Wacana Wajib PCR: Tarif Tes Covid Bisa Lebih Mahal dari Tiket Angkutan Umum

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 28 Oktober 2021 | 14:37 WIB
Wacana Wajib PCR: Tarif Tes Covid Bisa Lebih Mahal dari Tiket Angkutan Umum
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kalangan pengusaha mendorong pemerintah membatalkan syarat hasil negatif tes PCR sebagai kewajiban yang harus ditunjukkan pengguna transportasi umum selama periode libur Natal dan tahun baru.

Walau dianggap bisa menekan mobilitas masyarakat dan kenaikan kasus positif Covid-19 pada musim liburan, pakar kesehatan menyebut tes PCR semestinya hanya menjadi alat diagnosa, bukan penapisan (screening) penumpang kendaraan publik.

Salah seorang pengguna transportasi umum, mengatakan wajib PCR bukan hanya memperberat ongkos berpergian, namun diragukan bisa menghambat penularan Covid-19 di berbagai jenis transportasi umum.

Citra, pengguna kereta dan pesawat asal Malang, Jawa Timur, yang rutin berpergian antarkota.

Baca Juga: Soal Penurunan Harga Tes PCR, Roy Suryo: Jelas-jelas Bau Bisnis

"Tes PCR mahal dan ribet. Saya harus menunggu hasilnya lebih lama daripada tes antigen," ujarnya saat dihubungi, Selasa (26/10).

"Saya merasa lebih aman jika penumpang diwajibkan tes antigen karena tes dan hasilnya keluar dalam waktu cepat. Setidaknya hasil antigen semua penumpang dalam satu gerbong hari itu negatif," kata Citra.

Sepanjang pandemi, syarat yang wajib dipenuhi penumpang berbagai moda transportasi telah diubah beberapa kali oleh pemerintah.

Dalam regulasi terakhir yang kini berlaku untuk perjalanan kereta jarak jauh misalnya, penumpang diharuskan sudah menerima setidaknya vaksin Covid-19 dosis pertama.

Penumpang kereta api juga harus menunjukkan hasil tes negatif tes antigen atau PCR. Hasil antigen berlaku selama 24 jam sedangkan PCR dapat digunakan selama dua hari.

Baca Juga: Banyak Daerah Tak Punya Lab, Syarat Wajib Tes PCR Dinilai Hambat Pemulihan Ekonomi

Adapun sejak 21 Oktober lalu, seluruh penumpang pesawat di Jawa dan Bali harus menunjukkan tes negatif PCR. Sebelumnya, penumpang masih diperbolehkan membawa hasil negatif antigen.

Persoalannya, menurut Citra, tarif tes PCR masih terlalu tinggi. Jika terdesak harus berpergian dalam waktu cepat, penumpang harus membayar lebih mahal agar hasil tes PCR keluar lebih cepat.

"Kalau ada kebutuhan mendesak dan harus berangkat cepat, ini akan menyusahkan. Hasil PCR yang paling murah selesai satu hari setelah tes, bagaimana kalau hari itu tidak ada jadwal keberangkatan?" kata Citra.

Kelompok pengusaha moda transportasi darat, Organda, mendorong pemerintah mempertimbangkan ulang kewajiban tes PCR bagi calon penumpang pada musim liburan Desember mendatang.

Ketua Dewan Pengurus Pusat Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan, menyebut tarif tes PCR lebih mahal ketimbang harga tiket angkutan darat.

Shafruhan menyarankan agar pemerintah menanggung seluruh ongkos tes PCR calon penumpang. Jika opsi itu tidak mungkin dilakukan, dia mendesak kapasitas penumpang tetap dibatasi agar penularan Covid-19 tetap minim.

"Kalaupun disubsidi 50% dari harga tes PCR yang Rp300.000, tarif itu tetap terlalu berat bagi penumpang. Sebenarnya yang penting terus menyadarkan penumpang untuk menjalankan protokol kesehatan," kata Shafruhan.

"Kebijakan ini kan baru akan diterapkan Desember, tapi sekarang pemerintah sudah membuka 100% kapasitas transportasi umum. Jadi ada kontradiksi. Ambigu.

"Yang belum terjadi diantisipasi. Tapi yang sekarang dibolehkan kapasitas 100%. Kalau mau benar, penyebaran Covid-19 dijaga agar kita bisa secara bertahap lepas dari pandemi," ujarnya.

Awal pekan ini Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Kesehatan segera menurunkan tarif tes PCR menjadi Rp300.000.

Sebagai perbandingan, sejumlah pusat kesehatan di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, saat ini mematok tarif Rp495 ribu untuk tes PCR, baik yang hasilnya keluar dalam tiga jam maupun 24 jam.

Sementara itu, PT Kereta Api Indonesia (Persero) menetapkan tarif tes antigen di 64 stasiun mereka seharga Rp45.000.

Adapun merujuk Surat Edaran Satgas Covid-19 yang terbit 21 Oktober lalu, sejumlah moda transportasi diizinkan mengangkut penumpang hingga 100% dari kapasitas tempat duduk. Aturan ini berlaku pada daerah yang masuk kategori PPKM tingkat satu dan dua.

Shafruhan menilai syarat hasil negatif tes PCR tidak perlu diterapkan karena tren kepatuhan penumpang terhadap protokol kesehatan terus meningkat. Hal ini, menurutnya, terbukti dengan melandainya klaster Covid-19 di alat transportasi umum darat.

"Sekarang masyarakat di jalan kalau tidak pakai masker akan kagok saat melihat semua orang pakai masker. Mereka mulai sadar soal prokes," kata Shafruhan.

Bagaimanapun, kewajiban tes PCR ini dianggap solusi jitu untuk menekan mobilitas masyarakat selama periode liburan, kata Deddy Herlambang, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi.

Menurut Deddy, kebijakan ini krusial mencegah munculnya gelombang ketiga pandemi Covid-19. Apalagi, kata dia, Juli lalu jumlah kasus positif melonjak drastis usai masyarakat berpergian pada musim libur lebaran.

Meski begitu, kewajiban tes PCR ini dianggapnya tidak akan efektif tanpa dasar hukum dan ancaman sanksi yang berat.

"Penegakkan hukumnya seperti apa? Mampukah pemerintah mengawasi dan melakukan kontrol di lapangan?" kata Deddy.

"Apakah pelanggarnya hanya akan diberikan imbauan atau diwajibkan putar balik?

"Surat edaran tidak punya kekuatan hukum mengikat. Harus berani membuat peraturan menteri perhubungan jadi polisi bisa menindak pelanggar," ujarnya.

Namun dari segi medis, pakar kesehatan masyarakat, Bayu Satria, menilai syarat hasil negatif tes PCR belum terbukti dapat mencegah penularan Covid-19 antardaerah.

Bayu berkata, pemerintah semestinya mengutamakan pembatasan jumlah penumpang dan pengetatan protokol kesehatan untuk menekan penularan virus corona.

"Dari sisi ilmiah, alasan mewajibkan PCR tidak kuat. Apalagi pemerintah tidak pernah mengevaluasi seberapa banyak orang yang tertular Covid-19 di transportasi publik," ucap Bayu, dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

"Tidak ada negara lain yang mewajibkan PCR untuk pelaku perjalanan dalam negeri, terutama bagi mereka yang sudah divaksin.

"Yang lebih penting sebenarnya adalah kewajiban karantina setelah perjalanan domestik. Kalau tidak seperti itu, penularan tidak akan tercegah dengan PCR.

"Kecil sekali kemungkinan satu tes PCR bisa menemukan kasus positif karena jendela terjadinya penularan Covid-19 terjadi beberapa hari. Bisa saja saat tes PCR, virusnya belum terdeteksi," kata Bayu.

Terkait polemik ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut tarif tes PCR di Indonesia akan masuk kategori termurah di dunia jika diturunkan menjadi Rp300 ribu, seperti rencana Jokowi.

Namun Budi menyebut pemerintah tidak dapat memangkas tarif tes PCR ke kisaran Rp160 ribu seperti yang diterapkan pemerintah India.

"India adalah negara paling murah untuk semuanya, selain China. Mereka produksi alatnya di dalam negeri, jumlah rakyatnya juga hampir dua miliar," ujar Budi dalam jumpa pers, Selasa kemarin.

"Pemerintah tidak berencana memberi subsidi karena harganya sudah diturunkan," tuturnya.

Budi juga berkata bahwa pemerintah bersiasat agar gelombang ketiga pandemi tidak terjadi Desember nanti. Salah satu caranya, kata dia, adalah upaya preventif dengan cara memperbanyak deteksi kasus.

Menurut Budi strategi ini perlu dikedepankan untuk menghindari lonjakan perawatan di rumah sakit. Dia berkata, sebelumnya kasus positif meningkat drastis setelah libur Natal dan tahun baru 2020 dan lebaran lalu.

"Kondisi kita sudah baik, kalau bisa jangan masuk rumah sakit. Itu strategi yang salah," ujarnya.

Merujuk data yang dihimpun Johns Hopkins University, setelah periode libur natal dan tahun baru 2020, kasus positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Puncaknya saat itu terjadi pada 30 Januari 2021, ketika tercatat 14.518 kasus baru.

Sementara setelah musim lebaran 2021, kenaikan kasus baru mencapai puncak pada 15 Juli lalu, saat tercatat ada 56.757 kasus baru dalam satu hari.

Adapun hingga berita ini dimuat, pemerintah belum memastikan kapan akan menerapkan rencana mewajibkan hasil tes negatif PCR untuk seluruh penumpang transportasi umum antardaerah.

REKOMENDASI

TERKINI