Suara.com - Akhir Oktober lalu sebuah serangan pria berpisau di dalam kereta bawah tanah di Tokyo, yang menyebabkan 17 orang terluka, telah mengguncang Jepang.
Banyak perhatian pada serangan ini berfokus kepada tersangka, yang tampak menggunakan kostum Joker, tetapi apakah serangan itu mengungkapkan lebih banyak hal mengenai masyarakat Jepang secara keseluruhan?
Jepang merupakan negara yang sangat aman.
Saya tahu, ini sedikit klise.
Baca Juga: Punya Prospek Menjanjikan, Perusahaan Jepang Ingin Bangun PLTS di Sulsel
Tapi hal itu hanya bisa dirasakan ketika Anda tinggal di sini, dan menyadari bagaimana perbedaan Tokyo dari setiap kota-kota besar di dunia.
Kejahatan kecil yang umumnya terjadi di London atau New York, tidak ada di sini.
Kejahatan kekerasan adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh Anda, setidaknya sebagai seorang laki-laki.
Baca juga:
- Penikaman 'mengerikan' dan aksi pembakaran di kereta bawah tanah Tokyo, 17 orang terluka
- Bushido: Buku yang mengubah citra Jepang di mata dunia
- Kisah aneh Yukio Mishima - penulis novel terkenal Jepang yang bunuh diri dengan ritual Samurai
Ketika sebuah serangan kekerasan yang terjadi baru-baru ini di sebuah kereta yang disesaki penumpang, telah memicu alarm peringatan.
Baca Juga: Pebulu Tangkis Jepang Terharu Dapat Hadiah dari Greysia Polii
Serangan yang disebut "Joker" di malam Halloween telah membuat banyak penumpang bertanya-tanya: apakah aman bagi mereka untuk menggunakan jaringan kereta dan pihak berwenang berusaha keras untuk meyakinkan warga Tokyo bahwa segalanya sudah dilakukan untuk membuat mereka aman.
Ini juga telah memicu spekulasi di media-media mengenai tersangka, dan apakah mungkin ada yang lain "di luar sana" sama seperti lelaki itu?
Banyak yang dibuat dari stelan [kereta] dan kostum "Joker" yang digunakan oleh tersangka berusia 24 tahun.
'Bukan serangan psikopat'
Jika Anda pernah melihat film aslinya, Anda mungkin menyimpulkan bahwa ini adalah sebuah adegan kejahatan yang ditiru, meniru adegan di dalam kereta bawah tanah di New York.
Memang, tersangka dilaporkan telah mengatakan kepada penyidik, bahwa dia "menyembah karakter Joker" dan ingin "membunuh orang sebanyak mungkin".
Tapi kalangan psikolog kriminalitas mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari kostum dan waktunya bukanlah untuk meniru, tapi menarik perhatian atas kemarahan yang dia lakukan.
"Menurut saya, dia ingin tampil beda," kata Profesor Yasuyuki Deguchi, psikolog kriminal di Universitas Tokyo Mirai.
"Dia adalah pencari perhatian yang terdistorsi. Dengan berdandan ala Joker pada malam Halloween, dia pikir dia akan lebih menonjol. Dengan bertingkah seperti Joker dan mengatakan dia mirip dengan figur tersebut, dia bisa mendapatkan perhatian lebih dari orang-orang. Saya kira dia tidak memutuskan untuk meniru Joker, karena dia pernah menonton filmnya."
Saya sudah bicara dengan sejumlah psikolog kriminal sejak serangan terjadi, dan mereka semua mengatakan hal yang sama: ini bukanlah kejahatan seorang psikopat.
Padahal, serangan massal jarang dilakukan oleh penderita gangguan mental yang teridentifikasi.
Meskipun, mereka cocok dengan pola yang berbeda. Hal itu banyak dilakukan oleh laki-laki yang merasa ditolak oleh masyarakat.
"Isolasi sosial atau lemahnya ikatan sosial adalah satu dari faktor berisiko terbesar untuk tindak pidana, seperti pembunuhan massal dan kejahatan sangat serius lainnya," kata Profesor Takayuki Harada, seorang psikolog kriminal dari Universitas Tsukuba.
"Sehingga, mereka tak punya kerabat, tak punya orang yang dicintai, tak punya kerjaan, dan tak punya ikatan sosial. Mereka kecewa dengan masyarakat dan sangat dimusuhi masyarakat. Mereka juga punya kecenderungan bunuh diri," katanya.
'Mereka ingin menyalahkan orang lain'
Kita belum tahu banyak mengenai pria yang disangkakan melakukan serangan seperti "Joker"di Jepang.
Tapi para ahli yang saya ajak bicara mengaitkan hal ini pada peristiwa di Tokyo pada 2008 - ketika pria muda mengendarai sebuah truk ke kerumunan pembeli di distrik elektronik Akihabara yang populer, kemudan mulai menikam orang-orang di sekitarnya.
Pria yang melakukan serangan 2008 itu berasal dari keluarga papan atas yang hidup dengan tekanan tinggi. Tapi dia gagal dalam ujiam masuk universitas, dan akhirnya bekerja pada pekerjaan kasar.
Sebelum melakukan serangan, dia sempat berusaha bunuh diri dan mengunggah pesan di internet yang intinya merupakan rencananya untuk membunuh orang lain.
"Ini seperti terorisme, tapi ini bukanlah terorisme," kata seorang kriminolog lainnya yang enggan disebutkan namanya.
"[Serangan] Akihabara merupakan pembunuhan massal," katanya. "Tindakan ini berasal dari orang biasa atau orang lemah, seseorang yang pernah jadi korban perundungan. Mereka cenderung menumpuk stres.
"Mereka punya hasrat untuk bunuh diri, sehingga mereka pikir 'jika saya bunuh diri, saya mungkin bisa membawa yang lainnya bersama saya'. Mereka terutama ingin menyalahkan orang lain, atas situasi yang mereka hadapi."
Kejahatan itu punya kemiripan pada serangan massal di Amerika Serikat, tapi dengan perbedaan utama.
Pertama-tama, Jepang punya aturan ketat soal senjata.
Kedua, mempertontonkan tindakan kasar atau agresi merupakan hal tabu bagi masyarakat di sini, yang mungkin jadi satu alasan kejahatan seperti ini sangat jarang terjadi.
"Agresi yang terkadang ditunjukan ke dalam - [yang biasanya muncul sebagai] bunuh diri," kata Profesor Harada dari Universitas Tsukuba.
"Jika Anda mengubahnya keluar, ini akan menjadi pembunuhan atau tindakan kasar lainnya. Ini seperti dua sisi koin. Jepang sangat terkenal dengan tingkat bunuh diri yang tinggi.
"Tapi agresi dan jenis tindak kejahatan lainnya sangat rendah. Sehingga orang Jepang sepertinya mengarahkan agresi ke dalam. Itulah salah satu alasan tindakan agresi sangat rendah di negara ini."
Bagaimana pun, terdapat persepsi bahwa serangan seperti ini akan terjadi lebih sering di Jepang.
Sejauh ini sudah terdapat tiga insiden di jaringan kereta Tokyo sejak Agustus.
Para psikolog mengatakan, pandemi kemungkinan telah mendorong kesulitan ekonomi dan isolasi sosial, keduanya kemungkinan jadi pemicu. Mereka juga prihatin mengenai besarnya perhatian media tentang serangan joker.
"Saat insiden serupa terjadi [di masa lalu] kami melihat peniruan pasti muncul," kata Profesor Harada.
"Jadi, saya kira, ini merupakan persoalan bahwa media memberikan rincian, informasi, bagaimana kejahatan itu dilakukan. Jadi, saya pikir ini merupakan masalah besar."
Memang, kita sudah melihat satu upaya serangan tiruan, dan kepolisian mungkin telah melakukan pencegahan pada yang lainnya.
Tapi terlepas dari kekhawatiran yang dapat dipahami, para ahli yang saya ajak bicara mengatakan kita harus melihat jumlahnya dan mereka menunjukkan bahwa selama 50 tahun terakhir, kekerasan yang dilakukan laki-laki telah menurun secara drastis, dan bahwa Tokyo tetap menjadi salah satu tempat teraman di dunia.