Suara.com - Migrant Care mencatat, selama pandemi Covid-19 sebanyak 5.000 pekerja migran Indonesia (PMI) masih dipenjara tanpa alasan di Malaysia. Padahal masa tahanan mereka telah habis.
Mereka mendapatkan perlakuan buruk. Diintimidasi, dicaci maki, disiksa hingga dilecehkan oleh para petugas. Tak sedikit dari mereka mengalami trauma hingga depresi berat dalam masa penahanan. Mereka berharap pemerintah Indonesia dapat memberikan perlindungan dan rasa keadilan.
SITI dan Anton—bukan nama sebenarnya-- langsung menyantap sarapan usai tiba di tempat kerja mereka sekitar pukul 10 waktu setempat, 7 Juli 2020. Pasangan suami istri atau pasutri ini bekerja di sebuah restoran kawasan Kuala Lumpur, Malaysia. Di tengah menyuap makanan, lima Polisi Diraja Malaysia atau PDRM menyeruak masuk ke dalam restoran seraya menghampiri para pekerja.
Siti dan Anton (31) yang saat itu duduk di belakang restoran terhenyak. Polisi meminta semua pekerja untuk berkumpul dan menyerahkan dokumen izin kerja serta paspor. Siti menyerahkan semua dokumen yang diminta oleh kepolisian. Menyadari izin kerja Siti dan Anton sudah berakhir sejak Maret 2020, petugas menginterogasi mereka di tempat. Setelah itu, mereka dibawa ke kantor polisi menggunakan mobil tahanan dalam keadaan tangan diborgol. “Saat ditangkap saya kepikiran anak,” kata Siti kepada Suara.com, Jumat, 22 Oktober 2021.
Baca Juga: 4 Cara Menurunkan Berat Badan, Terbukti Sehat dan Efektif
Saat berada di mobil Polisi, Siti mengaku diminta uang 1.500 RM (Ringgit Malaysia) setara dengan Rp 5 juta sebagai jaminan ia tak akan ditahan. Saat itu ia hanya membawa 1.000 RM atau kisaran Rp 3, 5 juta. Semua uang itu diserahkan kepada polisi.
Alasan mempunyai dua anak menguatkan Siti tak ditahan. “Polisi bilang bisa bebas (suami-istri) dengan jaminan 3.000 RM tapi harus masuk penjara 14 hari,” kata Siti mengingat peristiwa saat itu.
Pasutri ini hampir 12 tahun bekerja di negeri Jiran. Siti merupakan PMI asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia berangkat ke Malaysia sejak 2006. Ia memutuskan kembali ke Indonesia pada 2008 karena masa izin kerjanya sudah berakhir.
Lantaran tak ingin lama menganggur, Siti memutuskan untuk berangkat lagi ke Malaysia dengan izin kerja sebagai juru masak. Sementara Anton merupakan PMI yang berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia berangkat ke Malaysia pada 2008. Keduanya memutuskan untuk menikah pada 2012 di Malaysia.
Baca Juga: 5 Cara Buka Toko Lazada, Jualan Mudah Cukup dari Rumah
Pemberlakuan karantina nasional melalui Aturan Kontrol Pergerakan (MCO) oleh Pemerintah Malaysia sejak Maret 2020, penyebab Siti dan Anton sulit mengurus perpanjangan izin kerja. Layanan mengurus perpanjangan masa izin kerja untuk PMI ditutup.
Pikir Siti, pemerintah Malaysia akan memberikan keringanan bagi PMI yang belum memperpanjang izin kerjanya berupa tetap membolehkan PMI untuk bekerja. “Baru mati beberapa bulan saja langsung kena tangkap padahal paspor kami masih hidup,” ujar Siti.
Siti berujar, suaminya dicecar sejumlah pertanyaan seputar izin bekerja. Mereka mengaku dibentak karena dianggap pekerja yang tidak patuh pada kebijakan pemerintah Malaysia.
Selama proses pemeriksaan Anton tidak mendapatkan pendampingan hukum dari pemerintah Indonesia. Anton lantas dibawa ke penjara Hentian Kajang, Selangor sembari menunggu proses pengadilan. “Saat itu orang Indonesia hanya kami, tiga dari Myanmar,” ungkap Siti.
Tidak sampai dua pekan, semua berkas Anton dinyatakan lengkap dan siap dibawa ke Mahkamah Kuala Lumpur. Dalam persidangan Anton divonis 40 hari penjara.
Setelah menjalani hukuman 40 hari, Anton tak langsung menghirup udara segar. Ia tetap ditahan. Siti yang mendengar itu mengaku linglung sebab putusan mahkamah tidak dipatuhi pihak Imigrasi. “Sepatutnya kan dia lepas dari masa tahanan itu 13 Agustus 2020,” kata Siti.
Mereka tak melawan. Awal Desember 2020, Siti mendapatkan telepon dari Imigrasi. Ia diberitahu bahwa suaminya boleh pulang dengan ketentuan keberangkatan pulang ditanggung oleh pekerja. Siti menuruti permintaan itu, ia kemudian membelikan tiket pesawat dengan keberangkatan Kuala Lumpur ke Jakarta.
Saat tiket hendak diserahkan kepada suaminya, Siti mendapat kabar dari petugas, suaminya tak boleh pulang karena dinyatakan positif Covid-19 setelah menjalani tes Polymerase Chain Reaction (PCR). “Jadi tiketnya hangus, kalau mau refund Air Asia minta bukti pernyataan positif Covid-19, saya minta ke imigrasi, tapi tidak bisa,” kata Siti.
Menurut Siti, suaminya sempat dibawa ke rumah sakit untuk proses penanganan Covid-19 meskipun kondisinya tidak bergejala seperti batuk, pilek, maupun demam. Sepulang dari Rumah Sakit, pada 20 Desember 2020, suaminya dibawa lagi ke detensi Hentian Kajang untuk menjalani karantina.
Tak sampai dua pekan, Anton dipindahkan ke penjara Bukit Jalil, Kuala Lumpur pada Januari 2021 tanpa ada pemberitahuan apa pun. Siti pun tidak tahu apa sebab suaminya dipindah ke dentensi yang berada di Jalan Alam Sutera Utama.
Siti yang penasaran dengan kondisi suami ingin menjenguk suami yang telah berpisah hampir satu tahun. Petugas imigrasi melarang dengan alasan masih dalam situasi pandemi. Satu-satunya cara Siti mengetahui suaminya hanya melalui saluran telepon yang disediakan oleh petugas. Samar-samar, Siti mendengar bahwa Anton alami kekerasan fisik dan psikis selama berada di bui. “Di Detensi Kajang tidak pernah mukul tapi di Bukit Jalil itu dipukul bagian kaki sampai tidak bisa jalan,” kata Siti menceritakan ulang kisah suaminya.
Suara.com mencoba menghubungi Anton melalui saluran telepon. Ia sudah berada di kampung halaman. Ia membenarkan pernyataan Siti. Kata Anton, di Detensi Bukit Jalil, pekerja diperlakukan tidak manusiawi, seperti lauk berupa ayam dan ikan untuk makan sudah basi, air minumnya seperti tak dimasak, dan tidur tanpa alas. Bahkan untuk mandi, Anton harus bergantian menggunakan sabun untuk 15 pekerja. “Kami juga dibentak, dipukul, dan dimaki,” kata Anton.
Anton dipukul pada tangan dan kaki menggunakan rotan dan selang air. Pukulan itu membuat tangan dan kakinya membiru. Akibatnya, Anton sulit berjalan selama tiga hari. “Sementara tangan saya sampai biru dan terus gemetar,” ucap Anton.
Anton juga mengaku sering dipindah-pindah blok tanpa sebab. Awal masuk ia berada di blok A, lalu dipindah ke blok B, C, dan D. “Padahal masa tahanan saya sudah habis. Sepatutnya sudah bebas” katanya.
Pada Juni 2021, petugas menyampaikan kepada Anton dan beberapa pekerja asal Indonesia perihal kepulangan ke Indonesia. Ada dua opsi yang ditawarkan petugas imigrasi, pertama membeli tiket pesawat lewt petugas dengan harga 2.500 - 3.000 RM atau setara dengan Rp 8-10 juta. Uang tersebut harus dikirim ke rekening pribadi petugas imigrasi.
Kedua, membeli tiket sendiri tanpa diurus petugas. Mendengar itu, Anton menghubungi Siti agar membelikan ia tiket pulang ke Indonesia. Lantaran tak mempunyai uang, Siti memilih untuk membeli tiket pesawat sendiri dengan harga Rp 450 ribu pada 21 Juni 2021.
Nasib buruk datang lagi. Ketika tiket sudah dibeli, Siti kembali mendapat kabar bahwa suaminya positif untuk kedua kalinya.
“Saya record dua kali positif,” ujar Anton. Belakangan Anton menyadari rekan-rekannya yang membeli tiket di luar petugas imigrasi juga dinyatakan positif. “Kalau beli di luar semua positif,” lanjutnya.
Perlakuan Tak Manusiawi
Jauh sebelum kekerasan dialami oleh Anton, pekerja asal Bekasi, Hayati (bukan nama sebenarnya) kerap mendapat perlakuan serupa Anton. Pada Desember 2019, ia bersama enam rekannya ditahan karena dianggap kabur dari lokasi kerjanya.
Hal itu dilakukan Hayati untuk mengadu ke Duta Besar RI di Malaysia lantaran majikannya tidak membayar upah sesuai dengan kontrak. Selain itu, uang lembur pun tak pernah dibayarkan selama satu tahun bekerja. “Kalau kita bermasalah kami dikurung majikan,” ujar Hayati, Kamis, 21 Oktober lalu.
Hayati mengaku ditahan di Blok A Detensi Semenyeh, Malaysia selama satu bulan. Pengamatan Hayati, di blok A terdapat 300 pekerja dari berbagai negara. Selama ditahan, Hayati mengaku alami penyiksaan dan kekerasan.
Ia mengungkapkan, perempuan hanya boleh membawa dua baju dan dilarang membawa pembalut. “Kalau datang bulan darahnya berceceran,” kata Hayati.
Kejadian itu masih sulit melupakan. Bahkan ketika pekerja sakit, petugas tidak memberikan obat. Alih-alih mengobati, petugas justru menyiram pekerja dengan air. “Obat susah didapat,” katanya.
Kata Hayati, tidak sedikit perempuan asal Indonesia yang ditahan di Detensi Semenyeh mengalami kecemasan yang berlebihan. Akibatnya, pekerja perempuan alami depresi dan stres berat. “Banyak yang menangis di tahanan. Saya ini PMI berdokumen, bukan nonprosedural, kenapa saya diperlakukan begitu,” ujarnya.
Koordinator Migrant Care Malaysia, Alex Ong menjelaskan selama pandemi Covid-19, pekerja migran indonesia mengalami berbagai bentuk perlakuan buruk. Pemerintah Malaysia selalu melakukan razia untuk menangkap PMI yang memiliki dokumen maupun yang tak berdokumen. “Orang Malaysia takut pekerja migran Indonesia membawa penyakit virus,” kata Alex Ong kepada Suara.com melalui telepon, Rabu, 21 Oktober.
Masalah lain, PMI yang masa tahanan sudah habis kemudian diperpanjang tanpa ada alasan. Dalam pantauan Alex, terdapat 5.000 PMI yang masih ditahan. “Semestinya mereka mendapatkan perlakuan repatriasi (pengembalian ke negara asal) setelah menjalani hukuman,” ujar Alex.
Penahanan tersebut, kata Alex, berdampak buruk bagi PMI perempuan, seperti sulit mendapatkan pekerjaan selepas ditahan, gangguan psikologi, hak untuk hidup tercabut, hingga perempuan yang suaminya ditahan sulit mendapatkan penghasilan untuk biaya hidup di Malaysia. “Itu kan satu pelanggaran HAM,” ucap Alex.
Bagi Alex, jaminan perlindungan untuk PMI di Malaysia masih jauh dari harapan. Alex mendorong agar kedua negara lebih serius memperhatikan kondisi PMI. Menurutnya, MoU yang dibuat kedua negara seperti tidak memberikan kepastian keselamatan, keamanan, dan perlindungan kepada PMI.
Indonesia telah melakukan MoU terkait dengan jaminan keselamatan PMI pada 2012 yang diperpanjang pada 2018 lantaran masa berlaku telah habis. Kekiniaan, pemerintah kembali menyiapkan MoU yang akan ditandatangani pada akhir 2021. ”Sibuk MoU tapi mekanisme perlindungan tidak memuaskan,” kata Alex.
Komisi Nasional Perempuan mendesak pemerintah agar lebih tanggap menangani PMI yang alami kekerasan maupun penahanan berlebihan di detensi. Menurut komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, kasus seperti penyiksaan dan permintaan uang kepada PMI dengan dalih membantu pemulangan merupakan kejahatan melanggar hukum. Ia meminta pemerintah untuk mengusut dengan tuntas. “Permintaan uang kepada PMI oleh petugas detensi merupakan bentuk pelanggaran karena menggunakan jabatan untuk meminta sejumlah uang dari PMI. Atas perlakuan tersebut harus ada upaya advokasi dari pemerintah Indonesia terhadap pelanggaran tersebut,” kata Tias, Selasa, 26 Oktober.
Sepanjang 2020, Komnas Perempuan telah menerima puluhan pengaduan PMI. Beberapa bentuk kekerasan yang dialami PMI di luar negeri seperti, kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), eksploitasi narkoba, dan berhadapan dengan pidana mati. Menurut Tias—sapaan akrabnya-- PMI wajib mendapatkan jaminan perlakuan aman dan hidup layak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Beleid tersebut menjelaskan PMI berhak mendapatkan hak-haknya, seperti akses hukum bagi korban dan keluarga. “Dalam pemenuhan hak tersebut dapat diwujudkan dengan kehadiran negara dengan menjamin perlindungan hukum, sosial, dan ekonomi PMI dan keluarganya,” kata Tias.
Perempuan yang aktif di serikat pekerja ini meminta pemerintah memberikan kompensasi sesuai dengan tingkat kerugian material dan non material korban. Selain itu, Tias juga meminta agar pemerintah memberikan pemulihan bagi PMI yang alami kekerasan penyiksaan, dan praktik penahanan berlebihan. ”Pemerintah harus melakukan itu,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Judha Nugraha mengaku belum ada laporan terkait dengan kekerasan maupun permintaan uang kepada PMI di detensi di Malaysia. Pihaknya akan mendalami kasus-kasus pelanggaran hukum terhadap PMI. “Kami saat ini belum menerima laporan tertulis. Kami mendorong agar PMI melaporkan kepada kami,” kata Judha, Jumat, 29 Oktober.
Kementerian Luar Negeri melalui enam perwakilannya di Malaysia mengaku telah mengecek semua penjara. Dari pemeriksaan itu, Kemenlu mencatat terdapat 4.303 PMI yang masih ditahan meski proses menjalani hukuman telah selesai.
Menurut Judha, kondisi penjara mengalami over crowd. Kemenlu mendorong pemerintah Malaysia dapat menjamin keamanan dan keselamatan PMI yang ditahan. “Perlakuan dan kesiapan fasilitas yang memadai di detensi harus dijamin karena itu hak dari PMI untuk mendapatkan fasilitas yang memadai dan tidak berdesakan,” kata Judha.
Penanggung jawab sementara (Plt) Duta Besar Malaysia di Indonesia Adlan Mohd. Shafieq menegaskan tidak ada kebijakan permintaan uang ke PMI untuk membantu kepulangan ke Indonesia yang dikeluarkan oleh Pemerintah Malaysia. Menurutnya, Malaysia hanya membantu untuk swab PCR sebelum diterbangkan ke Indonesia. “Permintaan uang itu masuk tindak pidana korupsi di Malaysia. Kiranya kami bisa diinfokan siapa pelakunya. Info ini akan kami ambil tindak sewajarnya. Hukumannya bisa penjara,” ujar Adlan saat dikonfirmasi melalui telepon, Sabtu, 6 November.
Terkait dengan praktik kekerasan dan penambahan penahanan hukuman bagi PMI di detensi, Adlan menyampaikan tindakan itu tidak dapat dibenarkan. Pihak Malaysia akan mengusut kasus tersebut dengan memeriksa seluruh detensi yang ada di Malaysia.
Bagi terduga pelaku yang terbukti melakukan kekerasan, menambah hukuman, dan meminta uang, Pemerintah Malaysia, kata Adlan akan memberlakukan hukum disiplin, mulai dari pemotongan gaji, penurunan jabatan, hingga pidana penjara. “Kami akan tanyakan kepada instansi otoritas depo berkaitan mengenai penambahan tahanan. Sementara kekerasan sewajarnya tidak berlaku. Kalau ada kekerasan kami akan ambil tindakan serius dengan tindakan disiplin,” tegas Adlan.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri akan menyiapkan proses hukum ketika korban PMI melaporkan kasus yang dialami di detensi ke Kemenlu dan enam KBRI di Malaysia. Tanpa itu, menurut Judha, sulit bagi Kemenlu melakukan upaya hukum bagi korban. “Kami bisa menuntut sesuai dengan prosedur hukum. Kami bisa menuntut pelakunya,” ungkapnya.
---------------------------------------------------------------
Catatan redaksi: Peliputan artikel ini dilakukan oleh Abdus Somad.
Liputan ini program Fellowship yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Internasional Labour Organitation (ILO)