Jenderal Andika Jadi Calon Panglima TNI, Koalisi Masyarakat: Ada 3 Masalah Serius

Kamis, 04 November 2021 | 11:03 WIB
Jenderal Andika Jadi Calon Panglima TNI, Koalisi Masyarakat: Ada 3 Masalah Serius
Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa. (Antara)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengusulkan nama Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Andika Perkasa sebagai calon panglima TNI. Usulan itu disampaikan melalui surat Presiden yang dikirimkam melalui Mensesneg Pratikno kepada DPR.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, langkah Jokowi yang mengusulkan nama Andika sebagai calon Panglima TNI mengandung tiga permasalahan serius.

Pertama, Presiden telah mengesampingkan pola rotasi matra yang berlaku di era Reformasi dalam regenerasi Panglima TNI sebagaimana norma yang berlaku pada Pasal 13 ayat (4) dalam Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.

Dalam siaran persnya hari ini, Kamis (4/11/2021), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga mengatakan, Jokowi telah mengajukan nama yang "rekam jejaknya masih perlu pengujian oleh lembaga negara yang independen di bidang hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi."

Baca Juga: Pensiun Bulan Ini, KontraS Ungkap Sederet Catatan Buruk Panglima TNI Hadi Tjahjanto

Lembaga yang dimaksud adalah Komnas HAM dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masalah ketiga adalah soal ancaman keamanan kawasan di sektor kelautan.

"Ketiga, perkembangan ancaman keamanan kawasan yang maritim sentris dewasa ini membutuhkan perhatian yang lebih besar di sektor kelautan," tulis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Catatan Koalisi

Nama Andika yang diusulkan menjadi calon Panglima TNI, dalam pandangan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, merupakan pilihan yang keliru. Sebab, hal itu dinilai telah mengabaikan pola kebijakan berbasis pendekatan rotasi.

Jika merujuk pada Pasal 13 ayat (4) UU TNI, maka jabatan Panglima TNI dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Selanjutnya, penerapan pola rotasi akan menumbuhkan rasa kesetaraan antarmatra, kesimbangan orientasi pembangunan postur TNI, serta kesempatan yang sama bagi perwira tinggi TNI, tanpa membedakan asal matra.

Baca Juga: Biografi Calon Tunggal Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Punya Prestasi Mentereng

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, penerapan pola rotasi antarmatra juga dapat membawa dampak positif berupa penguatan soliditas internal TNI. Selain itu, pola rotasi penting dilakukan guna meredam kecemburuan yang "sangat mungkin" terjadi di antara prajurit akibat adanya kesan bahwa Presiden RI menganak-emaskan satu matra dalam tubuh TNI, seperti di masa Orde Baru.

"Pola rotasi jabatan Panglima TNI yang telah dimulai sejak awal Reformasi ini tentu perlu untuk dipertahankan, apalagi hal tersebut juga telah diamanatkan dalam UU TNI."

Atas hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang bahwa seharusnya Presiden Jokowi tidak mengabaikan pola pergantian Panglima TNI berbasis rotasi matra. Mengabaikan pendekatan ini dapat memunculkan tanda tanya besar apakah Presiden lebih mengutamakan faktor politik kedekatan hubungan yang subyektif daripada memakai pendekatan profesional dan substantif .

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menilai, Jokowi harus memastikan calon Panglima TNI yang diusulkannya tidak memiliki catatan buruk, khususnya terkait pelanggaran HAM. Adanya pemberitaan yang mengaitkan nama Andika Perkasa dalam kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay harus ditanggapi secara serius (Tempo 23 Oktober 2003).

"Sudah seharusnya Presiden RI melakukan penggalian informasi secara komprehensif terhadap seluruh kandidat dengan melibatkan lembaga-lembaga kredibel guna memperkuat pertimbangan Presiden RI dalam mengambil keputusan yang tepat.

Dengan diajukannya Jenderal Andika Perkasa sebagai calon tunggal Panglima TNI, dalam pandangan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, semakin menunjukkan bahwa Jokowi tidak memiliki komitmen terhadap Penegakan HAM secara serius sebagaimana komitmen politiknya.

Tidak hanya itu, merujuk pada laporan yang ada, dugaan harta kekayaan Andika, disebutkan nilainya begitu fantastis. Hal itu harus segera diklarifikasi dan dijelaskan kepada publik.

Sebagai prajurit yang tunduk pada Sapta Marga yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, lanjut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, adanya laporan kepemilikan kekayaan hingga berjumlah Rp 179,9 miliar harus dijelaskan secara transparan dan akuntabel. Sehingga, hal itu jadi terang benderang.

"Sehingga kami menilai penting untuk dilakukan audit harta kekayaan Andika Perkasa oleh KPK. Terlebih lagi Jenderal Andika Perkasa disebut belum pernah melaporkan LHKPN sebelumnya padahal kapasitas yang bersangkutan adalah pejabat tinggi negara."

Hal selanjutnya adalah soal perkembangan tantangan keamanan regional masa depan yang semakin maritim sentris. Mulai dari konflik Laut China Selatan yang belum ada tanda-tanda resolusi dalam waktu dekat, aksi perompakan di Selat Malaka yang masih terus berlangsung, pencurian ikan oleh kapal nelayan asing, penyelundupan senjata untuk kelompok kriminal via jalur laut, dan lain sebagainya.

Beberapa tantangan itu, menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, adalah sedikit dari masih banyak ancaman lain yang masih harus diperkuat penanganannya di sektor maritim. Sebab, hal ini harusnya sejalan dengan visi Presiden Jokowi yang ingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

"Presiden RI tampaknya harus terus diremajakan ingatannya kepada visi dan komitmennya sendiri ketika berkampanye sebagai calon Presiden RI Republik Indonesia."

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga menyoroti soal tahapan uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI yang akan segera digelar di DPR. Hal itu seharusnya dilakukan secara terbuka, akuntabel, melibatkan partisipasi publik dan lembaga negara independen.

"Jangan sampai ada kesan bahwa DPR RI hanya sekadar menjadi “juru stempel” Presiden RI RI. Selain itu, apabila hasilnya DPR tidak menyetujui calon tersebut, maka merujuk pada Pasal 13 ayat (8) UU TNI, DPR berhak menolak dengan memberikan alasan tertulis yang menjelaskan ketidaksetujuannya kepada Presiden RI."

Berdasarkan catatan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak:

  1. DPR RI menguji secara serius komitmen calon panglima TNI atas Demokrasi, HAM, pemberantasan korupsi dan lainnya, khususnya dugaan keterkaitan KSAD Jenderal Andika Perkasa dalam pembunuhan Theys Hiyo Eluay dan kepemilikan harta kekayaan dengan jumlah fantastis tersebut.
  2. DPR RI dalam menguji dan menilai calon panglima TNI wajib melibatkan dan meminta pendapat Publik, Lembaga-Lembaga Negara independen dan/atau pakar yang kredibel dalam menguji calon panglima yang akan datang misalnya dengan melibatkan Komnas HAM dan KPK serta lembaga-lembaga masyarakat sipil lainnya.
  3. Presiden RI melanjutkan dan membentuk Tim Percepatan yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI untuk melakukan reformasi dan transformasi TNI.
  4. Komnas HAM melakukan pengujian segera terhadap dugaan peranan Andika Perkasa dalam Kasus pembunuhan Theys Eluay pada November 2001.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari KontraS, Imparsial, LBH Jakarta, HRWG, Setara Institute, Public Virtue Research Institute, Amnesty International Indonesia, Inisiatif Untuk Demokrasi dan Keamanan (IDeKa), Indonesia Corruption Watch (ICW), ELSAM, PBHI Nasional, LBHM, LBH Pers, ICJR.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI