Abdul Wahid, kata Firli, kemudian menyetujui laporan yang diserahkan Maliki untuk pihak kontraktor yang ditunjuk mengerjakan proyek di HSU. Namun, Abdul Wahid meminta fee sejumlah 5 persen.
"Syarat adanya pemberian komitmen fee dari nilai proyek dengan persentase pembagian fee 5 persen untuk tersangka AW (Abdul Wahid) dan 5 persen untuk MK (Maliki)," ucap Firli.
Sehingga, penerimaan uang Abdul Wahid melalui dari pihak kontraktor yakni MRH dan FH mencapai Rp 500 juta. Selain itu, Abdul Wahid juga menerima fee dari pengerjaan proyek lain dari beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten HSU.
Adapun nilainya cukup besar mencapai miliaran rupiah, yakni tahun 2019 sejumlah Rp 4,6 miliar. Kemudian, tahun 2020 sekitar Rp 12 miliar dan pada tahun 2021 sekitar Rp 1,8 miliar.
Selama proses penyidikan, KPK sudah mengamankan sejumlah uang tersebut. Namun, belum diketahui total keseluruhannya, karena ada juga pemberian kepada Abdul dari mata uang asing.
"Sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan juga mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya," kata Firli.
Untuk proses penyidikan lebih lanjut, kata Firli, Abdul Wahid akan langsung dilakukan penahanan selama 20 hari pertama. Mulai tanggal 18 November sampai 7 Desember 2021.
"Sebagai langkah antisipasi penyebaran Covid-19 di lingkungan Rutan KPK, tersangka akan menjalani isolasi mandiri selama 14 hari pada Rutan tersebut," katanya.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, tersangka Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jo. Pasal 64 KUHP Jo. Pasal 65 KUHP.