Suara.com - Leanne Howlett telah terbiasa dengan depresi setelah melahirkan. Leanne pernah merasakannya setelah melahirkan putranya beberapa tahun lalu. Namun kali ini, depresi yang dia alami terasa berbeda.
Putrinya baru berusia lima bulan ketika Inggris memberlakukan karantina wilayah pada Maret 2020, akibat wabah Covid-19.
"Saat itu, kunjungan [tim kesehatan mental setelah melahirkan] dibatalkan," kata dia.
Sebagai gantinya, Leanne ditawarkan untuk mendapat pelayanan melalui telepon. Situasi ini membuat dia panik, tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi dan kondisinya saat itu.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Bikin Kesadaran Isu Kesehatan dan Keselamatan Kerja Meningkat
Pada masa itu, tempat penitipan anak ditutup sementara. Leanne juga tidak bisa menemui keluarganya. Untuk menjalani rutinitas sehari-hari saja dia merasa kesulitan.
"Saat itu saya merasa ada di titik terendah," kata perempuan berusia 34 tahun itu.
"Saya tidak tahu bagaimana mengatasi situasi itu, saya bahkan berpikir semua orang terlihat lebih baik tanpa saya."
Selama masa pandemi, pelayanan dan dukungan bagi orang tua baru, bayi, dan anak-anak di Inggris menjadi jauh berkurang apabila dibandingkan dengan situasi normal.
Baca juga:
Baca Juga: Info Vaksin Surabaya 11 November 2021, Ayo Vaksinasi COVID-19 Agar Pandemi Selesai
- Sekolah tatap muka, anak penyandang disabilitas disebut punya risiko 'berlipat ganda'
- ‘Saya mau mati saja, tapi ingin anak saya hidup’ – Pengakuan para perempuan penyintas depresi perinatal
- 'Stres, mudah marah, hingga dugaan bunuh diri', persoalan mental murid selama pembelajaran jarak jauh
'Kata pertama yang diucapkan bayi saya adalah masker'
Leanne mulai merasa lebih baik pada musim panas lalu, ketika layanan penitipan anak kembali dibuka. Namun, dia merasa situasi pandemi telah berdampak besar terhadap putrinya yang kini berusia dua tahun.
"Dia sama sekali tidak ramah, dia tidak bertemu orang lain kecuali kami [orang tuanya] sampai usianya hampir satu tahun.
"Ada banyak kegiatan yang dia lewatkan, terutama hal-hal yang semestinya dia lakukan untuk pertama kalinya."
Ketika dia akhirnya berkunjung ke kelompok bermain pertama bagi bayinya, seluruh ibu mengenakan masker.
"Kata pertama yang diucapkan bayi saya adalah masker."
Tidak ada pesta ulang tahun
Seorang ibu asal Warwickshire, Inggris bernama Nicole Jones, 31, juga bercerita bagaimana sejumlah momen penting bagi bayinya yang bernama Dylan terlewatkan selama pandemi.
Pertemuan pertama Dylan dengan kakek dan neneknya berlangsung melalui jendela. Kakek dan nenek Dylan baru bisa menggendong cucunya itu ketika telah berusia tiga bulan.
Nicole melewatkan kesempatan bergabung dengan kelompok bermain lokal dan berkenalan dengan sesama ibu baru. Selain itu, dia juga tidak bisa mengadakan pesta ulang tahun untuk Dylan.
"Ini terasa pahit bagi saya, pengalaman yang tidak menyenangkan," kata dia.
'Bayi yang tidak terlihat'
Nicole menjadi salah satu orang yang kecewa dengan minimnya dukungan yang tersedia untuk orang tua dan bayi selama pandemi.
Dylan lahir secara prematur pada Maret 2020. Setelah melahirkan, bayi itu sempat berada di perawatan khusus selama dua hari.
Nicole mengatakan bayinya berada di rumah sakit selama satu minggu dan akhirnya bisa pulang ke rumah pada hari kelima ketika karantina wilayah berlaku.
Menurut dia, tidak ada kunjungan dari petugas kesehatan selama satu tahun pertama sejak bayinya lahir.
"Kami tidak mendapatkan dukungan apa pun, kami bahkan tidak ditawari panggilan telepon."
Setelah berbulan-bulan mengalami kolik dan muntah-muntah, Dylan didiagnosis alergi susu pada usia ketujuh bulan. Ini membuat Nicole merasa bersalah.
"Itu membuat saya merasa stress dan tidak termaafkan," katanya.
"Saya juga seorang pekerja sosial, dan saya tetap melayani orang-orang secara tatap muka, lantas kenapa mereka tidak bisa memberi pelayanan tatap muka?"
Selama masa pandemi, pelayanan dan dukungan bagi orang tua baru, bayi, dan anak-anak di Inggris menjadi jauh berkurang apabila dibandingkan dengan situasi normal.
Semakin banyak keluarga menghadapi kemiskinan dan masalah kesehatan mental. Kejadian pelecehan juga meningkat. Menurut sejumlah badan amal di Inggris, situasi ini sangat memprihatinkan dan turut berdampak terhadap perkembangan anak usia dini.
Sebuah laporan berjudul "Tidak Seorang pun Mau Bertemu Bayi Saya" yang diterbitkan pada bulan ini menunjukkan bahwa banyak keluarga tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Laporan itu juga menyinggung perihal pentingnya meningkatkan anggaran kunjungan kesehatan, untuk mengecek kondisi dan perkembangan para bayi dan balita.
Namun, pandemi membuat masih banyak pelayanan yang mengutamakan layanan virtual ketimbang mengunjungi langsung bayi-bayi tersebut untuk dicek.
"Banyak bayi tidak diperhatikan dan kebutuhan mereka tidak tertangani apabila pelayanan ini dilakukan dari jarak jauh," kata Sally Hogg dari Parent Infant Foundation.
Bepergian keluar
Emma Junior, 31, memiliki sejumlah saran untuk orang tua baru yang merasa terisolasi. Setelah melahirkan anak kembar bernama Sienna dan Sebastian pada musim panas tahun lalu, Emma sempat merasa "terperangkap selama berhari-hari"
Dia kemudian bergabung dengan kelompok sukarelawan bernama HomeStart, di mana dia bisa berbincang sesama orang dewasa, sedangkan anak kembarnya dapat bersosialiasi dengan anak-anak lain seusianya.
Dia juga merekomendasikan agar para orang tua baru mau menerima pertolongan yang ditawarkan, meluangkan waktu untuk diri sendiri, serta keluar rumah kapan pun dimungkinkan.
Pandemi Covid-19 menyebabkan dampak psikologis dan kebutuhan akan kepastian penanganannya. Hal ini telah disadari oleh Leanne, yang kini berhenti dari pekerjaannya sebagai pengacara dan berlatih menjadi perawat kesehatan mental "untuk membantu ibu-ibu lain lewat tatap muka."