Uni Eropa Terpecah soal Klasifikasi Nuklir sebagai Energi Ramah Lingkungan

Sabtu, 13 November 2021 | 08:04 WIB
Uni Eropa Terpecah soal Klasifikasi Nuklir sebagai Energi Ramah Lingkungan
DW
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Itu terlalu berisiko, terlalu lambat, dan terlalu mahal," kata Jerman. Sementara anggota UE lainnya mendorong blok tersebut untuk mengklasifikasikan tenaga nuklir sebagai energi ramah lingkungan bagi investor.

Jerman, Luksemburg, Portugal, Denmark, dan Austria menentang klasifikasi energi nuklir sebagai sumber daya ramah iklim, pada Kamis (11/11).

Pernyataan tersebut disampaikan di sela-sela KTT COP26, saat Komisi Eropa tengah membahas potensi energi apa saja yang masuk dalam "kegiatan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan."

Beberapa negara Uni Eropa lainnya yang dipimpin oleh Prancis, berusaha memasukkan energi nuklir modern ke dalam daftar energi ramah lingkungan.

Baca Juga: Perubahan Iklim di Bangladesh: Terancam Kehilangan Pekerjaan dan Tempat Tinggal

Prancis telah menyuarakan rencana menggunakan energi nuklir untuk menutup pabrik bahan bakar fosil yang merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca.

Bantahan dari negara lain

"Dekade ini akan sangat penting untuk bersama-sama menuju netralitas iklim dan sistem ekonomi yang menghormati batas planet kita," kata Jerman, Luksemburg, Portugal, Denmark, dan Austria dalam sebuah pernyataan.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki kesepakatan klasifikasi yang mempertimbangkan keberlanjutan bentuk energi "sepanjang siklus hidupnya," tambah koalisi lima negara itu, mengacu pada limbah radioaktif yang dihasilkan oleh penggunaan tenaga nuklir.

Mereka juga memperingatkan bahwa klasifikasi tersebut dapat berisiko mengalihkan dana Uni Eropa dari energi terbarukan seperti tenaga angin dan surya.

Baca Juga: Hadiri COP26 di Glasgow, Gus Muhaimin Tawarkan Solusi Atasi Ancaman Perubahan Iklim

"Energi nuklir tidak bisa menjadi solusi dalam krisis iklim," kata Menteri Lingkungan Jerman Svenja Schulze.

"Itu terlalu berisiko, terlalu lambat, dan terlalu mahal untuk dekade ini dalam perang melawan perubahan iklim," tambahnya.

Menteri Lingkungan Austria, Leonore Gewessler, juga mendukung sikap Jerman dengan mengatakan, "Hanya karena sesuatu tidak begitu buruk tidak berarti itu baik."

Bagaimana dengan negara pendukung energi nuklir? Prancis, Polandia, Hongaria, dan Republik Ceko meminta Komisi Eropa untuk mengklasifikasikan pembangkit listrik tenaga nuklir dan fasilitas penyimpanan limbah nuklir sebagai energi ramah lingkungan.

Mereka juga menginginkan kesepakatan klasifikasi untuk memasukkan pembangkit listrik berbahan bakar gas alam.

Sebelumnya pada Selasa (09/11), Prancis mengumumkan akan mulai membangun reaktor nuklir baru pertamanya dalam beberapa dekade untuk memenuhi janjinya mengurangi emisi karbon.

"Jika kita ingin membayar energi kita dengan harga yang wajar dan tidak bergantung pada negara asing, kita harus terus menghemat energi dan berinvestasi dalam produksi energi bebas karbon di tanah kita," kata Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Klasifikasi nuklir sebagai "energi berkelanjutan"

Komisi Eropa tengah menyusun sistem klasifikasi berupa daftar "kegiatan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan."

Komisi mengatakan daftar itu harus "menciptakan keamanan bagi investor, melindungi investor swasta dari pencucian hijau, membantu perusahaan menjadi lebih ramah iklim, mengurangi fragmentasi pasar, dan membantu mengalihkan investasi di tempat yang paling dibutuhkan."

Jika Brussels mengklasifikasikan tenaga nuklir sebagai "energi berkelanjutan" dalam teks hukum, poin itu akan dihitung sebagai rekomendasi langsung ke pasar keuangan untuk berinvestasi di pembangkit nuklir.

Pada April 2020, Badan Ilmiah Komisi Eropa dan Pusat Penelitian Gabungan merilis laporan yang menemukan bahwa tenaga nuklir adalah sumber energi rendah karbon yang aman yang sebanding dengan angin dan tenaga air dalam hal kontribusinya terhadap perubahan iklim.

Namun, banyak pencinta lingkungan menentang tenaga nuklir dengan alasan risiko kehancuran nuklir dan kesulitan membuang limbah nuklir dengan benar. bh/ha (AFP, AP, dpa, Reuters)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI