Suara.com - Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) menyebut naskah akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang kini sudah disahkan menjadi UU tidak ada. Bahkan hal itu tidak dilampirkan pada saat penyerahan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI.
Pernyataan itu merespons soal uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana diketahui, sidang telah memasuki agenda rapat permusyawaratan hakim untuk selanjutnya berlanjut pada pembacaan putusan oleh majelis hakim.
Koordinator KEPAL, Lodji Nurhadi, mengatakan tidak adanya naskah akademik Undang-Undang Cipta Kerja yang saat itu masih dalam rancangan merujuk pada sebuah kejanggalan. Kejanggalan itu merujuk pada bukti yang diajukan pemerintah serta keterangan saksi, yakni Yorrys Raweyai, Haiyani Rumondang, Said Iqbal.
Pada pokoknya, menerangkan bahwa belum pernah menerima dan mempelajari Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dalam setiap pembahasan yang diikuti oleh para saksi.
Baca Juga: Dua Tahun Jokowi-Ma'aruf, Mahasiswa dan Buruh Minta UU Cipta Kerja Dicabut
"KEPAL menyimpulkan bahwa sebenarnya Naskah Akademik RUU Cipta Kerja sebenarnya tidak ada dan tidak dilampirkan pada saat penyerahan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI," kata Lodji dalam keterangannya, Rabu (3/11/2021).
Kejanggalan berikutnya yang dicatat KEPAL adalah pada tahapan perencanaan dan penyusunan naskah akademik dan draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Faktanya, lanjut Lodji, hal itu sama sekali tidak dipublikasikan sejak tahapan pembahasan hingga pembahasan dalam Prolegnas dimulai.
"Sehingga masyarakat tidak bisa memberikan aspirasi atau masukan. Hal tersebut terkonfirmasi dalam keterangan saksi Said Iqbal yang menerangkan bahwa pemerintah hanya mempublikasi Matriks Analisis Rancangan Undang-undang Cipta kerja dalam web Menko Perekonomian," jelas Lodji.
KEPAL dalam keterangnnya membeberkan bahwa dalil pemohon tentang Undang-Undang Cipta Kerja yang memuat 79 undang-undang yang dibuat tanpa adanya partisipasi masyarakat. Hal itu berdampak langsung dan sejalan dengan keteragan ahli dalam sidang, yakni DR. Witjipto Setiadi yang menyatakan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undanf tentang Cipta Kerja terkesan dilakukan secara tertutup dan sangat terburu-buru.
"Sehingga mengabaikan ruang partisipasi publik masyarakat untuk memberikan masukan," papar Lodji.
Baca Juga: KSP Klaim UU Cipta Kerja Atasi Hambatan Berusaha Bagi UMKM
Hal senada juga terkonfirmasi oleh keteragan Said Iqbal dan M. Sidarta selaku saksi yang menyatakan bahwa pembentukan satgas pada tanggal 9 Desember 2019 oleh Menko Perekonomian sebagai IPC daripada Omnibus Law.
"Tidak satupun melibatkan perwakilan buruh, semua isi daripada satgas (Satuan tugas) Omnibus Law yang terkait dengan klaster ketenagakerjaan adalah kalangan pengusaha," ungkap Lodji.
Naskah RUU Cipta Kerja Belum Selesai
Berdasarkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan, kata Lodji, juga menunjukkan fakta-fakta bahwa Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sesungguhnya belum menyelesaikan Naskah RUU Cipta Kerja. Selain itu, Tim Sinkronisasi juga tidak melakukan penyelarasan rumusan RUU Cipta Kerja yang disusun oleh Tim Perumus serta pengambilan keputusan tingkat I yang sangat tidak biasa karena dilakukan pada Sabtu, 03 Oktober 2020 malam.
Lodji menambahkan, fakta lainnya adalah telah terjadinya beberapa perubahan substansi dalam Naskah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disetujui bersama antara DPR RI dengan Presiden RI dalam Rapat Paripurna. Fakta yang ditemukan oleh pemohon, pemerintah memberikan bukti-bukti terkait Rapat Koordinasi, Focus Gathering Discussion (FGD), Pembahasan Omnibus Law, Diskusi Publik dan seterusnya.
"Namun notulensi/risalah rapat pada setiap pertemuan tersebuttidak lengkap bahkan tidak dimasukkan dalam bukti Pemerintah," papar Lodji.
"Para pemohon menilai bahwa Pemerintah sedang menutupi substansi pembahasan mengenai RUU Cipta Kerja," sambungnya.
Dengan tegas, KEPAL meminta agar Mahkamah Konstitusi untuk menerima dan mengabulkan permohonan pada pemohon. Selain itu, KEPAL juga meminta agar pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
"Meminta kepada Mahkamah Konstitusi menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon pengujian formil UU Cipta Kerja, dan menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pembentukannya bertentangan dengan UUD 1945," tutup Lodji.