Suara.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melihat jumlah korban yang melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat di tengah pandemi Covid-19. Akan tetapi karena kondisi, daya penanganannya justru sangat terbatas.
"Jumlah korban yang melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, daya penanganan sangat terbatas," kata Alimatul dalam diskusi bertajuk Birokrasi Pelayanan Publik di Era Vuca secara virtual, Kamis (11/11/2021).
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengungkapkan pengaduan yang berkaitan dengan kasus kekerasan terhadap perempuan ke Komnas Perempuan itu meningkat pada 2021.
"Kenaikan bertambah lagi di tahun 2021 yaitu sebanyak 130 persen kenaikan dibandingkan 2020 sampai bulan Mei," kata dia.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Bikin Kesadaran Isu Kesehatan dan Keselamatan Kerja Meningkat
Kemudian dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2021 terdokumentasi kesulitan korban mengakses lembaga layanan akibat sistem yang harus beradaptasi dengan protokol kesehatan di masa pandemi.
Alimatul mengatakan bahwa masalah utama yang terjadi akibat adanya pandemi Covid-19 ialah soal anggaran untuk melakukan kegiatan layanan dan penguatan kapasitas awak pendamping. Hal tersebut membuat sebagian besar lembaga layanan berpindah dengan memanfaatkan layanan daring.
Itu disampaikan oleh 66 lembaga layanan di 25 provinsi melalui angkat dan diskusi yang dilakukan Komnas Perempuan.
Kalau layanannya harus dilakukan secara daring, maka dampaknya ialah akses perempuan korban pada layanan akan terhambat. Pasalnya, ada korban yang tidak mengetahui kontak layanan, berada di daerah yang infrastrukturnya belum berkembang, tidak memiliki alat atau dana untuk mengontak ataupun tidak dapat leluasa melakukan pelaporan ketika pelaku juga tetap berada hampir sepanjang hari bersama.
Lalu biaya operasional juga bertambah untuk komunikasi, pembelian APD dan pelaksanaan protokol kesehatan saat harus melakukan layanan luring, jumlah layanan semakin berkurang, khususnya evakuasi dan rumah aman hingga resiko kesehatan pada awak pengada layanan, korban dan juga APH karena proses hukum sebagian besar masih harus dilakukan secara luring.
Baca Juga: Peringkat Indeks Pemulihan Pandemi Covid-19 Indonesia Makin Membaik
Dengan demikian menurutnya perlu adanya perhatian pengadaan anggaran yang cukup bagi pendampingan korban, dengan perhatian khusus pada protokol kesehatan di masa pandemi.
Alimatul mencontohkan dengan hanya ada 2 dari 96 kebijakan daerah terkait rumah aman yang menyatakan dukungan anggaran bagi pelaksanaannya dan hanya 3 dari 94 kebijakan tentang layanan visum yang secara eksplisit menyatakan layanan bagi perempuan korban kekerasan.
Dengan kondisi tersebut, Komnas Perempuan memberikan sejumlah rekomendasi. Rekomendasi yang pertama ialah mengajak seluruh pihak mengapresiasi dan mendukung daya lenting serta kerja-kerja lembaga layanan pendamping korban maupun perempuan pembela HAM yang masih banyak mengalami hambatan dan tantangan.
"Mengajak seluruh pihak untuk memberikan akses, sumber daya manusia, kebutuhan infrastruktur untuk layanan korban kekerasan terhadap perempuan seperti rumah aman, psikolog dan medis yang tersebar hingga ke wilayah terpencil," ujarnya.
Komnas Perempuan juga meminta dukungan seluruh pihak terutama pemerintah dan legislatif dalam penguatan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai LNHAM terutama melalui Perpres 65 Tahun 2005 dan Perpres 132 tahun 2017.
"Sehingga Komnas Perempuan dapat bekerja dengan efektif dan mampu menjangkau persoalan perempuan yang lebih luas dengan dukungan sumber daya manusia dan anggaran yang proposional."