Diktilitbang PP Muhammadiyah Minta Nadiem Cabut Permendikbudristek No 30 Tahun 2021

Selasa, 09 November 2021 | 18:32 WIB
Diktilitbang PP Muhammadiyah Minta Nadiem Cabut Permendikbudristek No 30 Tahun 2021
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudritek) Nadiem Makarim. [Sekretariat Presiden]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat (Diktilitbang PP) Muhammadiyah meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mencabut Permendikbudristek No 30 Tahun 2021.

Diketahui pada September 2021, Nadiem mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021). 

Ketua Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad mengatakan pihaknya mengkritik karena aturan tersebut memiliki masalah formil dan materil.

"Sebaiknya mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, agar perumusan peraturan sesuai dengan ketentuan formil pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara materil tidak terdapat norma yang bertentangan dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ujar Arsyad dalam keterangannya, Selasa (9/11/2021).

Baca Juga: LBH Dorong Menteri Nadiem Jelaskan Permen PPKS Agar Tak Multitafsir

Ia menjelaskan permasalahan formil yaitu di dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya

Selain itu, tidak terpenuhinya asas keterbukaan tersebut, terjadi karena pihak-pihak yang terkait dengan materi Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak dilibatkan secara luas, utuh, dan minimnya informasi dalam setiap tahapan pembentukan. 

"Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan," ucap dia.

Poin selanjutnya, Diktilitbang PP Muhammadiyah juga menyoroti Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak tertib materi muatan.

Pasalnya terdapat dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang melampaui kewenangan.

Baca Juga: Buya Husein: Permendikbudristek PPKS Penting Cegah Kekerasan Seksual

Pertama, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional.

"Kedua, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi (vide Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) melalui pembentukan 'Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual' (vide Pasal 23 Permendikbudristek No 30 Tahun 2021)," tutur Arsyad.

Sementara permasalahan materiil yakni poin pertama di Pasal 1 angka 1 merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis "ketimpangan relasi kuasa" mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor.

Padahal, kata dia, sejatinya multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi mu’asyarah bil-ma’ruf atau relasi kebaikan berbasis ahlak mulia.

Poin kedua, yakni perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada 'persetujuan korban (consent).'

Adapun poin ketiga yang disoroti Diktilitbang PP Muhammadiyah yakni rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. 

Ia menuturkan standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. 

"Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah," ucapnya. 

Lalu, poin keempat yakni pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan.

"Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang 
menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan," kata Arsyad.

Disamping itu, Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah juga meminta Kemendikbudristek dalam menyusun kebijakan dan regulasi sebaiknya lebih akomodatif terhadap publik terutama berbagai unsur penyelenggara pendidikan tinggi, serta memperhatikan tertib asas, dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut dimaksudkan agar pembentukan peraturan menteri memenuhi asas keterbukaan dan materi muatan sebagaimana ketentuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kata Arsyad, dengan lebih akomodatif terhadap pemenuhan publik (terutama para pemangku kepentingan), maka substansi peraturan menteri mendapatkan perspektif dari berbagai masyarakat (publik), bersifat aspiratif, responsif, representatif, tidak resisten, serta tidak menemui kendala/hambatan apabila diimplementasikan.

"Standar pembentukan peraturan menteri sebaiknya ada tahapan public hearing, focus group discussion, dialog, dengar pendapat, jajak pendapat/survei, atau mekanisme lain yang pada prinsipnya bisa melibatkan dan mengakomodasi publik (para pemangku kepentingan terkait)," ucapnya. 

Lanjut Arsyad, Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah juga meminta Nadiem merumuskan kebijakan dan peraturan sesuai nilai-nilai agama dan UU 1945. 

"Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebaiknya merumuskan kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI