Suara.com - Penangkapan tiga orang tersangka kasus terorisme, yang salah satunya merupakan Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Ahmad Zain An-Najah dinilai menunjukkan bahwa pergerakan kader Jamaah Islamiyah telah masuk ke berbagai lini di tengah masyarakat.
Pengamat terorisme Noor Huda Ismail mengatakan pengungkapan kader Jamaah Islamiyah pada organisasi masyarakat seperti MUI menunjukkan bahwa kelompok ini berhasil menjalankan strategi "tamkin" atau penguasaan wilayah.
Densus 88 Antiteror Polri sebelumnya menangkap Ahmad Zain An-Najah bersama dua orang lainnya, yakni Farid Okbah dan Anung Al Hamat di wilayah Bekasi, Jawa Barat.
Menurut keterangan Polri, ketiganya berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah melalui Lembaga Amil Zakat Abdurrahman Bin Auf yang diduga menjadi sumber pendanaan aktivitas terorisme dari kelompok itu.
Baca Juga: Densus 88 Tangkap Pengurus MUI Terkait Terorisme, Haedar Nashir: Jangan Mudah Terprovokasi
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Brigjen Ahmad Nurwakhid mengatakan ini merupakan kali pertama seorang tersangka teroris berstatus sebagai anggota aktif MUI Pusat.
Baca juga:
- Rekrutmen Jemaah Islamiyah disebut libatkan pesantren: Bagaimana pengawasannya?
- Kasus pertama guru PNS terlibat terorisme, 'Keberadaan anggota Jamaah Islamiyah seperti mata-mata'
- Ribuan kotak amal di minimarket untuk galang anggaran terorisme, 'Jamaah Islamiyah pintar mengatur aset'
Menurut dia, penangkapan ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa JI kini telah bertransformasi dan "menyebar ke seluruh lini masyarakat".
JI diperkirakan memiliki 6 ribu hingga 7 ribu anggota dan simpatisan di seluruh Indonesia yang tersebar melalui berbagai organisasi sayap mereka.
"Mereka telah mengubah pola atau strategi perjuangannya, lebih inklusif, lebih berkamuflase di seluruh elemen masyarakat," kata Ahmad kepada BBC Indonesia.
Baca Juga: Anggota Komisi Fatwa MUI Jadi Tersangka Dugaan Terorisme, Begini Kata Menag Yaqut
Sementara itu, MUI menyatakan akan melakukan profiling terhadap calon anggotanya pasca-penangkapan salah satu anggota Komisi Fatwa mereka.
'Tidak bisa dipandang hanya dari aspek teror'
Pengamat terorisme Noor Huda menuturkan karakteristik JI saat ini tidak bisa dipandang hanya dari aspek teror. Pergerakan kelompok ini telah berkembang memasuki "aspek sosial-keagamaan" di tengah masyarakat.
Menurut dia, JI berafiliasi dengan lembaga pendidikan dan organisasi yang aktif bergerak pada isu-isu kemanusiaan. Selain itu, anggota JI juga menyebar di berbagai lini.
Sebelum penangkapan An-Najah yang merupakan tokoh MUI, Densus 88 juga pernah menangkap anggota JI yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan guru.
"Ini bentuk keberhasilan JI dalam menerapkan konsep organisasi mereka yang namanya tamkin, atau penguasaan wilayah, kelembagaan, otoritas, sehingga ketika sudah kuat mereka bisa masuk ke pergantian sistem dengan baik," ujar Noor Huda kepada BBC Indonesia.
Dia melanjutkan, aktivitas anggota JI melalui organisasi kemanusiaan tidak lagi menggunakan narasi yang menyerukan aksi teror. Cara ini berbeda dengan beberapa pendahulu mereka yang menjadi dalang sejumlah aksi teror di Tanah Air, termasuk Bom Bali.
Menurut Noor Huda, gerakan kemanusiaan ini lah yang dimanfaatkan JI untuk menggaet dukungan dan kepercayaan dari masyarakat.
"Kenapa kelompok JI bisa meraup pendukung banyak, mereka menyelesaikan permasalahan umat. Sesederhana perempuan cari jodoh, mereka bisa mencarikan. Anaknya ingin disekolahkan, mereka bisa kasih beasiswanya," papar dia.
Baca juga:
- Rekrutmen Jemaah Islamiyah disebut libatkan pesantren: Bagaimana pengawasannya?
- Kasus pertama guru PNS terlibat terorisme, 'Keberadaan anggota Jamaah Islamiyah seperti mata-mata'
- Ribuan kotak amal di minimarket untuk galang anggaran terorisme, 'Jamaah Islamiyah pintar mengatur aset'
Anggota JI yang ditangkap beberapa waktu belakangan juga lebih banyak terkait dengan kegiatan-kegiatan ini, termasuk pendanaannya. Sepak terjang mereka yang kemudian dipandang baik oleh masyarakat, kata dia, berpotensi menjadi bumerang bagi penegakan hukum apabila tidak bisa dibuktikan secara akuntabel.
"Mereka dicap teroris, tapi keseharian mereka ini oke banget. Dengan tetangga baik, ngomong dimana-mana santun, terlibat aksi sosial, bergelar doktor, ngajar di universitas top, how do we explain that?" ujar Noor Huda.
Hal itu lah yang menurut dia perlu dijawab dengan "narasi alternatif" dan pembuktian hukum yang akuntabel, sehingga masyarakat bisa memahami dimana letak keterkaitan orang-orang yang diduga terlibat itu dengan aktivitas terorisme.
Sementara itu, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Ahmad Nurwakhid mengatakan transformasi JI terlihat semakin jelas setelah masa kepemimpinan Para Wijayanto.
Para Wijayanto sendiri telah ditangkap pada 29 Juni 2019 dan divonis tujuh tahun penjara atas aktivitasnya di JI.
Menurut Ahmad, JI kini menjadi organisasi yang lebih inklusif dan bisa masuk ke berbagai elemen masyarakat.
"Itu terbukti dari 2010, ada 31 aparat negara dan pemerintahan, 18 di antaranya ASN, 8 eks Polri dan 5 eks TNI. Itu menunjukkan mereka berkamuflase ke seluruh lini," tutur Ahmad.
'Tidak ada upaya mengkriminalisasi'
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono menuturkan penangkapan Para Wijayanto telah membuka jalan bagi Densus 88 untuk mempelajari struktur organisasi, pola rekrutmen, hingga skema pendanaan aktivitas kelompok itu.
JI memiliki dua sumber pendanaan yang berasal dari infak bulanan para anggotanya sebesar 2,5% dari penghasilan masing-masing, serta melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) seperti Abdurrahman Bin Auf.
Dana yang dikumpulkan oleh LAZ Abdurrahman Bin Auf ini lah, yang menurut polisi, "dikamuflase" untuk kegiatan pendidikan dan sosial. Sebagian di antaranya kemudian dimanfaatkan untuk menggerakkan aktivitas kelompok JI.
Penangkapan An-Najah, Farid Okbah, dan Anung Al Hamat sendiri berkaitan dengan aktivitas pendanaan tersebut. Polisi menyatakan dokumen-dokumen LAZ Abdurrahman Bin Auf telah membuktikan keterkaitan para tersangka.
Menurut Rusdi, An-Najah merupakan Ketua Dewan Syariah LAZ Abdurrahman Bin Auf, sedangkan Farid Okbah merupakan anggota dewan syariah tersebut. Sementara itu, Anung Al Hamat merupakan pendiri sebuah badan bantuan hukum bagi anggota JI yang ditangkap Densus 88.
"Juga ada keterangan 28 saksi, ini keterangan para tersangka yang ditangkap terdahulu, menerangkan kepada penyidik bahwa mereka terlibat aktivitas pendanaan oleh kelompok teroris JI ini," papar Rusdi.
Baca juga:
- Rekrutmen Jemaah Islamiyah disebut libatkan pesantren: Bagaimana pengawasannya?
- Kasus pertama guru PNS terlibat terorisme, 'Keberadaan anggota Jamaah Islamiyah seperti mata-mata'
- Ribuan kotak amal di minimarket untuk galang anggaran terorisme, 'Jamaah Islamiyah pintar mengatur aset'
Penindakan terhadap ketiga tersangka ini juga diklaim merupakan hasil pemantauan yang cukup lama dan "dapat dijaga legalitasnya". Rusdi menyatakan tidak ada upaya mengkriminalisasi siapa pun dari penangkapan ini.
Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Ahmad Nurwakhid memaparkan para tersangka memang memiliki rekam jejak terkait dengan Jemaah Islamiyah.
Farid Okbah pernah berangkat ke Afghanistan menjadi afiliator atau koordinator JI untuk Al Qaeda di Afghanistan. Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) ini juga dianggap sebagai mentor di kalangan JI.
Sedangkan An-Najah yang merupakan anggota Komisi Fatwa MUI, merupakan salah satu petinggi JI. An-Najah adalah alumni dari Pesantren Al Mukmin, Ngruki, yang didirikan oleh Abu Bakar Ba'asyir.
MUI akan lakukan 'profiling' calon anggota
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, mengatakan pihaknya akan menghormati proses hukum dari An-Najah, yang saat ini telah dinonaktifkan sebagai anggota Komisi Fatwa MUI.
Cholil mengatakan dirinya "prihatin" dan "terkejut" karena ternyata salah satu tersangka teroris yang ditangkap Densus 88 adalah anggotanya. Namun dia menegaskan, keterlibatan An-Najah dengan JI tidak ada kaitannya dengan MUI.
"Dugaan keterlibatan yang bersangkutan dalam gerakan jaringan terorisme merupakan urusan pribadinya dan tidak ada sangkut pautnya dengan MUI," kata Cholil.
Pengurus harian Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, Makmun Rasyid menuturkan pihaknya tidak mengetahui rekam jejak dan keterkaitan An-Najah sebelum ada penangkapan oleh Densus 88.
"Di MUI ketika memasukkan nama yang bersangkutan sebagai anggota Komisi Fatwa MUI, kita tidak mengetahui [keterlibatannya]," kata Makmun.
Terkait posisinya sebagai anggota Komisi Fatwa, MUI mengatakan An-Najah tidak memiliki hak suara penuh.
"Di dalam proses pembuatan fatwa, yang bersangkutan hanya memberikan perspektifnya, tetapi tidak mempengaruhi kebijakan komisi fatwa MUI itu sendiri," papar Makmun.
Sebagai tindak lanjut, MUI berencana melakukan profiling terhadap anggota-anggota baru yang akan mereka rekrut selanjutnya. Ada kemungkinan profiling serupa juga akan diterapkan pada pengurus MUI saat ini, meski keputusan terkait ini mesti dibahas lebih dulu melalui rapat dewan pimpinan.
"Ketika kami tahu salah satu anggota ormas itu terlibat dalam upaya pengumpulan dana [terorisme] maka kita serahkan ke Densus 88," tutur dia.