Suara.com - Orang-orang Mentawai sesungguhnya bisa saja bertahan hidup dengan berburu dan berladang, namun demi masa depan lebih baik, anak-anak muda suku Mentawai dikirim bersekolah di kota - dan semua ini butuh uang, sesuatu yang susah mereka dapatkan saat pandemi tak kunjung usai.
Enam tengkorak simakobu - satu dari empat jenis primata endemik di Kepulauan Mentawai - tergantung di langit-langit uma, sebutan bagi rumah adat orang Mentawai di Dusun Batui, Siberut Selatan, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Tengkorak-tengkorak itu berwarna putih, menandakan keberadaannya di langit-langit itu masih baru. Tergantung di sekitarnya adalah tengkorak-tengkorak lain - beberapa di antaranya babi dan burung - yang telah berwarna kecokelatan.
Puluhan tengkorak hewan hasil buruan itu digantung dengan wajah menghadap keluar uma.
Baca Juga: Covid-19 Melanda Pulau Terluar dan Pedalaman: Mentawai Terbilang Gawat
Dalam Arat Sabulungan, kepercayaan terhadap roh-roh yang diyakini orang Mentawai, posisi itu dipercaya dapat membuat roh binatang memanggil kawan-kawannya yang ada di hutan untuk berkumpul bersama di dalam uma, sehingga mudah diburu.
Baca juga:
- 'Saat mati, yang kami bawa adalah tato': Menyelamatkan seni tato di Mentawai
- Kasus Covid-19 bermunculan di pedalaman: 'Kondisi di Mentawai bisa dibilang gawat'
- Stok vaksin selalu difokuskan untuk 'daerah prioritas', penasehat WHO sebut ketimpangan vaksinasi di Indonesia akan terus terjadi
Uma itu milik Aman Lepon, 47 tahun. Nama sebenarnya Lau Lau Manai. Lepon, adalah nama anak pertamanya. Sementara 'Aman' dalam bahasa Mentawai berarti 'Bapak'.
"Simakobu itu hasil berburu saya ke hutan bersama dua saudara laki-laki saya seminggu yang lalu," katanya kepada wartawan Febrianti yang melaporkan untuk BBC Indonesia, di awal Oktober lalu.
Dusun Butui, Desa Madobog, terletak di lembah subur di hulu Sungai Sarereiket, Siberut Selatan. Dihuni oleh 87 keluarga dan 336 jiwa, masyarakat Butui masih mempertahankan budaya dan hidup selaras dengan alam.
Baca Juga: Tato Mentawai Hampir Punah: Pengingat Bagi Orang-orang Mentawai Atas Leluhurnya
Untuk mencapai Butui, kita harus naik pompong - perahu kecil bermesin tempel - dari Muara Siberut, pusat kecamatan, selama lima jam.
Butui telah lama menjadi salah satu kampung tradisional Mentawai yang sering dikunjungi turis, terutama dari mancanegara karena budayanya yang masih kuat.
"[Turis] datang ada yang membuat film tentang budaya kami, ada yang ingin merekam suara binatang di hutan, terutama suara monyet. Bahkan ada yang hanya duduk membuat sketsa gambar selama di sini," kata Aman Lepon.
Namun sejak pandemi Covid-19, kampung ini berubah sepi.
'Hidup sekarang terasa lebih sulit'
Pandemi membuat denyut wisata di Butui benar-benar terhenti.
Tidak ada lagi turis dari Eropa seperti Prancis, Jerman, atau Kanada yang datang ke uma warga Butui. Wisatawan lokal dari Jakarta dan daerah lain pun urung berkunjung.
Pandemi juga menyebabkan sebagian masyarakat adat Mentawai di Lembah Sarereiket, seperti Desa Madobag dan Desa Matotonan, kehilangan pendapatan.
Mereka umumnya mendapat uang dari menjadi pemandu wisata lokal, operator pompong, atau membuka warung.
Bahkan para petani dan peladang pun kesusahan. Kendala transportasi laut ke Padang membuat harga pisang, pinang, dan manau menjadi murah.
"Hidup sekarang terasa lebih sulit, mencari uang juga susah sejak ada virus corona. Sudah dua tahun ini tidak ada tamu, baru kali ini ada tamu yang datang ke uma," kata Aman Lepon, sembari menunjuk rombongan tamu di uma besar keluarganya yang baru datang.
Aman Lepon yang biasanya menyambut turis, kini lebih sering ke hutan dan berburu babi, rusa, atau monyet untuk tambahan makanan pelengkap sagu, pisang dan keladi.
Tetapi sekadar bertahan hidup dengan makanan saja tidak cukup.
Aman Lepon mengaku membutuhkan uang untuk biaya anak-anaknya yang sekolah dan kuliah. Anak sulungnya, Lepon Salakkirat, kuliah di Kota Padang. Sedangkan anak keduanya duduk di bangku SMA di Muara Siberut.
Sebagian besar ternak babinya sudah dijual untuk membiayai anak-anaknya. Ia juga pernah menjual pisang dan manau, tetapi harganya sangat murah. Satu tandan pisang hanya dihargai Rp8.000 dan satu batang manau besar hanya Rp2.000.
Saat itu, kata Aman Lepon, dia mengantongi Rp200 ribu dari hasil penjualan pisang dan manau. Uang itu habis untuk membeli bensin pompong ke tempat penjualannya di Muara Siberut.
"Saya ingin menangis. Sekarang semua serba uang, untuk biaya kuliah Lepon saja Rp5 juta sampai Rp6 jutaan tiap semester. Belum lagi uang kos dan biaya makannya setiap bulan, saya jadi bingung," katanya.
Tapi ia tak ingin anak-anaknya putus sekolah. Aman Lepon menginginkan masa depan yang lebih baik untuk keturunannya.
"Kami tidak sekolah. Kami bodoh, tidak sekolah sama sekali. Kami harapkan anak-anak kami sekolah yang bagus. Biar bapak ibunya yang bodoh tapi anak-anak harus sekolah."
Aman Goddai, saudara Aman Lepon, mengeluhkan hal yang sama.
"Kalau untuk makan memang masih ada sagu, pisang, dan keladi, tapi itu tidak cukup. Kami masih butuh uang untuk membeli garam, gula, dan pakaian anak," katanya.
Aman Lepon dan Aman Goddai mengatakan tidak pernah mendapat bantuan sosial Covid dari pemerintah.
"Ada orang yang sudah mendapat bantuan dari pemerintah, dapat beras sekarung, telur, dan uang, tetapi saya dan keluarga tidak pernah dapat.
"Padahal saya juga punya KTP, punya Kartu Keluarga, punya anak yang kuliah dan butuh bantuan, dan saya juga tidak punya pekerjaan," kata Aman Lepon.
Tanpa bantuan sosial dari pemerintah dan tanpa pemasukan dari pariwisata, masyarakat adat di Butui seperti terlupakan di tengah-tengah pandemi.
Ramuan rahasia sikerei
Aman Lepon dan Aman Goddai merupakan sikerei, ahli tanaman obat dan tokoh ritual penghubung manusia dengan roh-roh dalam setiap ritual orang Mentawai. Di Butui, masih ada sekitar 40 sikerei seperti mereka.
Menjadi sikerei adalah sebuah kehormatan tersendiri, sebut Aman Lepon, walaupun kerap kali tak ada imbalannya.
"Menjadi sikerei itu seperti kerja mulia. Untuk mengobati orang sakit, bayaran tidak kami minta," sebutnya.
Bila ada, warga yang sakit akan menyembelih ayam atau babi untuk dimakan bersama sikerei setelah ritual selesai. "Lalu sikerei diberi sebagian untuk dibawa pulang," lanjut dia.
Di kawasan Sarereiket seperti Desa Madobag dan Desa Matotonan, tidak terlalu banyak kasus Covid-19. Hanya ada enam kasus terkonfirmasi Covid di sana, yang seluruhnya dinyatakan telah sembuh pada September lalu.
Sebagian warga, kata Aman Lepon, mengaku kehilangan indera penciuman beberapa waktu lalu. Tapi gejala ini dianggap biasa.
Pasalnya, setiap tahun saat pohon buah-buahan mulai berbunga, selalu ada warga yang terserang penyakit ringan seperti flu, sakit perut, dan kehilangan penciuman.
"Ada obatnya dari ramuan tumbuhan obat sikerei," kata Aman Lepon.
Steven De Nachs, dokter di Puskesmas Sarereiket yang menangani wilayah Desa Madobag dan Desa Matotonan mengatakan, kasus Covid-19 di wilayahnya cukup rendah dibandingkan daerah sekitarnya.
Ia menduga itu terjadi karena penduduk jarang bepergian keluar kampung.
"Mereka lebih sering bekerja ke ladang atau ke hutan. Sakit yang paling banyak karena akibat pekerjaan, seperti sakit pinggang dan punggung," ujarnya.
Kasus pertama Covid-19 di wilayah Sarereiket menimpa seorang guru dari Madobag yang dinyatakan positif pada Januari 2021.
Ia terdeteksi saat mengikuti tes rapid antigen di Muara Siberut untuk persiapan pembelajaran tatap muka. Saat itu sepuluh guru dinyatakan positif Covid.
Pada Agustus 2021, tiga warga Matotonan juga positif Covid-19. Satu tenaga kesehatan dan dua lagi tetangganya. Ketiganya melakukan isolasi mandiri dan sudah sembuh. Dua kasus lainnya adalah warga Madobag yang diketahui positif ketika berobat ke RSUD Tuapeijat.
"Sejak September 2021 di Sarereiket sudah nol kasus sampai sekarang, vaksinasi terus dilakukan terutama kepada pelajar yang hampir 100 persen sudah divaksin," kata dr Steven De Nachs.
Ia juga mengatakan, stok vaksin Covid untuk Puskesmas Sarereiket berlebih karena banyak warga yang tidak mau divaksin. Rata-rata alasan mereka takut disuntik.
Menurut Steven, masih banyak warga yang tidak menganggap Covid-19 berbahaya. Apalagi gejala-gejala Covid-19, termasuk hilangnya penciuman, merupakan gejala yang biasa dialami warga menjelang musim buah.
Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai sampai saat ini masih memberlakukan aturan yang ketat kepada penumpang kapal yang masuk ke Kepulauan Mentawai.
Selain harus mengantongi surat vaksinasi, penumpang juga harus memiliki surat hasil pemeriksaan rapid tes antigen negatif.
Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Mentawai Lahmuddin Siregar mengatakan kasus Covid-19 di Mentawai sudah menurun. Total kasus terkonfirmasi Covid19 di Kepulauan Mentawai sebanyak 1.968 orang, dengan dua orang warga Pulau Sipora meninggal dunia.
Aman Goddai sendiri mengaku takut dengan virus corona. Karena itulah ia tidak pernah keluar dari kampungnya. Anak-anaknya yang sekolah sudah divaksin, namun dia dan istrinya belum divaksin karena takut disuntik.
"Saya ingin pandemi ini cepat berakhir agar kita bisa bertemu banyak orang, bisa bersalaman lagi dan tidak takut lagi berbicara dari dekat karena ada penyakit ini," ujarnya.
Wartawan di Padang, Febrianti, berkontribusi untuk artikel ini.
Anda mungkin tertarik menonton video ini: