Suara.com - Rencana kenaikan upah minimum buruh sebesar rata-rata 1,09% pada 2022 yang ditetapkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan diprotes para buruh karena dianggap terlalu kecil dan tak cukup untuk kebutuhan hidup layak.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan kenaikan UMP yang ditetapkan pemerintah tidak ada artinya karena tidak akan bisa meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya buruh.
"Daya beli kan salah satu instrumennya dari tingkat upah, kalau daya beli turun, otomatis konsumsi turun. Kalau konsumsi turun, buruh berpendapat, pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai targetnya karena investasi dan government expenditure lagi hancur karena Covid," kata Said.
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) melalui Ketua Bidang Organisasi yang juga sekaligus Wakil Dewan Pengupahan Nasional, Adi Mahfudz Wuhadji, menilai kenaikan itu sudah sesuai dengan regulasi.
Baca Juga: Kemnaker Umumkan Upah Minimum 2022 Naik 1,09%
"Kami sebagai pengusaha sangat tidak keberatan karena memang sesuai dengan Undang-undang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, berikut turunannya yaitu PP 36 2021 tentang pengupahan," ujar Adi.
Sementara itu, ekonom CORE Indonesia, Hendri Saparini, mengatakan buruh, pengusaha, dan pemerintah harus saling berkomunikasi untuk menghindari perdebatan terkait upah pekerja sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Baca juga:
- Upah Minimum Provinsi 2021 tidak naik, kelompok buruh sebut 'tidak adil'
- Empat organisasi buruh siapkan uji UU Cipta Kerja ke MK, Kemnaker: 'Silakan gugat, tapi inilah titik kompromi paling maksimal'
- Ledakan infeksi Covid-19 di pabrik: “Kalau libur, perusahaan tak mau bayar upah”
Penolakan buruh: "Biaya hidup terus naik"
Salah seorang pekerja di perusahaan otomotif, Doles Saorman Sinaga, menilai angka rata-rata kenaikan upah minimum yang ditetapkan pemerintah tidak memperbaiki kesejahteraan dia dan rekan-rekan buruh lainnya.
Dia merasa pemerintah tidak pernah berada di pihak rakyat ketika menentukan upah para pekerja.
Baca Juga: Bukan Satu Persen, Buruh Minta Kenaikan Upah Minimum 10 Persen di Tahun 2022
"Saya selaku buruh dengan kenaikan itu, jauh dari kesejahteraan karena inflasi terus naik, biaya hidup terus naik. Dengan adanya pandemi juga pengeluaran masyarakat terus naik. Di sini pemerintah daerah maupun pusat lebih pro ke pengusaha daripada ke rakyat sendiri," kata Doles.
Hidup sebagai buruh beranak dua dengan besaran gaji yang diterima saat ini, menurut Doles serba pas-pasan. Bahkan saat pandemi, dia harus menguras tabungannya untuk menyokong hidup keluarga kecilnya karena tak ada tunjangan yang diberikan perusahaan, hanya ada gaji pokok.
Untuk tetap bertahan, istri Doles membantu dengan berjualan pakaian anak-anak.
"Kontribusinya bisa untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, buat biaya makan sama jajan anak-anak. Jadi sangat terbantu," ujar Doles.
Jika istrinya tidak berdagang, setengah pemasukan keluarga Doles sudah terpakai untuk membayar cicilan rumah dan listrik yang kini tak lagi disubsidi. Belum lagi harus membayar keperluan sekolah anaknya.
Doles menilai cara pemerintah menetapkan upah minimum tidak adil. Menurut dia, penetapan upah berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) lebih baik. Namun, cara itu kini tidak lagi dilakukan pemerintah.
"Mereka harusnya survei di lapangan dulu. Dulu kan kenaikan upah itu berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, jauh dari sebelum itu kan berdasarkan KHL (kebutuhan hidup layak)," kata Doles.
Protes Doles soal penetapan upah minimum sama seperti yang disampaikan Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) dalam siaran persnya.
FSPI menilai formula yang digunakan Kementerian Tenaga Kerja, yang tidak lagi menggunakan KHL, untuk menentukan upah minimum justru menggerus upah buruh itu sendiri.
FSBPI mencontohkan, mengacu pada rumus baru itu, kenaikan besaran upah minimum provinsi (UMP) di DKI Jakarta hanya naik 0,85% atau Rp37.749. Saat ini UMP Jakarta sekitar Rp4,4 juta.
KSPI menilai penghapusan survei KHL dalam menentukan kenaikan upah minimum membuat tuntutan mereka tidak tercapai. Berdasarkan hitung-hitungan KSPI, berdasarkan survei KHL dan PP Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan (sebelum ada PP Nomor 36 tahun 2021), kenaikan upah minimum berada di kisaran 5-7%.
"Kenapa buruh pakai PP Nomor 78 dan Undang-undang Nomor 13 karena kita sedang gugat (UU Cipta Kerja) di MK. Kalau para pihak masih menggugat dan belum inkrah, maka undang-undang lama yang berlaku. Lagi-lagi pemerintah mencederai penegakan hukum," kata Said Iqbal.
Menurut dia, perhitungan upah minimum oleh Kementerian Ketenagakerjaan juga bertentangan dengan Undang-undang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, karena memakai perhitungan batas atas dan batas bawah upah minimum.
Dalam pasal 26 PP Nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan tertulis penyesuaian nilai upah minimum ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum. Menurut dia, dengan adanya batas bawah dalam upah minimum, pengusaha bakal cenderung memilih batas bawah karena bisa membayar pekerja dengan lebih murah.
"Para menteri yang terlibat dalam pembuatan PP nomor 36 sungguh membuat permufakatan jahat. Rumusan atau formula kenaikan upah minimum dengan istilah batas bawah dan batas atas tidak dikenal dalam omnibus law UU Cipta Kerja yang ditandatangani presiden dan DPR."
Dalam konferensi pers pada Selasa (16/11) sore, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah mengatakan kenaikan UMP dan UMK ditetapkan dengan berdasarkan data-data ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, garis kemiskinan, dan jumlah pengangguran terbuka, yang juga disesuaikan dengan kondisi di daerah masing-masing, sesuai dengan peraturan pemerintah.
"Apabila kita amati UM (upah minimum) yang ada saat ini tidak memiliki korelasi sama sekali dengan rata-rata konsumsi median upah, atau bahkan tingkat penganggurannya," kata Ida.
Dia mengatakan ada kabupaten dan kota yang saling bersebelahan, tapi kabupatennya memiliki upah minimum dua kali lebih besar dibandingkan di kota.
"Terdapat kabupaten dengan angka pengangguran sangat tinggi dan mayoritas penduduknya masih bertani, namun karena kabupaten tersebut memiliki wilayah industri sehingga dipaksa memiliki nilai UMK sangat tinggi."
"Semangat dari formula UM berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021 adalah untuk mengurangi kesenjangan upah minimum," ujar Ida.
APINDO menilai tuntutan kenaikan upah minimum buruh yang menggunakan survei KHL tidak perlu dijadikan rujukan karena sudah tidak relevan dengan regulasi yang ada.
"Tuntutan tersebut tidak berdasarkan regulasi, tapi berdasarkan survei sendiri. Itu tidak perlu kita berikan atensi secara serius karena nanti akan menciptakan iklim pengupahan ini kurang kondusif," kata Adi.
Namun, Adi mengatakan buruh masih boleh menyampaikan tuntutannya karena itu hak para buruh.
Kenaikan masih wajar
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, mengatakan perdebatan soal penetapan upah minimum yang terus terjadi menjadi hal yang sulit, apalagi terjadi di tengah pandemi Covid-19, yang membuat kondisi ekonomi belum benar-benar pulih.
Pemerintah, kata dia, harus bisa menjelaskan situasi yang terjadi dengan lebih gamblang agar para buruh bisa menerima kenaikan upah yang dinilai Hendri masih wajar.
"Saya rasa itu sudah cukup wajar kalau misalnya ada pemahaman dari semuanya karena banyak sektor yang memang pertumbuhannya masih negatif. Hanya beberapa sektor saja yang sudah mulai tumbuh positif. Inflasi dari Januari sampai Oktober juga masih rendah di bawah 1%."
Hendri menambahkan kenaikan upah yang tinggi juga bisa menghambat pemulihan ekonomi. Jadi, dibutuhkan pemahaman dari semua pihak dalam menghadapi kondisi saat pandemi.
"Kalau kita mau pulih, terus kemudian ada beban dari kenaikan upah yang diminta untuk tinggi, maka akan menyulitkan untuk bergerak kembali. Akhirnya nanti yang akan kembali bukan di sektor produktif, bukan di sektor yang value added-nya lebih besar seperti manufaktur, tetapi yang bergerak akhirnya sektor perdagangan yang menyulitkan kita untuk create value added yang besar," kata dia.
Di sisi lain, Hendri menilai pemerintah juga harus bisa meredam kekhawatiran para buruh terkait biaya hidup yang terus meningkat. Jika pemerintah mampu mengendalikan biaya kebutuhan masyarakat, seperti biaya sewa atau beli rumah, biaya transportasi, atau harga pangan, menjadi masuk akal kalau peningkatan UMK tidak perlu terlalu tinggi.
Namun, dia menambahkan, kalau pemerintah tidah punya strategi untuk mengendalikan harga, perdebatan soal penentuan kenaikan upah ini akan terjadi terus-menerus.
"Kalau kita lihat misalnya di banyak negara itu kenaikan UMK juga tidak seperti kita tingginya karena memang kebutuhan-kebutuhan lain tidak menghadapi kenaikan harga yang tinggi. Jadi, memahamkan atau meminta para pekerja itu untuk bisa ikhlas, untuk tidak meminta kenaikan UMK yang tinggi menjadi masuk akal," kata Hendri.