Dijual ke Eropa untuk Jadi Pekerja Seks: Kisah Pelarian Seorang Penyintas

Siswanto Suara.Com
Kamis, 28 Oktober 2021 | 14:56 WIB
Dijual ke Eropa untuk Jadi Pekerja Seks: Kisah Pelarian Seorang Penyintas
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Setiap tahun ribuan perempuan diperdagangkan ke kota-kota di Eropa dan dipaksa menjadi pekerja seks. Jewel, perempuan muda Nigeria yang berharap jadi perawat lansia di Denmark, akhirnya berhasil kabur melalui dua kesempatan pertemuan.

"Baru pertama kali saya melihat cahaya. Di tempat saya berasal seringkali gelap gulita karena belum ada listrik. Tapi semuanya di sini gemerlapan - sangat indah."

Jewel - bukan nama sebenarnya - menggambarkan kedatangannya di Denmark.

"Saya bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan berada di sini. Saya sangat menantikan untuk mulai bekerja."

Baca Juga: Ogah Bayar Habis Kencan dengan Pekerja Seks, Seorang Pria Ditusuk Pakai Pecahan Botol

Di pesawat dalam penerbangan dari Nigeria ke Denmark, Jewel mengira akan bekerja merawat lansia.

"Orang-orang yang diperdagangkan biasanya pergi melalui Libia naik bus dan perahu. Tapi perjalanan saya diatur dengan sangat baik sehingga tidak mencurigakan sama sekali," katanya.


Baca juga:


Organisasi Migrasi Internasional memperkirakan 80% perempuan Nigeria yang melakukan perjalanan darat, kemudian mencoba menyeberangi Laut Mediterania, diperdagangkan sebagai pekerja seks di Eropa.

Jewel mengenal perempuan yang bernasib demikian setelah melalui perjalanan berbahaya itu. Jadi ketika perjalanannya dimulai di bandara Lagos, dia merasa lebih yakin.

Baca Juga: Dieksploitasi Jadi Pekerja Seks, 2 Pelajar SMA Juga Diperalat Jadi Pemuas Nafsu Mucikari

Di Kopenhagen, dia bertemu dengan seorang perempuan Nigeria, yang keesokan harinya membawa dia ke Vesterbro, area lokalisasi Kopenhagen.

"Saya mencari-cari bangunan yang mirip rumah sakit," kenang Jewel.

Mereka berjalan-jalan sebentar dan Jewel disuruh memperhatikan sekelilingnya.

Kemudian perempuan itu membuat Jewel terperanjat.

"Dia berkata, 'Di sinilah kamu akan bekerja.' Aku melihat sekeliling untuk mencari bangunan yang mungkin tidak kulihat sebelumnya. Tapi tidak - dia menunjuk area itu. Saat itulah dia memberitahuku bahwa aku akan menjadi pekerja seks, dan di sinilah aku berburu pelanggan. Mimpiku akan Denmark langsung hancur lebur... "

Malam itu, Jewel kebetulan bertemu perempuan yang nanti akan jadi penyelamatnya - Michelle Mildwater dari HopeNow, sebuah LSM yang mendampingi korban perdagangan manusia di Denmark.

Michelle melihat Jewel yang mungil, malu-malu, berusia 20-an. Dia lantas memberi Jewel sebuah kartu dengan nomor kontak.

Bos Jewel juga berasal dari Nigeria - yang biasa dipanggil "mami". Dia menyuruh Jewel untuk tidak mempercayai perempuan Inggris tersebut. Kemudian dia dengan cepat mencarikan Jewel pelanggan pertamanya.

"Pria itu membayarnya 4.000 kroner (Rp9 juta) untuk membawa saya pulang, dan kemudian mami saya pergi begitu saja," kata Jewel.

"Perjalanan di dalam mobilnya terasa begitu lama. Saya tidak bisa bahasa Denmark saat itu dan saya tidak tahu apa yang dia katakan - kami harus menggunakan Google Terjemahan untuk berkomunikasi. Itu menakutkan."

Pada bulan-bulan berikutnya, menjadi pekerja seks semakin sulit bagi Jewel.

"Saya tidak pandai melakukannya. Saya adalah orang pemalu yang bersembunyi di sudut ruangan. Tapi saya selalu ditemukan karena banyak pelanggan tetap yang tahu kapan orang baru datang, dan mereka ingin orang baru."


Baca juga:


Data terbaru yang dirilis oleh Uni Eropa menyebut lebih dari 14.000 korban perdagangan manusia tercatat pada 2017/2018 - tetapi ini hanyalah puncak gunung es, karena data ini hanya mewakili kasus yang teridentifikasi. Setengahnya berasal dari luar Uni Eropa, dan Nigeria merupakan satu dari lima negara teratas tempat asal korban.

Eksploitasi seksual terus menjadi tujuan utama perdagangan manusia, menurut Komisi Eropa, dan dalam satu tahun pendapatan kriminal yang dihasilkan diperkirakan mencapai 14 miliar Euro (Rp227 triliun).

Para perempuan ini diberitahu bahwa mereka punya banyak utang kepada para penyelundup terkait biaya perjalanan dan akomodasi.

"Mereka terlilit utang," kata Sine Plambech, peneliti senior di Departemen Migrasi di Institut Studi Internasional Denmark.

"Orang Nigeria adalah salah satu kelompok pekerja seks migran dengan utang tertinggi. Utangnya bisa antara 10.000 dan 60.000 euro (Rp165 juta - Rp990 juta). Ketika Anda memiliki utang sebanyak itu, Anda perlu menghasilkan banyak uang dengan cepat. Jika Anda tidak memilikinya dokumen resmi untuk bekerja, cara tercepat mendapatkan uang adalah industri seks."

Para penyelundup Jewel mengatakan dia harus membayar 42.000 euro (Rp693 juta), dengan cicilan tetap. Untuk menegaskan hal tersebut, Jewel diminta bertemu di sebuah pemakaman, sehari sebelum dia terbang dari Nigeria.

"Saya dipaksa untuk bersumpah membayar utang apa pun yang terjadi, dan bahwa saya tidak akan membocorkan siapa yang menyelundupkan saya. Jika saya melakukannya, banyak hal buruk yang akan terjadi pada saya dan keluarga saya. "

Begitu Jewel sampai di Denmark, para penyelundup mengancam keluarganya di Nigeria.

"Belum lama ini orang-orang datang ke rumah dan mereka ingin nenek saya menasihati saya untuk tidak melaporkan mereka ke polisi, dan jangan sampai tidak membayar utang. Jadi setiap kali saya meneleponnya, dia selalu menangis dan mengingatkan bahwa saya telah membuat kesepakatan dengan orang-orang ini - saya harus membayar atau sesuatu akan terjadi pada mereka."


Baca juga:


Jewel berada di bawah tekanan sehingga dia tidak pilih-pilih pelanggan, baik yang menggunakan jasanya di dalam mobil, di antara mobil yang diparkir di jalan-jalan Vesterbro, atau di rumah pelanggan.

"Anda tidak bisa mengatakan tidak. Anda harus mengatakan ya, karena ada 10 atau 15 perempuan lain yang melihat laki-laki yang sama ingin menghasilkan uang malam itu," katanya.

Tapi pergi ke rumah pelanggan bisa sangat berisiko.

"Saya bisa saja mati malam itu ketika saya dipaksa tetap berada di bak mandi," kenangnya, masih trauma.

"Pria yang membawa saya pulang meminta saya untuk masuk ke bak mandi. Dan saya berpikir, 'Oke - dia ingin saya bersih-bersih atau apalah.' Kemudian dia datang dengan dua ember es. Dan dia mulai menuangkan es ini ke saya. Dan saya di sana telanjang dan itu di tengah musim dingin"


'Impunitas pelaku'

Pada bulan April tahun ini, Komisi Eropa mengumumkan strategi baru untuk memerangi perdagangan manusia, seryaya mengakui bahwa upaya 10 tahun mengatasi masalah itu sebagian besar telah gagal.

"Impunitas para pelaku di UE tetap ada, dan jumlah tuntutan serta hukuman bagi para penyelundup tetap rendah," katanya. Karena itu perdagangan manusia tergolong "kejahatan berisiko rendah dan keuntungan tinggi".

Upaya untuk mengurangi permintaan terhadap jasa seks dari perempuan yang dieksploitasi juga gagal, tambah Komisi Eropa.

Pemerintah Inggris mengatakan bahwa pada Januari hingga Maret 2020 polisi mencatat 7.779 kejahatan perbudakan modern (termasuk eksploitasi tenaga kerja dan eksploitasi seksual), tetapi kurang dari 250 orang yang didakwa pada 2019.

Layanan dukungan Inggris untuk korban perbudakan modern dijalankan oleh Bala Keselamatan. Dikatakan bahwa 610 penyintas eksploitasi seksual yang bukan warga negara Inggris bergabung dengan program itu pada Januari hingga Juni 2021.


Jalan utama Istedgade di Vesterbro, dengan bar, klub, dan toko seksnya, sangatlah gaduh dan terang benderang pada malam Minggu. Sekelompok laki-laki, yang berjalan goyah karena alkohol, berkeliaran ke sana kemari.

Para perempuan yang menjual seks - kebanyakan dari Nigeria dan Eropa Timur - tampak dari gaya rambut dan riasan rapi. Mereka mengenakan baju olahraga yang ketat serta sepatu lari. Di antara mereka ada juga yang memakai sepatu hak tinggi, tapi tidak ada pakaian "seksi" seperti stereotipe pekerja seks.

Michelle Mildwater, yang telah mendampingi pekerja seks asing di Denmark selama lebih dari satu dekade, masih sering berkeliling di sini - memberikan kartu namanya kepada perempuan seperti Jewel, menawarkan bantuan dan konseling. Dia sangat menyadari betapa berbahayanya kehidupan jalanan, dan mengingat beberapa kasus kekerasan di salah satu hotel di distrik itu.

"Kami menemukan sejumlah perkosaan di sana," katanya. "Ada saat-saat ketika perempuan kabur dengan bersimbah darah."

Setiap akhir pekan, LSM-LSM Denmark mendampingi para perempuan pekerja seks. Salah satunya, Reden International, memiliki kafe untuk beristirahat, memulihkan diri, dan mendapatkan makanan ringan sebelum kembali bekerja. Dan di salah satu sisi jalan, kelompok sukarelawan mengadakan inisiatif yang sangat unik.

Disebut Van Merah, karena memang begitulah adanya - sebuah kendaraan dengan tempat tidur di belakang yang diterangi oleh lampu-lampu, dan persediaan kondom dan tisu yang siap pakai.

Ini adalah ruang pribadi, tempat pekerja seks dapat membawa klien melakukan hubungan seks, alih-alih pergi ke tempat yang berisiko tidak aman.

Sepanjang malam, perempuan pekerja seks dan klien mereka datang silih berganti untuk menggunakan fasilitas van, sementara para sukarelawan berdiri agak jauh tetapi cukup dekat untuk berjaga-jaga. Van dapat digunakan hingga 28 kali selama sif empat jam.

Salah satu relawan Red Van adalah Sine Plambech, seorang peneliti.

"Para perempuan ini memiliki masalah yang mereka coba selesaikan - utang, kemiskinan, keluarga, anak-anak. Mereka perlu bekerja. Mereka akan menjual seks, suka atau tidak, jadi kami menyediakan ruang aman bagi mereka saat mereka melakukannya," katanya.

"Kebanyakan perempuan tidak akan menjual seks jika mereka tidak harus melakukannya. Anda bisa membawa moralitas untuk menasihati mereka, tetapi mereka perlu menghasilkan uang."

Jual beli seks di Denmark tidak ilegal, tetapi perlu izin kerja. Status migrasi nan rapuh yang dimiliki banyak perempuan penjual seks di Kopenhagen membuat mereka lebih rentan - dan jauh lebih kecil kemungkinannya untuk melaporkan pelecehan atau kekerasan yang dialami ke polisi.

Kebijakan Denmark adalah mendeportasi migran gelap. Bahkan jika perempuan diketahui sebagai korban perdagangan manusia, mereka diharapkan untuk kembali ke negara asal mereka ditempatkan di rumah aman yang dibiayai pemerintah.

Setelah empat bulan di jalanan, putus asa, depresi, dan terpikir untuk bunuh diri, Jewel pun enggan melapor ke pihak berwenang. Dia masih memiliki utang yang sangat besar, dan takut akan keselamatannya dan keluarganya di Nigeria.

Kemudian hidupnya berubah. Kedengarannya klise - bahkan seperti dongeng - tetapi Jewel bertemu dengan seorang pria Denmark dan jatuh cinta kepadanya. Pada kencan pertama mereka, setelah makan malam romantis, dia menceritakan segalanya.

"Itu beban yang harus dia tanggung," katanya, mengenai pria yang kini menjadi suaminya.

Jewel berhenti bekerja di jalanan, dan sang suami membantunya membayar angsuran mingguan kepada maminya. Tetapi pasangan itu membutuhkan bantuan. 'Apakah Jewel kenal seseorang yang bisa membantu?' tanya pacarnya.

Jewel menyimpan kartu yang diberikan Michelle Mildwater padanya pada malam pertama dia jadi pekerja seks di Vesterbro.

Michelle mendampingi Jewel, membantunya menghadapi traumanya, dan memberinya kepercayaan diri untuk berhenti membayar angsuran ke maminya. Untungnya, tidak terjadi apa-apa terhadapnya atau keluarganya - mungkin penyelundupnya bukan bagian dari salah satu jaringan kriminal transnasional yang besar.

Kini Jewel menunggu hasil permohonannya untuk tetap tinggal di Denmark. Sementara itu, dia sudah fasih bahasa Denmark dan dia telah memiliki bayi. Jewel dan Michelle telah menjadi teman dekat. Dan ketika Jewel menikah, pekerja LSM dari HopeNow menjadi pendamping pengantin.

"Itu salah satu momen paling membanggakan dalam hidup saya - bahwa seseorang mendampingi saya di hari pernikahan, dan Michelle yang melakukannya," kata Jewel.

Jewel berharap suatu hari dapat kuliah jurusan bisnis. Dia juga ingin jadi sukarelawan yang membantu perempuan di jalanan.

Tepat sebelum lockdown, Michelle Mildwater, yang merupakan mantan aktor, mendorong Jewel untuk menulis sebuah drama - kisah seorang perempuan yang diperdagangkan - dan menampilkannya untuk masyarakat Kopenhagen. Jewel menyebutnya 'The Only Way Out Is Through' [Satu-satunya jalan keluar adalah melaluinya].

"Itu seperti terapi. Ketika saya melakukan pertunjukan, saya seperti ... keluar dari tubuh saya. Rasanya seperti saya adalah bagian dari penonton, dan saya sangat tersentuh dengan apa yang saya lihat," kata Jewel.

"Karena ini bukan hanya sebuah cerita - ini adalah kenyataan bagi orang-orang."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI