"Sikap tidak etis DPR yang diwakili oleh Arteria Dahlan dalam agenda sidang mendengarkan Keterangan DPR, yang lebih terkesan mewakili Fraksi PDIP karena lebih menjelaskan pandangan Fraksi PDIP dan mengkritisi fraksi-fraksi lain. Hal ini dibuktikan dengan keterangan yang disampaikan oleh Arteria Dahlan dalam persidangan sangat berbeda dengan Keterangan tertulis DPR RI," tutur dia.
Sorotan KEPAL juga menyasar pada ketidakcakapan DPR terhadap hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Sebab, DPR tidak mampu membedakan antara kapasitas DPR sebagai pihak/prinsipal dan sebagai saksi.
"Atas fakta itu, para pemohon keberatan dengan saksi yang diajukan oleh DPR dalam agenda mendengarkan keterangan saksi. Sebab, hal itu telah melanggar hukum acara MK, pelanggaran terhadap asas objektivitas dari Saksi yang merupakan anggota DPR aktif yang masih menjabat, hingga pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas dalam persidangan MK," jelas Lodji.
KEPAL juga memandang jika kejanggalan dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja terkorfirmasi dalam persidangan di MK. Merujuk pada bukti yang diajukan pemerintah serta keterangan saksi, yakni Yorrys Raweyai, Haiyani Rumondang, Said Iqbal, pada pokoknya menerangkan bahwa belum pernah menerima dan mempelajari Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dalam setiap pembahasan yang diikuti oleh para saksi.
"Bahkan dalam keterangan saksi Said Iqbal dalam rapat pertama di Kementerian Tenaga Kerja pada tanggal 3 juli 2020 mengungkapkan bahwa wakil ketua DPR dan ketua Panja Baleg pembahasan RUU bahkan tidak ada dan tidak menerima Naskah Akademik RUU Cipta Kerja," tegas Lodji.