Pengungsi Afghanistan di Indonesia: Saat Lakukan Parkur, Saya Merasa Rileks

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 17 November 2021 | 16:08 WIB
Pengungsi Afghanistan di Indonesia: Saat Lakukan Parkur, Saya Merasa Rileks
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Habib dan Ali adalah dua pengungsi Afghanistan yang saat ini tinggal di Kota Makassar. Bertahun-tahun hidup di Indonesia tanpa kejelasan, keduanya menemukan aktivitas yang membuat penantian mereka terasa lebih mudah dihadapi.

Habib Hasani, seorang pengungsi Afghanistan yang tinggal di Kota Makassar, mengayuh sepedanya ke Pantai Losari.

Di tempat itu, pada sebuah Minggu di akhir Oktober lalu, dia telah membuat janji dengan beberapa orang untuk berlatih parkur.

Sebelum pandemi, kegiatan ini rutin dilakukan oleh sejumlah pemuda - warga lokal Makassar dan empat sampai lima orang pengungsi Afghanistan lain.

Baca Juga: Pengungsi Afghanistan Datangi Konsulat AS di Medan, Minta Dikirim ke Negara Ketiga

Tapi hari ini, hanya ada Habib dan dua orang pemuda Indonesia yang berlatih. Ali Reza, seorang pengungsi Afghanistan lain yang gemar memproduksi video, juga ada di sana.

"Saat saya datang ke Indonesia, saya tidak punya teman. Tapi saya senang menonton video-video di Instagram dan Facebook tentang parkur," kata Habib kepada wartawan Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"Saya mulai berlatih parkur dengan teman-teman Indonesia sejak 2016," ujarnya.

Baca juga:

Habib tiba di Indonesia pada 2015 seorang diri, terpisah dari keluarganya. Saat itu, dia masih berusia 15 tahun.

Baca Juga: Minta Dipindah ke Negara Lain, Pengungsi Afghanistan Demo di Kantor Gubsu

Habib mengaku sempat menetap di Jakarta selama setahun, namun kemudian pindah ke Makassar. Di kota inilah, dia kemudian menemukan komunitas Parkour Makassar.

Panasnya cuaca di Pantai Losari tak tampak mengganggu kegiatan mereka pada hari itu. Habib, bersama Husnul Mubaraq dan Nugie Kamajaya, dua warga lokal, mengawali latihan dengan peregangan.

Di sela-sela gerakan parkur - melompat, koprol, dan berdiri dengan tangan - ketiganya tampak bersenda gurau. Bahasa Indonesia Habib yang kini berusia 21 tahun itu sudah cukup baik, meski masih patah-patah.

"Pertama kali ketemu [Habib], dia seperti ingin diajari satu trik yang dia enggak bisa tapi saya bisa. Setelah itu dia memperlihatkan trik lain, yang banyak teman-teman tidak bisa. Jadi sama-sama sharing," ujar Husnul dari komunitas Parkour Makassar.

"Saya belajar banyak dari teman-teman lokal, saya belajar salto dan back flip. Saya awalnya tidak tahu apa-apa. Semua yang saya bisa lakukan sekarang, semua itu berkat teman-teman lokal Indonesia saya," ujar Habib.

Sementara itu, bagi Ali yang kini berusia 22 tahun, membuat video teman-teman pengungsi adalah cara untuk menunjukkan kepada dunia apa yang dialami oleh mereka yang hidup dalam persinggahan ini.

"Saya ingin menunjukkan kisah kehidupan para pengungsi di Indonesia. Bagaimana mereka menjalani hidup sehari-hari, permasalahan mereka, juga tantangan-tantangan yang mereka hadapi," ujar Ali.

Beberapa bulan yang lalu, video buatannya tentang kegiatan parkur ini mendapat banyak sorotan.

"Banyak orang yang menonton dan memberikan penghargaan pada teman-teman pegiat parkur," kata Ali.

https://www.instagram.com/p/CQNvFOsABR2/

'Hidup seperti di penjara'

Habib dan Ali berasal adalah orang-orang Hazara. Etnis ini merupakan keturunan dari bangsa Mongolia dan Asia Tengah yang jumlahnya sekitar seperlima populasi Afghanistan.

Legenda mengatakan, orang-orang Hazara adalah keturunan dari Genghis Khan dan pasukannya yang menginvasi Afghanistan pada abad ke-13.

Kebanyakan etnis Hazara menganut Islam Syi'ah, namun mereka hidup di Afghanistan dan Pakistan yang mayoritas menganut Sunni, dan telah lama mengalami persekusi oleh orang-orang Pashtun - kelompok etnis yang merupakan mayoritas anggota Taliban.

Pada 2013, lebih dari 200 orang etnis Hazara dibunuh kelompok ekstremis. Setelah Taliban kembali berkuasa pada Agustus lalu, orang-orang Hazara ketakutan.

Menurut Amnesty International, baru-baru ini Taliban disebut membantai dan secara brutal membunuh orang-orang Hazara di Provinsi Ghazni.

UNHCR mencatat sebanyak 2,7 juta warga Afghanistan terdaftar sebagai pengungsi, membuat negara itu penyumbang pengungsi terbanyak ketiga di dunia.

Hampir 8.000 pengungsi dan pencari suaka Afghanistan terdaftar di UNHCR Indonesia pada Desember 2020. Namun hingga kini Indonesia belum menandatangani konvensi pengungsi PBB, dan melarang mereka bermukim secara permanen di Indonesia.

Beberapa telah menunggu selama lebih dari satu dekade untuk mendapatkan pemukiman permanen di negara ketiga. Banyak dari mereka yang tinggal di kamp pengungsi, tanpa akses layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.

Kehidupan seperti ini, kata Habib, membuat depresi.

"Saya sempat berhenti latihan parkur selama dua tahun, karena tidak ada yang mendukung saya. Ketika kita melakukan sesuatu, kita butuh orang-orang yang mendukung kita. Tapi saya tidak punya siapa-siapa," sebut Habib.

"Apapun yang saya ingin lakukan, saya harus melakukannya seorang diri," lanjutnya.

Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengaku aktivitas yang dilakukan Habib dan teman-temannya sesama pengungsi sebagai kegiatan "mengekspresikan diri mereka secara positif" dan memberikan dukungan.

"Terlebih bila dilakukan bersama-sama dengan masyarakat setempat. Hal itu dapat membuat para pengungsi merasa diterima dan mereka juga dapat berkontribusi terhadap hidup yang lebih layak dengan masyarakat, sambil menunggu solusi jangka panjang," kata Communications Associate UNHCR Indonesia Dwi Prafitria kepada BBC Indonesia melalui pesan singkat.

Kementerian Luar Negeri mencatat bahwa pada tahun 2016, 1.271 pengungsi mendapatkan permukiman permanen dari negara lain dari Indonesia. Tapi pada 2018, hanya 509 pengungsi yang mendapat permukiman permanen.

Tapi bagi Habib, bukan ini kehidupan yang ia bayangkan ketika melarikan diri dari Afghanistan enam tahun lalu.

"Saya tidak punya harapan apa-apa untuk masa depan. Kami hidup seperti di penjara," aku Habib. "Kami tidak bisa melakukan apapun, kami tidak punya hak asasi sebagai manusia di Indonesia."

Parkur menjadi pelarian sempurna untuk Habib. Meski hanya untuk beberapa jam saja, parkur membuatnya melupakan permasalahan hidup yang menderanya.

"Saat melakukan parkur, saya merasa rileks. Sangat rileks dan saya bisa melupakan stress di pikiran saya. Saya hanya ingin terus berlatih dan meningkatkan kemampuan saya."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI