Suara.com - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materiil terhadap pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan resmi bagi koruptor. Adapun pasal yang dibatalkan ialah Pasal 34 A ayat 1 huruf a dan b, Pasal 34A ayat 3, dan Pasal 43 A ayat 1 huruf a, Pasal 43A ayat 3.
Kalau melihat isi dari PP 99/2012, Pasal 34 A ayat 1 huruf a berbunyi "Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya". Sementara Pasal 34A ayat 1 huruf b berbunyi "Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi".
Kemudian Pasal 34A ayat 3 berbunyi "Di antara Pasal 34A dan Pasal 35 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 34B dan Pasal 34C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34B
Baca Juga: MA Batalkan PP 99/2012, Aturan yang Perketat Pemberian Remisi Koruptor
- Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat 1 diberikan oleh Menteri.
- Remisi untuk Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.
- Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan pertimbangan dari Menteri.
- Pemberian Remisi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 34C
- Menteri dapat memberikan Remisi kepada Anak Pidana dan Narapidana selain Narapidana yang
dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat 1. - Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat terdiri atas Narapidana yang: a. dipidana dengan masa pidana paling lama 1 tahun; b. berusia di atas 70 tahun; atau c. menderita sakit berkepanjangan.
- Menteri dalam memberikan Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 setelah mempertimbangkan kepentingan umum, keamanan, dan rasa keadilan masyarakat.
Selanjutnya, Pasal 43A ayat 1 huruf a berbunyi "Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya". Untuk Pasal 43A ayat 3 berbunyi "Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
MA sebelumnya, resmi membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme dan lainnya. Menurut pertimbangan Majelis Hakim, persyaratan mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan.
Keputusan tersebut diambil oleh Ketua Majelis Supandi, Hakim Anggota Majelis Yodi Martono dan Is Sudaryono. Adapun pemohon ialah mantan kepala desa Subowo dan empat orang lainnya yang menjadi warga binaan di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung.
"Putusan kabul hum (hak uji materiil)," demikian tertera dalam ringkasan perkara Nomor 28 P/HUM/2021 yang dikutip Suara.com, Jumat (29/10/2021).
Baca Juga: Dikenalkan Azis Syamsuddin, Rita Sempat Anggap Eks Penyidik KPK Malaikat saat Terpuruk
Majelis hakim menimbang kalau fungsi pemidaaan tidak lagi sekedar memenjarakan pelaku agar jera. Akan tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice. Menurut UU Nomor 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filososi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.
"Berkaitan dengan hal tersebut maka sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan," ujarnya.
Majelis Hakim juga menimbang bahwa persyaratan untuk mendapatkan mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di lembaga permasyarakatan.
Kewenangan untuk memberikan remisi menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan pembinaan warga binaan.
Pemohon Subowo dan empat orang lainnya mengajukan permohonan uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi. Alasan mereka mengajukan uji materiil tersebut lantaran menganggap PP 99/2012 itu bertentangan dengan sejumlah peraturan lainnya termasuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Pasal 14 ayat (1) huruf i dan k, Pasal 14 ayat (2), Pasal 1 angka 6, Pasal 1 angka 7, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (Pasal 1 butir 14, Pasal 1 butir 15, Pasal 1 butir 32) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Pasal 10, Pasal 15, Pasal 15a, Pasal 15b, Pasal 16).
Para pemohon juga menilai kalau PP 99/2012 tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga bisa dibatalkan demi hukum dan tidak berlaku umum.