Suara.com - Hasil kesepakatan KTT COP26 di Glasgow tidak akan menghambat "kecanduan" Indonesia untuk mengeksploitasi dan mengkonsumsi batu bara yang disebut sebagai salah satu kontributor utama krisis iklim, kata aktivis lingkungan dari Walhi.
Indonesia telah menandatangani kesepakatan transisi batu bara global menuju energi bersih pada KTT COP26 untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap hingga tahun 2040.
Namun ketergantungan Indonesia akan batu bara dipandang masih tinggi, karena sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri - lebih dari 110 juta ton batu bara pada tahun 2021 diprediksi digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap.
Baca juga:
Baca Juga: Dua ABK Pengangkut Batu Bara di Aceh Tewas, Diduga Terhirup Gas Beracun
- Kesepakatan iklim baru disepakati di Glasgow, mengapa batu bara 'dihentikan bertahap' dan 'tidak dihapus'?
- Indonesia jadi calon penerima pertama skema pinjaman internasional untuk percepat penutupan pembangkit listrik bertenaga batu bara
- Pemerintah didesak batalkan pembangunan PLTU batu bara di Jawa
Tahun lalu, realisasi produksi batu bara dalam negeri mencapai 561 juta ton, atau 102% dari target 550 juta ton.
Sementara, cadangan batu bara Indonesia mencapai 38,84 miliar ton atau untuk 65 tahun dengan rata-rata produksi 600 juta per tahun.
Pemerintah menegaskan, akan menyetop penggunaan batu bara lebih cepat jika negara-negara kaya dunia memberikan pendanaan untuk membangun pembangkit listrik energi baru dan terbarukan.
'Kecanduan batu bara yang tidak akan berhenti'
Indonesia bersama hampir 200 negara yang hadir dalam KTT COP26 di Skotlandia sepakat menandatangani Pakta Iklim Glasgow yang secara eksplisit berencana menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap, berubah dari awalnya menyetop total batu bara.
Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia berkomitmen untuk berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2040 mendatang.
Baca Juga: Kapal Tongkang Batu Bara Terdampar di Pantai Kharisma, Diduga Milik PLTU II Labuan
Namun, kesepakatan itu disebut tidak akan mengurangi kecanduan Indonesia dalam mengeksploitasi hingga menggunakan batu bara, kata aktivis lingkungan dari Walhi, Dwi Sawung.
"Kecanduan bukan hanya di sektor pembangkit, tapi di penambangan," kata Sawung kepada BBC News Indonesia, Senin (15/11).
Kecanduan itu diperlihatkan dalam kontradiksi sikap Indonesia di KTT COP26 dengan kebijakan di dalam negeri.
"Pembangunan PLTU masih jalan terus, lalu di RUU tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) masih memberi ruang untuk batu bara. Bahkan saya dengar Kementerian ESDM akan berencana memanfaatkan batu bara ke sektor lain jika listrik dilarang," tambah Sawung.
Baca juga:
- Gelombang panas hingga banjir yang menghancurkan, cuaca ekstrem kini jadi 'normal baru'
- Rencana ratusan negara atasi perubahan iklim dikritik PBB, termasuk Indonesia
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, akan ada tambahan 13,8 gigawatt PLTU yang dibangun di Jawa dan Sumatera, dari kapasitas PTLU batu bara saat ini sebesar 31,9 gigawatt.
"Kita sekarang dalam posisi surplus listrik, jadi ini saat yang tepat melakukan transisi dengan menghentikan rencana pembangunan PLTU, membangun energi baru terbarukan, lalu menutup PLTU-PLTU yang ada. Kita tidak akan mengalami krisis energi," katanya.
Dwi Sawung pesimistis Indonesia akan bebas batu bara tahun 2040 jika tidak ada buku panduan dan tindakan akselerasi yang cepat dalam melakukan transisi.
Menteri ESDM Arifin Tasrif telah menandatangani COP26 Coal to Clean Power Transition Statement, Kamis (04/11), namun hanya tiga dari empat poin yang ditandatangani.
Indonesia menolak poin ketiga, yaitu menghentikan penerbitan izin baru dan pembangunan proyek PLTU batu bara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.
Sementara poin lain yang disepakati Indonesia adalah mempercepat pengembangan energi bersih dan energi efisiensi.
Kemudian, mempercepat perkembangan teknologi dan kebijakan untuk mencapai transisi lepas dari pembangkit listrik yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon.
Terakhir adalah, menguatkan upaya domestik dan internasional untuk menyediakan kebijakan finansial, teknis, dan dukungan sosial untuk transisi yang adil dan inklusif.
Miliaran ton cadangan batu bara Indonesia
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, realisasi produksi batu bara dalam negeri tahun 2020 mencapai 561 juta ton, atau 102% dari target 550 juta ton.
Sementara untuk pemanfaatan batu bara domestik, terealisasi 85% dari target 155 juta ton.
Kemudian, berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI), per 26 Juli 2021, realisasi produksi batu bara Indonesia sebesar 328,75 juta ton dengan rincian 96,81 juta ton (realisasi domestik), 161,99 juta ton (realisasi ekspor), dan 52,22 juta ton untuk DMO (domestic market obligation).
"Saat ini 80 persen batu bara untuk pembangkit listrik," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin, yang juga menyebut batu bara masih menjadi tumpuan bagi kawasan Asia Pasifik dalam penyediaan energi terjangkau dan murah.
Ridwan menambahkan, cadangan batu bara saat ini mencapai 38,84 miliar ton - untuk 65 tahun ke depan dengan asumsi rata-rata produksi sebesar 600 juta ton per tahun.
Pajak karbon: 'kebijakan kompromistis dan tidak tepat sasaran'
Pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik berkontribusi 35% dari total 1.262 giga ton emisi karbon dioksida yang dihasilkan di Indonesia.
Direktur dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon sangat kompromistis.
Ia mencontohkan, dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pajak tarif karbon yang disarankan berada di angka Rp75 per kilogram.
"Tapi dengan berbagai desakan dan lobi para pelaku usaha, tarif diperkecil menjadi Rp30/kg, jauh lebih rendah dari rekomendasi internasional dan negara berkembang lain. Tarif pajak ini setengah hati," ujar Bhima.
Kemudian, dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tambah Bhima, tidak dijelaskan secara spesifik penggunaan pajak karbon sehingga rentan disalahgunakan untuk kepentingan lain.
"Tercatat bahwa 70% anggaran dari pajak karbon di negara penerima digunakan untuk sektor yang tidak relevan dengan lingkungan hidup. Ini bisa misleading, digunakan membiayai defisit angaran secara umum," kata Bhima.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, Indonesia setidaknya membutuhkan dana hingga US$365 miliar atau setara Rp5.131 triliun untuk menurunkan 29% emisi karbon hingga tahun 2030. Bahkan, mencapai US$479 miliar atau Rp6.734 triliun jika ingin menurukan 41%.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Indonesia siap mengurangi emisi karbon antara 41% hingga 50%, dengan syarat mendapat dukungan pendanaan internasional yang cukup.
Warga lingkar tambang di Kaltim, 'batu bara membuat hidup saya hancur'
Ngatemi, 59 tahun, dan suami yang tinggal di rumah berdinding kayu di Kota Samarinda, Kalimantan Timur menceritakan dampak buruk tambang batu bara bagi kehidupannya.
Awal menetap di Samarinda tahun 1974, Ngatemi bersama suaminya hidup berkecukupan karena hasil panen sawah yang melimpah.
Namun, keadaan berbalik 180 derajat ketika pertambangan batu bara beroperasi tepat di samping sawahnya.
Sejak itu, sawahnya sering kebanjiran dan kekeringan sehingga membuat hasil panen menurun tajam.
"Sekarang sebentar - sebentar banjir. Selama ada tambang di situ kami sering kebanjiran terus. Sawah saya kebanjiran. Sebelum ada tambang tanaman masih subur," kata Ngatemi kepada wartawan Lamela di rumahnya yang melaporkan kepada BBC News Indonesia, Senin (15/11).
"Musim hujan, banjir, musim panas, kekurangan air. Sawah pecah-pecah, padi gagal panen," terang dia.
Ngatemi berharap penggunaan batu bara segera disetop agar tak ada lagi pertambangan di sekitar tempat tinggalnya.
"Ya kami petani ini, pengen enggak ada tambang. Biar saya bisa tanami sawahku. Orang (petani) situ banyak enggak tanam," kata dia.
Aktivis dari Walhi, Dwi Sawung, menjelaskan batu bara memiliki dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan, dari proses eksploitasi, pengiriman, hingga pengangkutan.
Eksploitasi batu bara merusak bentang alam, mencemari air dan sungai yang sering kali menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya bencana alam.
Kemudian, dalam proses pengangkutan, debu batu bara menyebabkan sesak nafas, asma hingga bronkitis warga sekitar.
Lalu pengelolan batu bara menjadi listrik di PLTU mengeluarkan karbon dioksida yang menyebabkan krisis iklim, pencemaran debu PM 2,5, FABA (fly ash and bottom ash) yang mengandung logam berat hingga radioaktif.
Bagaimana respons pengusaha dan pemda?
Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Samarinda (APBS), Eko Priyatno, tak mempersoalkan jika nanti penggunaan batu bara dihentikan. Hanya saja, menurut dia, waktunya masih panjang.
"Kalau itu pun terjadi bakal panjang. Jadi disesuaikan sama cadangan batu bara-nya. Kalau itu dihentikan dampak paling terasa perusahaan besar yang PKP2B yang umur tambangnya masih 20 sampai 30 tahunan," kata dia.
Eko mengatakan saat ini rata-rata industri menggunakan bahan bakar fosil. Karena itu, butuh tahapan pengalihan itu.
"Artinya dunia tidak langsung setop. Jadi sejalan saja seiring cadangan habis, saat bersamaan batu bara tidak dipakai lagi. Apalagi buat lokalan aja. Pakai batu bara semua," kata dia.
Soal rencana pengenaan pajak karbon, Eko mengaku tak mempermasalahkan. "Sah-sah saja," kata dia.
Baca juga:
- Mengapa angka 1,5C sangat penting dalam COP26 di Glasgow dan dapat mengarah ke 'bencana iklim' bila tak ada tindakan
- Cek fakta pernyataan Jokowi di COP26, tentang deforestasi
- Indonesia dan seratus lebih negara janji akhiri deforestasi tahun 2030
Senada, Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim, Muhammad Sabani, mengaku tidak mempersoalkan jika batu bara disetop penggunaannya.
Sabani mengeklaim, Kaltim sudah mempersiapkan transformasi ekonomi sehingga tak semata berharap pada batu bara. Hal ini, kata dia, sejalan dengan stok batu bara yang mulai menipis.
"Konsep transformasi ekonominya sudah kita siapkan. Jadi suatu saat nanti, tiba waktunya kita sudah tidak bergantung dengan batu bara," ungkap dia.
Transformasi ekonomi yang dimaksud, kata Sabani, seperti peningkatan industri kelapa sawit dengan turunannya, kayu dengan turunannya, hingga sektor pariwisata dan beberapa komoditas lain seperti ikan yang mulai diekspor ke pasar global serta ekonomi kreatif lainnya.
"Dihentikan 2040, jadi kita masih punya waktu untuk mempersiapkan itu," kata Sabani.