Suara.com - Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) terdiri dari 15 organisasi masyarakat sipil buka suara soal sidang uji materi atau uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui, sidang telah memasuki agenda rapat permusyawaratan hakim untuk selanjutnya pembacaan putusan oleh majelis hakim.
KEPAL, sebagai salah satu pemohon dalam perkara Nomor 107/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, berpandangan atas fakta-fakta persidangan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Sebab, hal itu tidak mempunyai dasar pembentukan hukum yang layak dan memadai dalam proses pembentukannya.
"Komite Pembela Hak Konstitusional menekankan terhadap berbagai fakta persidangan yang sudah seharusnya menjadi pertimbangan MK," kata Koordinator KEPAL, Lodji Nurhadi dalam konfrensi pers, Rabu (3/11/2021).
Dasar pertimbangan itu, lanjut Lodji, mencakup ketidakmampuan pemerintah dan DPR dalam menjawab dalil-dalil pada pemohon dan memenuhi perintah Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyerahkan bukti.
Baca Juga: 13 Tuntutan Aliansi Buruh soal Evaluasi Jokowi-Maruf, Diantaranya Cabut Omnibus Law
"Berupa versi-versi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dibahas dan yang telah disahkan menunjukkan proses pembentukan UU a quo mengandung cacat formil," sambung Lodji.
KEPAL berpendapat, sejak awal pembentukan UU Cipta Kerja telah mendiskriminasi unsur petani nelayan dan masyarakat pedesaan. Hal tersebut tidak saja tercermin dalam materi Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi keterangan pemerintah dan DPR serta saksi-saksi yang dihadirkan oleh dalam persidangan MK menunjukkan bahwa unsur petani, nelayan dan masyarakat di pedesaan tidak dilibatkan dalam pembahasan maupun sosialisasi.
DPR, melalui Arteria Dahlan menyampaikan, karena Indonesia telah menjadi anggota WTO, maka sudah sepatutnya tunduk dan patuh terhadap ketentuan WTO secara mengikat. Salah satunya adalah jika ada aturan Indonesia yang bertentangan, maka harus disesuaikan agar selaras.
"Pernyataan ini mengonfirmasi permohonan para pemohon yang mendalilkan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja syarat dengan intervensi dari WTO. Khususnya komitmen Indonesia dalam proses mengubah empat Undang-Undang Nasional yang berkaitan dengan pangan dan pertanian," papar Lodji.
Empat undang-undang itu, lanjut Lodji adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Baca Juga: Kementerian ATR Gandeng Pemda untuk Laksanakan PP Pengendalian dan Penertiban Tanah
Dalam pandangan KEPAL, empat undang-undang itu dipaksa diubah dan dimasukkan pengubahannya dalam Undang-Undang Cipta Kerja karena intervensi dari WTO. Tentunya, sambung Lodji, dalam proses pembentukannya Undang-Undang Cipta Kerja ini,telah cacat formil dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional.
"Sikap tidak etis DPR yang diwakili oleh Arteria Dahlan dalam agenda sidang mendengarkan Keterangan DPR, yang lebih terkesan mewakili Fraksi PDIP karena lebih menjelaskan pandangan Fraksi PDIP dan mengkritisi fraksi-fraksi lain. Hal ini dibuktikan dengan keterangan yang disampaikan oleh Arteria Dahlan dalam persidangan sangat berbeda dengan Keterangan tertulis DPR RI," tutur dia.
Sorotan KEPAL juga menyasar pada ketidakcakapan DPR terhadap hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Sebab, DPR tidak mampu membedakan antara kapasitas DPR sebagai pihak/prinsipal dan sebagai saksi.
"Atas fakta itu, para pemohon keberatan dengan saksi yang diajukan oleh DPR dalam agenda mendengarkan keterangan saksi. Sebab, hal itu telah melanggar hukum acara MK, pelanggaran terhadap asas objektivitas dari Saksi yang merupakan anggota DPR aktif yang masih menjabat, hingga pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas dalam persidangan MK," jelas Lodji.
KEPAL juga memandang jika kejanggalan dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja terkorfirmasi dalam persidangan di MK. Merujuk pada bukti yang diajukan pemerintah serta keterangan saksi, yakni Yorrys Raweyai, Haiyani Rumondang, Said Iqbal, pada pokoknya menerangkan bahwa belum pernah menerima dan mempelajari Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dalam setiap pembahasan yang diikuti oleh para saksi.
"Bahkan dalam keterangan saksi Said Iqbal dalam rapat pertama di Kementerian Tenaga Kerja pada tanggal 3 juli 2020 mengungkapkan bahwa wakil ketua DPR dan ketua Panja Baleg pembahasan RUU bahkan tidak ada dan tidak menerima Naskah Akademik RUU Cipta Kerja," tegas Lodji.