Suara.com - Kemendikbudristek diminta memantau serta mengevaluasi penerapan Peraturan Menteri tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, menyusul terungkapnya kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswi di Universitas Riau (Unri).
Seorang aktivis perempuan khawatir pelaksanaan aturan tersebut "digembosi" pihak internal kampus yang menolak Permendikbudristek dan yang tidak ingin nama baik universitas "tercoreng" oleh kasus-kasus seperti ini.
Universitas Riau telah membentuk tim pencari fakta dan akan mulai bekerja hari ini (Senin, 8 November 2021).
Sementara kuasa hukum korban dan Badan Eksekutif Mahasiswa Unri mendesak kampus agar memberhentikan sementara terduga pelaku yang merupakan Dekan FISIP Unri.
Baca Juga: Dugaan Pelecehan di Unri, LBH Dampingi Mahasiswi Lapor Komnas Perempuan
Baca juga:
- Kasus dugaaan kekerasan seksual UII Yogyakarta: Sejumlah penyintas akan menempuh jalur hukum, 'Saya merasa takut dan gugup'
- Dugaan pelecehan seksual di kampus: Kesaksian 'Zahra' dan 'Sandra', dua mahasiswi di Bandung
- Dugaan perkosaan mahasiswi: Bagaimana universitas menangani kekerasan seksual?
Aktivis Perempuan, Damaira Pakpahan, mengatakan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia selama berpuluh tahun "tersembunyi di bawah karpet" karena kuatnya relasi kuasa para pelaku dan tak ada payung hukum.
Berlakunya peraturan terbaru Mendikbudristek Nadiem Makarim Nomor 30 Tahun 2021 soal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi pada 3 September 2021, kata dia, menjadi pijakan kuat untuk mengadvokasi para korban dan penyintas yang selama ini tak berani bicara.
"Saya pernah menangani kasus pelecehan seksual tahun 2008-2009, itu nggak mudah kalau nggak ada kebijakan, nggak ada pijakannya," imbuh Damaira Pakpahan kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (07/11).
Karena masih baru, ia menilai aturan ini belum kelihatan sejauh mana keampuhannya. Sebab hal itu bergantung pada kepemimpinan universitas tersebut apakah berpihak pada korban atau tidak.
Baca Juga: Dugaan Dilecehkan Oknum Dosen, Mahasiswi Riau Disebut Alami Trauma Mendalam
Sepanjang pengamatannya, mayoritas kampus di Indonesia "masih lemah kesadarannya" terhadap kasus-kasus kekerasan seksual dan "tidak memahami bahwa dosen kerap memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk melakukan pelecehan seksual".
"Seringnya dosen yang punya relasi kuasa terhadap mahasiswa yang di bawah subordinasi dosen. Ini suka tidak dipahami, sehingga mahasiswanya tunduk terhadap si dosen. Jadi memang sering gagal paham kampus-kampus di Indonesia," katanya.
Itu mengapa Damaira khawatir beleid ini rawan "digembosi" pihak internal kampus yang menolak Permendikbudristek tersebut, serta yang tidak ingin nama baik universitas tercoreng.
"Sudah ada kan yang menolak kebijakan ini? Ini tantangannya, gerakan ini hidup bahkan di kalangan dosen. Sekian puluh tahun kelompok ini menguat di kampus dan mereka enggak setuju dengan kesetaraan gender dan mengaitkan dengan agama."
Itu mengapa, katanya, perlu ada pemantauan dan evaluasi oleh Kemendikbudristek serta masyarakat sipil. Ia merujuk pada pengalamannya mendampingi kasus kekerasan seksual di sebuah universitas.
Lantaran tidak ada pemantauan, pelaku yang telah dijatuhi sanksi empat tahun dilarang mengajar, tetap bisa bekerja sebagai dosen karena mengeklaim tak dijatuhi sanksi.
"Itu karena enggak ada monitoring dan evaluasi, tidak ada kebijakan."
Baca juga:
- Agni bicara: dugaan pelecehan seksual, UGM dan perjuangan 18 bulan mencari keadilan
- Dugaan pelecehan seksual mahasiswi UIN SGD Bandung: Mengapa 'tidak pernah terungkap'?
Satu survei tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang publik, Koalisi Ruang Publik Aman menemukan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), jalanan (33%) dan transportasi umum (19%).
Dalam kasus di Universitas Riau, menurut Damaira, pihak rektorat semestinya bisa bertindak cepat dengan merujuk pada Permendikbudristek terbaru.
"Kalau rektornya punya perspektif yang kuat tentang korban, sudah gampang, tinggal bikin tim saja, tidak sulit seharusnya."
Bagaimana kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Riau terungkap?
Dalam konferensi pers di kantor LBH Pekanbaru, Minggu (7/11), pengurus Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau, Popi, mengatakan keputusan korban serta Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Unri (Komahi) untuk mengunggah video pengakuan korban yang berdurasi 13 menit itu didasari oleh sikap rektor yang disebutnya "tidak peduli" saat menggelar audiensi pada 4 November 2021.
Audiensi itu, kata Popi, sedianya dimaksudkan untuk menyampaikan kronologi peristiwa dan tuntutan korban. Hanya saja Rektor, klaim Popi tidak kunjung merespons.
https://twitter.com/KOMAHI_UR/status/1456140195472965634
"Respons tidak peduli itu kami jawab dengan mengunggah video yang merekam pengakuan korban di Instagram. Setelah video itu diunggah, Komahi sudah tahu risiko yang akan terjadi. Pengurus Komahi berjaga untuk mendampingi korban, terutama karena mendapat panggilan dari nomor yang tidak diketahui," jelas Popi seperti yang dilaporkan wartawan Iham kepada BBC News Indonesia.
Dalam tuntutannya korban, sambung Popi, menuntut lima hal.
Pertama meminta terduga pelaku mengakui melakukan pelecehan seksual kepada korban dan meminta maaf atas perbuatannya.
Ketiga, meminta terduga pelaku berjanji tidak akan mempersulit korban dalam hal akademis dan perkuliahan.
"Keempat meminta terduga pelaku bertanggung jawab atas dampak yang dialami korban yakni psikologis untuk pemulihan."
"Kelima meminta terduga pelaku menerima sanksi dari universitas."
Video yang diunggah di Instagram dan Twitter pada 4 November 2021 itu menceritakan secara detail kejadian dugaan pelecehan seksual yang dialami korban ketika bimbingan skripsi dengan terduga pelaku pada 27 Oktober 2021.
Korban bercerita saat bimbingan skirpsi di ruangan terduga pelaku tidak ada orang lain selain mereka berdua. Terduga pelaku kemudian bertanya soal pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
Korban lantas dibuat kaget karena terduga pelaku mengucapkan kata 'i love you'.
Bimbingan skripsi itu berlanjut hingga selesai dan saat korban akan pamit dan bersalaman, tangannya tiba-tiba dipegang dan tubuh sang dosen mendekat.
Terduga pelaku, sambung korban, mencium pipi dan kening dan kemudian mengatakan, "mana bibir, mana bibir."
Korban mendorong terduga pelaku dan meninggalkan ruangan tersebut dalam keadaan takut dan gemetar.
Setelah kejadian itu, kata Popi, korban sempat menghubungi sekretaris jurusan untuk melaporkan kejadian tersebut dan meminta agar mengganti dosen pembimbing.
Tapi yang terjadi, korban justru "diminta untuk tidak memberitahu kejadian itu kepada siapa pun".
"Korban juga ditelepon oleh terduga pelaku sehingga semakin tertekan."
Hingga pada 5 November 2021, korban melaporkan terduga pelaku ke Mapolresta Pekanbaru.
BEM UNRI: 'Nonaktifkan terduga pelaku'
Eksekutif Mahasiswa Universitas Riau mendesak Rektor memberhentikan sementara dosen yang diduga menjadi pelaku pelecehan seksual kepada mahasiswinya.
Presiden Mahasiswa Unri, Kaharudin, mengatakan pemberhentian sementara itu sesuai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
"Berdasarkan pasal 42 Permendikbudristek, selama pemeriksaan Rektor memberhentikan sementara terduga pelaku sebagai pendidik dan dekan," imbunnya dalam konferensi pers di kantor LBH Pekanbaru.
Selain itu, ia juga mendesak rektor memasukkan unsur perwakilan mahasiswa dalam tim pencari fakta yang dibentuk. Hal itu, katanya, demi memastikan tim tersebut benar-benar independen dalam bekerja.
Sebelumnya Wakil Rektor II Unri, Sujianto, mengatakan pihak universitas telah membentuk tim pencari fakta guna menindaklanjuti dugaan pelecehan tersebut.
Dia berkata, tim ini akan mulai bekerja Senin (8/11) untuk melakukan investigasi pada pihak-pihak terkait.
Kampus juga, katanya, menjamin keselamatan korban secara akademik dan tidak akan ada intimidasi serta kriminalisasi.
LBH Pekanbaru minta polisi tidak periksa laporan pencemaran nama baik
Pengacara korban mahasiswa Unri dari LBH Pekanbaru, Rian Sibarani, mengatakan kondisi korban masih "trauma dan ketakutan".
"Korban takut mendengar nama pelaku dan takut kembali ke kampus," imbuh Rian dalam konferensi pers, Minggu (7/11).
Rencananya LBH Pekanbaru bakal mengadukan persoalan ini ke Kemendikbudristek, Komnas Perempuan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pasalnya korban menerima ancaman dan gangguan dari terduga pelaku.
Noval Setiawan pengacara LBH Pekanbaru, mendesak kepolisian menolak laporan terduga pelaku yang merupakan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau.
Dia mengatakan laporan korban tentang dugaan pelecehan seksual harus terlebih dahulu ditangani, sebelum laporan pencemaran nama baik.
"Kami meminta polisi agar tidak memeriksa laporan itu [pencemaran nama baik]."
Sebelumnya, terduga pelaku melaporkan akun Instagram miliki Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau dan mahasiswi bimbingannya ke Polda Riau pada Sabtu (6/11).
Terduga pelaku melaporkan atas dugaan pencemaran nama baik dan UU ITE dan menuntut ganti rugi Rp10 miliar.
Seperti apa aturan penanganan kekerasan seksual di kampus?
Menanggapi kasus ini, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi di Kemendikbudristek, Nizam, mengatakan kementerian "tidak memberikan toleransi atas pelecehan dan kekerasan seksual di perguruan tinggi".
Kementerian juga, katanya, menyesalkan kejadian tersebut dan telah menghubungi Rektor Unri agar segera menangani kasus ini.
Rektor Unri, klaim Nizam, akan mengusut dengan mengacu pada Permendikbudristek No 30/2021 yg baru keluar.
"Inilah pentingnya peraturan yang jelas agar pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi bisa berjalan dengan efektif."
Dalam beleid baru itu, kampus wajib melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, serta penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Pencegahan dilakukan dengan membentuk Satuan Tugas, membatasi pertemuan antara mahasiswa dengan pendidik dan/atau tenaga kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus.
Kemudian menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual, melatih mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman pencegahan kekerasan seksual di lingkup kampus.
Setiap kampus juga diminta untuk memasang tanda informasi yang berisi pencantuman layanan aduan kekerasan seksual, dan peringatan bahwa kampus tidak mentoleransi kekerasan seksual.
Nadiem juga meminta pihak universitas untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam hal pencegahan kekerasan seksual, serta melakukan kerja sama dengan instansi terkait untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkup akademik.
Peraturan itu juga mengatur sanksi terhadap tindakan kekerasan seksual yang kadung terjadi. Pertama, sanksi administratif ringan yang berbentuk teguran tertulis, atau pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
Kedua, sanksi administratif sedang yang meliputi pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan atau pengurangan hak sebagai mahasiswa. Hak tersebut terdiri dari penundaan mengikuti perkuliahan alias skors, pencabutan beasiswa, atau pengurangan hak lain.
Ketiga, sanksi administratif berat ditetapkan seperti pemberhentian tetap sebagai mahasiswa, atau pemberhentian tetap dari jabatan sebagai tenaga pendidik.