Suara.com - Greenpeace Indonesia mengecam pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar yang menyebut penebangan hutan atau deforestasi tidak boleh menghalangi agenda pembangunan.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan pernyataan ini bertentangan dengan perjanjian KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau Conference Of Parties ke-26 (COP 26) yang baru ditandatangani Presiden Joko Widodo di Glasgow, Skotlandia pada Selasa (2/11/2021) kemarin.
Dalam Perjanjian KTT-COP 26 ini, Indonesia bersama delapan negara yang menguasai 85 persen hutan dunia sepakat untuk menghentikan deforestasi pada 2030.
"Bahkan pada Deklarasi Hutan New York 2020 itu deforestasi harusnya sudah stop, lalu ada perjanjian baru 2030, jadi pernyataan bu Siti Nurbaya harus dikonfrontir dengan kesepakatan bahwa Indonesia ikut deforestasi deal yang baru dua hari yang lalu, ini aneh dan kontradiktif," kata Leonard saat dihubungi Suara.com, Kamis (4/11/2021).
Baca Juga: Menteri LHK Sebut Pembangunan Jalan Terus Meski Deforestasi, Warganet Beri Tanggapan Sinis
Leonard menyebut perpanjangan waktu perjanjian nol deforestasi dari 2020 ke 2030 ini pun sudah berbahaya karena krisis iklim global sudah mulai dirasakan hari ini.
"Time frame 2030 itu terlalu lunak sebenarnya, karena itu memberikan waktu 9 tahun misalnya untuk Bolsonaro di Brasil untuk menghabiskan Amazon, padahal kita ini satu kesatuan ekologis di Bumi," tuturnya.
Dia menegaskan pemerintah Indonesia seharusnya bisa membangun kesejahteraan rakyatnya tanpa melakukan deforestasi yang masif.
"Ada model pembangunan yang lain, yang sudah teruji, yang bisa juga mendatangkan kesejahteraan tanpa menghabiskan hutan, kalau begini kita akan memperburuk dampak krisis iklim global," tegasnya.
Sebelumnya, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar melalui akun twitternya menyebut pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.
Baca Juga: KTT COP26: Pemimpin Dunia Akan Hentikan Deforestasi pada 2030
Siti menyebut zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk membangun kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.
"Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya," cuit @SitiNurbayaLHK, Rabu (3/11/2021).
Dia beralasan, jika deforestasi tidak dilakukan maka akses menuju pemukiman warga di pedalaman hutan akan terus terisolir selamanya, maka perlu dilakukan pembangunan dengan deforestasi.
"Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya," sambungnya.
Sementara, sehari sebelumnya Presiden Jokowi bersama pemimpin negara dari Kanada, Brasil, Rusia, China, Indonesia, Kongo, Amerika Serikat, dan Inggris baru saja menandatangani perjanjian zero deforestation 2030 saat KTT-COP 26 yang membahas tentang perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia.