Suara.com - Masyarakat perlu bersiap-siap menghadapi La Nina di penghujung tahun 2021 yang menimbulkan potensi bencana dan dapat mengancam ketahanan pangan, imbau BMKG.
La Nina diperkirakan terjadi di Indonesia hingga akhir 2021 atau awal 2022 - antara bulan Desember, Januari, dan Februari. Fenomena tersebut ditandai dengan peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.
"Dan ini banyak terjadi di wilayah Pulau Jawa, kemudian ke arah Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan... daerah-daerah itu biasa meningkat curah hujannya di masa peristiwa La Nina," kata kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan.
Peningkatan curah hujan kerap diikuti dengan bencana-bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor. BNPB telah meminta pemerintah daerah agar mempersiapkan diri "untuk segala kemungkinan."
Baca Juga: Waspada Badai La Nina, Dua Aktivitas Pertanian Ini Perlu Diperhatikan
Sementara seorang pengamat ekonomi memperingatkan akan potensi kegagalan panen dan terganggunya jalur distribusi bahan makanan.
Baca juga:
- Bencana beruntun di tengah cuaca ekstrem, 'Menurut pemerintah itu anomali cuaca, kami menyebutnya krisis iklim'
- Berkurangnya area hutan primer dan sekunder 'picu' banjir terbesar di Kalimantan Selatan
- Pejabat sebut warga tebang pohon dan 'membuat daerah rawan longsor', aktivis tuding pemda selalu abaikan lingkungan
Data BMKG mengindikasikan bahwa La Nina tahun ini akan mirip dengan tahun lalu, mengakibatkan peningkatan curah hujan hingga 70% dari kondisi normal.
"Sekarang ini pola indeksnya ada kemiripan dengan tahun lalu ... dari adanya kemiripan itulah maka kita menganalogikan hujannya juga tahun ini pada Desember, Januari, Februari itu ada kemiripan tinggi seperti di La Nina 2020-2021," kata Dodo.
Saat ini dampak peningkatan curah hujan sudah dirasakan di sejumlah daerah, salah satunya Kalimantan Barat.
Baca Juga: Antisipasi La Nina, Stok Pupuk Subsidi Dipastikan Aman untuk Musim Tanam
Separah apa dampaknya?
Sudah 10 hari Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, kebanjiran. Air setinggi lebih dari dua meter merendam rumah-rumah warga, jembatan, dan fasilitas umum lainnya. Lebih dari 20.000 warga terdampak di 12 kecamatan.
Kabupaten Sintang merupakan muara dari dua sungai besar, Kapuas dan Melawi. Sejak turun hujan deras di daerah hulu dua sungai tersebut dalam sepekan terakhir, Kabupaten Sintang mendapat kiriman airnya.
Banjir pasang di Kabupaten Sintang terjadi setiap tahun, namun menurut camat Sintang, Siti Musrikah, banjir tahun ini merupakan yang terparah.
"Banjir ini terlalu besar, tidak hanya merendam rumah warga yang ada di bantaran sungai tapi juga sampai ke daratan ... Rumah warga yang banjir tahun lalu tidak terendam, tahun ini juga kemasukan air. Termasuk rumah dinas kami," kata Siti Musrikah kepada Endang Kusmiati, wartawan di Kalbar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Kondisi paling parah, tenggelamnya itu sudah di atas jendela. Bahkan kemarin... itu kan kita berharap sudah surut, ternyata masih sepinggang saya, itu di dalam rumah," imbuhnya.
BPBD setempat telah menyediakan tenda dan tiga bangunan untuk menampung pengungsi. Namun kebanyakan warga lebih suka mengungsi ke rumah keluarga mereka di tempat yang tidak terkena banjir.
Kepala BPBD Sintang, Bernard Saragih, sepakat bahwa banjir di Kabupaten Sintang tahun ini lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Air sempat surut selama dua hari kemudian meningkat kembali pada tanggal 27 Oktober.
"Saya sudah 25 tahun di Sintang ini, Baru kali ini saya merasakan dampaknya yang lebih parah. Itu dari segi kelamaan waktu dan ketinggian air. Bahkan hingga saat ini, walau sempat turun, volume air kembali naik dan ini sangat mengganggu mobilitas dan aktivitas masyarakat untuk bekerja," ungkapnya.
Bernard mengatakan data kerusakan fasilitas umum, seperti gedung sekolah ataupun rumah ibadah hingga saat ini, belum di terima oleh BPBD. Menurutnya sampai hari Minggu (31/10) tidak ada korban jiwa akibat banjir.
Selain Kabupaten Sintang, banjir juga melanda tiga kabupaten lainnya di Kalimantan Barat - Melawi, Sekadau, dan Sanggau. Di Kabupaten Sanggau, 1000 rumah warga terendam banjir menyusul hujan deras pada Senin (25/10) yang mengakibatkan sungai Kapuas meluap, menurut BNPB.
Menurut data BMKG, pada penghujung Oktober beberapa daerah sudah memasuki musim hujan, sementara lainnya masih mengalami pergantian musim (pancaroba).
BMKG memprakirakan bahwa pada awal November, hujan berintensitas sedang hingga lebat akan terjadi di Sumatera bagian tengah dan selatan, sebagian besar pulau Jawa, Kalimantan bagian tengah dan barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Papua.
Adakah pengaruh perubahan iklim?
Perubahan iklim telah membuat fenomena La Nina menjadi semakin sering dan intensitasnya semakin tinggi, kata Dodo Gunawan dari BMKG.
Menurut Dodo, berdasarkan data, pada tahun '80-an kejadian antara La Nina atau El Nino (Elso) terjadi dalam rentang waktu yang cukup besar, yaitu 2-7 tahun.
"Sekarang ini frekuensinya menjadi relatif lebih sering, 3-5 tahun terjadi La Nina atau El Nino," ujarnya. Kejadian dengan intensitas moderat hingga kuat itu dapat terjadi lebih sering, ia menambahkan.
La Nina terjadi ketika angin pasat (trade wind) berembus lebih kuat dari biasanya di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur, mendorong massa air hangat ke barat sampai ke Indonesia.
Dodo menjelaskan, pemanasan global telah membuat laut menjadi semakin hangat. Dampaknya merembet ke aspak-aspek cuaca yang lain.
"Laut itu mesinnya iklim, sekarang mesinnya sudah berubah jadi lebih panas ... sehingga semua unsur turut berubah juga," kata Dodo.
Abdul Muhari, kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, mengatakan beberapa daerah sudah merasakan peningkatan curah hujan, yang mengakibatkan bahaya banjir, sejak bulan Juni.
"Artinya fokus kita tidak hanya di akhir tahun saja, dari sekarang pun kita sudah mendukung daerah untuk bersiap karena sementara ini saja sudah cukup banyak daerah yang terdampak banjir yang sebelumnya mungkin pada waktu-waktu kemarau ini tidak banjir," kata Abdul Muhari kepada BBC News Indonesia.
"Mungkin ini representasi lokal dari dampak perubahan iklim terhadap pola musim di Indonesia," ia menambahkan.
Mengantisipasi bencana akibat La Nina, BNPB meminta pemerintah daerah bersiap untuk segala kemungkinan, dengan mengecek situasi serta kelengkapan alat dan personel. BNPB juga meminta daerah untuk menyiapkan rencana kontingensi.
"Kalau dari hasil apel kesiapsiagaan dan rencana kontingensi ini ada kebutuhan-kebutuhan yang dirasa perlu oleh daerah, tapi daerah tidak bisa untuk melengkapi karena keterbatasan sumber daya maupun pendanaan, [BNPB] sudah mengimbau kepala daerah untuk menetapkan status siaga darurat," kata Abdul Muhari.
"Kalau pemerintah daerah menetapkan siaga darurat maka pemerintah pusat bisa turun mengintervensi, membantu kelengkapan sumber daya dan pendanaan."
Adapun untuk kesiapsiagaan masyarakat, BNPB mengimbau pemerintah daerah agar menyiapkan jejaring komunikasi untuk menyampaikan peringatan dini hingga level komunitas.
"Misalnya, di Jakarta yang sudah berjalan baik itu adalah jejaring komunikasi peringatan dini banjir dari hulu ke hilir. Kalau di Katulampa airnya naik, maka Katulampa menginformasikan ke petugas-petugas sepanjang Ciliwung bahwa empat-lima enam jam lagi banjir akan sampai di Jakarta. Hal-hal seperti ini kita dorong sambil masyarakat tetap memperhatikan informasi-informasi dari BMKG," ia menjelaskan.
Akankah berdampak pada makanan?
Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan La Nina akan mengancam ketahanan pangan. Dua sektor yang dinilai akan sangat terdampak yakni sektor pertanian dan perikanan.
"Dampaknya akan mengancam ketahanan pangan karena berpotensi merusak tanaman akibat banjir, hama dan penyakit tanaman. Selain itu, mengurangi kualitas produk karena tingginya kadar air," ujar Dwikorita seperti dikutip Kompas.com.
Dodo Gunawan dari BMKG mengonfirmasi bahwa beberapa wilayah yang terdampak peningkatan curah hujan termasuk lumbung pangan, misalnya Pantai Utara Jawa dan Sulawesi Selatan.
Peneliti dari Center of Reform on Economics, Mohammad Faisal, mengatakan La Nina dapat berbuntut kenaikan harga makanan di pasaran dan kerugian bagi petani. Itu karena banjir dan tanah longsor dapat menyebabkan gagal panen juga mengganggu jalur distribusi bahan makanan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Faisal mengatakan Bulog dan Kementerian Pertanian perlu melakukan perhitungan stok yang tepat dengan mempertimbangkan faktor risiko bencana.
"Jika ternyata hasil kalkulasi tersebut ada potensi kekurangan, maka perlu dilakukan antisipasi dengan menginventarisir potensi produksi yang ada di seluruh negeri, karena panen dan magnitude bencana berbeda-beda antar daerah.
"Kalau memang juga masih juga kurang, [pemerintah harus] merencanakan impor terutama untuk bahan pangan yang demand-nya masih besar atau yang kita tidak bisa tanam dalam jumlah banyak misalnya bawang putih," ia menjelaskan.
Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaludin Iqbal, mengatakan perusahaan pelat merah tersebut mengelola stok cadangan beras pemerintah sebanyak satu sampai satu setengah juta ton yang tersebar di seluruh wilayah.
Stok tersebut akan digunakan untuk penanggulangan bencana dan pasca bencana serta pengendalian harga.
"Jadi fungsi itu sampai sekarang masih, dan kita sudah sediakan itu dalam kondisi apapun -- apakah itu la nina atau el nino. semua kondisi, kita sudah siapkan," katanya kepada BBC News Indonesia.
Sementara Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, dalam pernyataan tertulis kepada BBC News Indonesia, menjabarkan sejumlah upaya antisipasi dan mitigasi untuk mengamankan produksi pangan dari dampak La Nina.
Upaya-upaya tersebut antara lain pemetaan daerah rawan bencana, rehabilitasi saluran irigasi, dan penggunaan benih tahan genangan di daerah yang rawan banjir.