Suara.com - Kedutaan Besar Republik Indonesia di Khartoum tengah menyiapkan cadangan logistik bagi para WNI di tengah gejolak krisis di Sudan sejak kudeta militer awal pekan ini. Selain itu KBRI menyiapkan kemungkinan evakuasi apabila keadaan memburuk di negara Afrika tersebut.
Pemimpin militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengatakan pihaknya melancarkan kudeta Senin lalu untuk mencegah perang saudara.
Semua penerbangan dari dan ke Sudan dibekukan hingga hari Sabtu.
Aksi protes menentang kudeta itu terus berlanjut di Ibu Kota Khartoum. Sejumlah jalan, jembatan, dan toko-toko ditutup.
Baca Juga: Aksi Protes Guncang Sudan Setelah Militer Rebut Kendali Lewat Kudeta
Setidaknya sepuluh orang dilaporkan tewas dalam sejumlah kerusuhan.
Baca juga:
- Bentrokan di Sudan: KBRI tetapkan 'status siaga' dan siapkan dua tempat perlindungan untuk WNI
- Krisis Sudan: Mengapa yang terjadi di Khartoum mendapat perhatian Saudi, Mesir, Turki, hingga Rusia?
- Gejolak di Sudan, imam masjid dilarikan dari amukan massa antipemerintah
Bagaimana dengan WNI di Sudan?
Derry Iskandar, Kuasa Usaha Ad Interim dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Khartoum, mengungkapkan jaringan komunikasi terganggu.
Dia menambahkan pihaknya sudah menyiapkan langkah-langkah untuk membantu warga Indonesia di Sudan seandainya situasi memburuk.
"Agar para WNI tetap di rumah, selalu waspada, dan terus menjalin komunikasi dengan KBRI Khartoum," ujarnya kepada BBC News Indonesia, Selasa malam (26/10).
Baca Juga: Bentrok Protes Kudeta Militer Di Sudan, 7 Orang Tewas Dan Ratusan Lainnya Luka-luka
Derry mengungkapkan saat ini terdapat 1386 WNI di Sudan, mayoritas berada di Ibu Kota Khartoum dan negara bagian al-Gezira.
KBRI Khartoum saat ini sedang menyiapkan cadangan logistik dan bahan pokok untuk WNI di Sudan dalam mengantisipasi kelangkaan bahan-bahan pokok di negara itu.
Selain itu, rencana evakuasi juga dipersiapkan bila situasi memburuk di Sudan.
"Saat ini KBRI Khartoum sedang melakukan assessment dan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta terhadap kemungkinan-kemungkinan evakuasi apabila keadaan semakin buruk," ujar Derry.
PM Sudan sudah dibebaskan
Sementara itu, Perdana Menteri Abdalla Hamdok yang sempat ditahan di rumah pemimpin kudeta "demi menjamin keselamatannya" dilaporkan telah kembali ke rumah.
Dalam jumpa pers Selasa (26/10) Jenderal Burhan mengungkap alasan militer mengambil alih kekuasaan Senin lalu.
"Bahaya yang kita saksikan pekan lalu bisa membawa negeri ini dilanda perang saudara," katanya.
"Perdana menteri saat itu berada di rumahnya namun kami khawatir dia akan disakiti," lanjut Burhan.
"Saya berada bersamanya kemarin malam...dan dia menjalani hidupnya... dia akan kembali ke rumahnya saat krisis usai dan semua ancaman hilang."
Jenderal Burhan selanjutnya menyatakan dia telah membubarkan pemerintahan sipil, menangkap para pemimpin politik dan menyerukan keadaan darurat karena kelompok-kelompok politik telah menghasut warga sipil melawan pasukan keamanan.
Wartawan BBC Mohamed Osman di Khartoum mengatakan fakta bahwa Jenderal Burhan telah menyiapkan daftar para menteri serta berjanji untuk mengumumkan pengangkatan hakim tinggi dalam waktu dua hari, menunjukkan sudah ada perencanaan yang luas sebelum kudeta.
Kecaman internasional
Aksi militer itu telah menimbulkan kecaman internasional. AS, Inggris, Uni Eropa, dan Uni Afrika, yang dianggotai Sudan, menuntut pembebasan segera atas semua pemimpin politik, termasuk para anggota kabinet PM Hamdok.
Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan Sudan termasuk 'epidemi kudeta' yang berdampak pada Afrika dan Asia dan dia mendesak 'negara-negara besar" untuk kompak mengeluarkan sikap melalui Dewan Keamanan PBB.
Sementara itu AS menangguhkan bantuan US$700 juta ke Sudan dan UE juga mengancam hal yang sama. Mereka menuntut dipulihkannya lagi pemerintahan sipil tanpa syarat di Sudan.
Sejak Senin, para tentara dikabarkan melakukan operasi dari rumah ke rumah di Khartoum untuk menangkap para pemimpin aksi demo.
Koresponden kami mengungkapkan bahwa ribuan orang telah turun ke jalan untuk memprotes kudeta, kebanyakan di lingkungan permukiman dekat pusat kota.
Para pegawai bank sentral dikabarkan melakukan aksi mogok kerja dan para dokter pun dilaporkan menolak melanjutkan kerja di rumah sakit milik militer kecuali untuk keperluan darurat.
Para pemimpin sipil dan militer tidak memiliki hubungan harmonis sejak pemimpin yang lama berkuasa, Omar al-Bashir, digulingkan pada 2019.
Muncul kesepakatan pembagian kekuasaan antara pemimpin sipil dan militer untuk membawa Sudan kepada demokrasi. Namun kemudian muncul beberapa kali upaya kudeta, sebelumnya terjadi pada bulan lalu.
Jenderal Burhan, yang memimpin dewan pembagian kekuasaan, mengatakan Sudan berkomitmen pada transisi menuju pemerintahan sipil dan pemilu sudah direncanakan digelar Juli 2023.