Suara.com - LBH Masyarakat hari ini, Senin (30/10/2021) menyambangi kantor KSP, Jakarta Pusat untuk mendorong dan menyerahkan surat dukungan untuk pemerintah mengabulkan permohonan grasi Merri Utami, terpidana kasus narkotika.
Pada 8 Oktober 2021 lalu, tim LBH Masyarakat sempat melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait tindak lanjut pengajuan grasi terpidana mati kasus narkotika Merri Utami. Diketahui, Merri sudah mendekam di penjara selama 20 tahun.
Koordinator pengacara LBH Masyarakat, Yosua Octavian, mengatakan, hingga kini surat tersebut belum ada tindak lanjutnya. Surat permohonan itu berkaitan dengan peringatan hari menantang hukuman mati.
Niatnya, LBH Masyarakat ingin duduk bersama Presiden untuk mendiskusikan wacana hukuman mati di Indonesia. Apakah ada solusi lain agar hukuman mati tidak diterapkan dan bagaimana negara menyikapinya, hal itulah yang diinginkan LBH Masyarakat jika bertemu Jokowi.
Baca Juga: Anak Terpidana Mati Merri Utami Kirim Surat Terbuka ke Jokowi, Begini Harapannya
"Nyatanya sampai sebulan tidak ada respons, tertutup terus, kami terus mem-follow up ke temen temen Setneg. Itu menunjukkan satu ya prosesi permohonan atau informasi yang kami sampaikan ke negara ini tidak direct gitu," kata Yosua di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin (30/10/2021).
Dalam konteks ini, Yosua mewakili LBH Masyarakat berharap agar kasus serupa yang terjadi pada Merri tidak terjadi pada orang lain. Dia mengatakan, kasus Merri bisa prseden baik terhadap buruh migran khususnya.
"Harapannya kasus Ibu Merri bisa jadi preseden baik juga buat teman-teman lain. Supaya ya sudah beberapa kasus penerapan-penerapan Kelompok harus ada mekanisme tertentu loh," sambungnya.
Perwakilan LBH Masyarakat lainnya, Aisya mengatakan, pihaknya telah menyerahkan surat dukungan publik untuk mendesak Presiden Jokowi untuk mengabulkan permohonan grasi Merri. Penggalangan dukungan publik ini telah meraih lebih dari 50.000 tanda tangan dan didukung 100 lembaga organisasi.
Aisya menyebut, surat dukungan itu telah diterima oleh Tenaga Ahli Utama Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP). Dalam momen itu, pihak KSP berjanji akan menindaklanjuti dan meminta Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan grasi Merri.
Baca Juga: Aksi Solidaritas Mendukung Grasi Terpidana Mati Kasus Narkoba Merry Utami
"Pihak KSP juga memberi informasi bahwa posisi grasi Merri yang sudah diajukan sejak 26 Juli 2016 lalu sudah berada di Sekretariat Negara, namun untuk pertimbangan substansi masih dalam penilaian KSP," papar Aisya.
Daftar Grasi
Merry merupakan mantan buruh migran asal Jawa Tengah yang tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta karena membawa satu kilogram heroin di dalam tas kulit pada 2001.
Kemudian pada 2002, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis Merry dengan hukuman mati sesuai dengan tuntutan jaksa. Merry mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Banten, namun vonis yang dijatuhkan tetap sama.
Merry merupakan mantan pekerja yang pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Dia diduga dipaksa menjadi pekerja migran oleh suaminya dan berakhir di penjara setelah diduga dijebak oleh sindikat narkoba internasional.
LBH Masyarakat telah mendaftarkan grasi atas nama Merry Utami ke Pengadilan Negeri Tangerang pada Selasa (26/7/2016). Dengan tetap memasukkan Merry ke dalam rencana eksekusi, Pemerintah Indonesia dinilai tidak hanya melanggar hak seseorang terpidana, melainkan juga telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dan hukum internasional.
Pasal 6 dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa seseorang yang dihukum mati harus memiliki hak untuk mengajukan permohonan maaf atau komutasi atas hukumannya. Sistem hukum Indonesia memfasilitasi hak dalam Konvensi ini dengan kesempatan terpidana mengajukan grasi kepada presiden.
Selama presiden belum memutuskan untuk menerima atau menolak grasi, sesuai Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pelaksanaan eksekusi tidak dapat dilaksanakan dan dibenarkan secara hukum.
Kedua, LBH Masyarakat menilai pemerintah menutup mata pada kerentanan perempuan yang menjadi kurir narkotika. Kasus Mary Jane seharusnya cukup memberikan pelajaran bahwa perempuan dan buruh migran sangat rentan dieksploitasi oleh jaringan peredaran narkotika.
Kemiskinan yang membuat perempuan-perempuan memilih menjadi buruh migran, pergi ke sebuah negeri yang tidak pernah mereka jejaki sebelumnya, membuka peluang yang sangat besar bagi sindikat gelap untuk mengeksploitasi mereka.
Saat ini, sebanyak 14 terpidana mati telah menempati ruang isolasi LP Batu, sejak Senin (25/7/2016) pukul 22.00 WIB, guna menunggu hari H pelaksanaan eksekusi mati.
Akan tetapi, hingga saat ini, Kejaksaan Agung belum mengungkap secara resmi nama-nama terpidana mati kasus narkoba yang akan dieksekusi dan kapan eksekusi itu akan dilaksanakan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, terpidana mati yang telah ditempatkan di ruang isolasi Lapas Batu, antara lain Freddy Budiman, Merry Utami, Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdip Singh (India), dan Onkonkwo Nonso Kingsley (Nigeria).