Suara.com - Tren stagnasi kemampuan akademik dasar (learning loss) terjadi akut pada anak-anak dari kelas ekonomi rendah dan yang tinggal di pedesaan selama pandemi, menurut sejumlah riset.
Meski begitu, kondisi ini diyakini tidak menimpa sebagian besar anak keluarga kelas menengah atas di perkotaan.
Jika tidak segera diatasi, para pakar khawatir ketimpangan pendidikan selama pandemi bakal melebarkan jurang antara si kaya dan si miskin pada masa depan.
Namun mengapa pembelajaran tatap muka di sekolah tidak dianggap solusi atas persoalan ini?
Baca Juga: Hasil Survei: Satu Tahun Pandemi, Siswa Alami Learning Loss yang Setara dengan 6 Bulan
Baca juga:
- Darurat sekolah rusak: 'Yang sekolah bisa lakukan ya, tidak bisa apa-apa'
- Belasan ribu murid terpapar Covid-19, perlukah pembelajaran tatap muka terbatas dipertahankan?
- Hampir 10 juta anak 'berisiko putus sekolah permanen' akibat pandemi Covid-19
Ratusan kilometer dari Padang, Sumatera Barat, selama pandemi Covid-19, puluhan anak usia sekolah di Nagari Sisawah Kabupaten Sinjunjung, mendaki bukit dan masuk ke hutan untuk mencari sinyal. Mereka harus mencari sinyal internet sebelum akhirnya bisa mencari ilmu.
Dua modal utama wajib dimiliki seluruh murid di seluruh dunia saat proses belajar di sekolah berpindah ke rumah: gawai dan internet. Namun bagi anak-anak di kawasan pedalaman seperti Sisawah, dua benda tadi adalah kemewahan yang belum tentu mereka punyai.
"Di setiap jorong [dusun] ada tempat-tempat tertentu yang terlewati jaringan internet, biasanya di atas bukit atau di dalam rimba. Anak-anak pergi ke sana dari pagi buta, sore baru pulang," kata Felia Siska, akademisi di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Sumatera Barat.
Felia merupakan warga Nagari Sisawah. Dia lahir dan tumbuh dewasa di wilayah itu. Dia mulai merantau saat masuk ke bangku sekolah menengah atas. Hingga saat ini sekolah dengan jenjang tertinggi di desa itu adalah SMP.
Baca Juga: Senin Besok, 80 Sekolah di Samarinda Mulai Pembelajaran Tatap Muka
Baru-baru ini Felia meriset proses belajar daring para murid sekolah di Sisawah. Dia menyimpulkan, kualitas pendidikan selama pandemi di desa itu rendah dan timpang dengan kualitas di kawasan yang ditunjang infrastruktur memadai.
Anak-anak yang mencari sinyal internet untuk belajar tadi adalah mereka yang merantau tapi pulang karena sekolah ditutup. Sedangkan para siswa di Sisawah tidak menjalani belajar daring.
Felia berkata, satu kali dalam seminggu mereka diminta datang ke sekolah untuk mengambil dan menyerahkan tugas. Pada hari lainnya, anak-anak itu dianjurkan belajar mandiri.
Namun Felia menyebut penyebab situasi itu bukan hanya ketiadaan gawai dan internet. Faktor orang tua dan wali murid juga memicu buruknya situasi belajar di sana.
"Bagi orang tua di pedesaan seperti Sisawah, urusan belajar itu tanggung jawab sekolah karena orang tua harus mencari uang. Menurut mereka itulah gunanya anak-anak disekolahkan," ujar Felia.
"Ada orang tua yang tidak tamat sekolah, bagaimana mereka bisa mengajari anak di rumah. Ada orang tua muda yang tamat SMA, mungkin bisa. Tapi lebih banyak yang tidak tamat SD.
"Mereka bersedia menyekolahkan anaknya saja itu sudah luar biasa karena pemikiran sebagian orang tua, mau sekolah, uang tidak ada. Kalaupun sekolah, nanti ujung-ujungnya menoreh karet," kata Felia.
Orang tua di ladang, tak bisa dampingi anak
Nagari Sisawah terletak di tepi kawasan hutan yang dikenal dengan nama Rimba Lisun. Jarak dari setiap dusun menuju pusat nagari terbentang sekitar tujuh kilometer.
Satu-satunya jalan dari Sisawah menuju ibu kota kabupaten di Muaro Sijunjung baru diaspal tahun 2020.
Bentang alam Sisawah yang terdiri hamparan sawah, perbukitan dan gua memicu Kementerian Pariwisata mendorong nagari ini menjadi destinasi turisme. Namun sebagian besar penduduknya masih bergantung pada hasil ladang dan karet.
Merujuk data kantor Walinagari Sisawah tahun 2020, hanya terdapat 23 anak yang bersekolah di desa itu. Sementara 88 anak lainnya bersekolah di luar Sisawah.
"Saya termasuk generasi pertama yang merantau untuk sekolah. Kalau kami tidak lanjutkan sekolah, orang tua senang. Anak laki-laki bisa bantu orang tua di ladang, yang perempuan menikah," kata Felia.
Kesenjangan kualitas pendidikan selama pandemi tidak identik pada situasi di Sisawah saja, tapi di seluruh penjuru Indonesia, kata Ulfah Alifia, peneliti di lembaga pemikir Smeru Research Institute.
Bukan hanya faktor internet dan orang tua, riset Smeru terhadap proses 'belajar dari rumah' menyoroti bagaimana guru juga berperan dalam stagnasi kemampuan akademik murid selama pandemi.
Ulfah berkata, hanya guru di perkotaan yang cenderung memanfaatkan aplikasi gawai untuk memperlancar pembelajaran. Namun di banyak pedesaan, ketiadaan internet dan minimnya penguasaan teknologi membuat proses belajar berhenti.
"Kebanyakan guru hanya memberikan tugas tanpa penjelasan. Anak seolah-olah diminta belajar sendiri dengan pendampingan orang tua," kata Ulfah.
"Kalau tingkat pendidikan orang tua tinggi, dia bisa mendampingi anak. Tapi jika pendidikan orang tua rendah, mereka tidak mampu. Mereka hanya petani, bagaimana bisa mengajarkan anak di rumah.
"Jenis pekerjaan orang tua juga menentukan apakah mereka bisa hadir pada aktivitas belajar anak," tuturnya.
Ulfah berkata, orang tua yang tak memiliki privilese untuk bekerja dari rumah, terutama mereka yang berkerah biru seperti buruh, kurir, dan asisten rumah tangga, cenderung tak dapat mengisi kekosongan yang ditinggal guru.
Cerita buruh
Lelly, mantan pekerja migran di Tulungagung, Jawa Timur, sebelum pandemi memilih menyekolahkan anak-anaknya di pondok pesantren. Dalam sistem pendidikan berbasis asrama, Lelly bisa terbebas dari beban mengajari anak-anak.
Dengan bekal pendidikan, Lelly berharap ketiga anaknya bisa meraup masa depan lebih baik ketimbang dirinya yang bahkan tidak tamat SD.
Lelly yang sempat bekerja tanpa dokumen resmi di China kini tak bisa lagi merantau ke luar negeri karena pengiriman TKI mandek selama pandemi. Untuk bertahan hidup, Lelly bekerja lepas dengan menggoreng bawang merah di UMKM di desanya.
"Kalau bisa anak-anak dapat pekerjaan yang lebih bagus dari saya. Saya buruh, kerja paling sehari dapat Rp60 ribu, itu cuma bisa buat makan. Seminggu bahkan bisa tiga hari tidak bekerja jadi tidak ada pemasukan," ujar Lelly.
Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud menyebut standar kualitas pendidikan di Indonesia mundur hingga enam bulan selama proses 'belajar dari rumah'.
Sementara itu, menurut Bank Dunia, sistem belajar daring memicu ketimpangan kemampuan akademik antara siswa dari keluarga miskin dan keluarga kaya hingga 10%.
"Semua anak berisiko mengalami learning loss tapi efeknya akan lebih parah pada anak dari keluarga dengan kemampuan ekonomi rendah, yang tidak punya privilese," kata Ulfah dari Smeru.
"Pada akhirnya, merujuk pada penelitian global, itu akan berdampak pada masa depan anak," ucapnya.
Jurang antara si kaya dan si miskin
Pakar pendidikan, Doni Koesoema, memprediksi puncak dampak negatif ketimpangan ini akan terjadi dalam satu dekade ke depan.
"Dampak terburuknya adalah ketidakadilan sosial. Jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin lebar," kata Doni.
"Ke depan ketimpangan akan makin lebar jika negara tidak hadir pada anak-anak yang rentan. Mereka tidak akan bisa kompetitif. Bonus demografi tahun 2035 tidak akan bisa tercapai karena ini sangat tergantung pada generasi sekarang," ujarnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, jumlah orang miskin di Indonesia bertambah 1,2 juta orang selama periode Maret 2020 dan Maret 2021. Total penduduk yang masuk kategori miskin mencapai 27,54 juta pada Maret lalu.
Sementara pada periode yang hampir sama, jumlah orang Indonesia dengan kekayaan di atas US$ 1 juta (Rp14,1 miliar) bertambah 62% menjadi sekitar 172 ribu orang. Data ini disusun oleh bank investasi Credit Suisse.
Apa solusinya?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, selama pandemi ini mengakui terjadinya learning loss di kalangan siswa. Nadiem dan jajarannya juga tidak menampik berbagai riset tekait persoalan ini.
Strategi utama mengatasi learning loss yang mereka ambil adalah membuka sekolah secara terbatas. Selain itu, Kemendikbud juga melakukan program asesmen nasional untuk mengukur dampak learning loss.
Asesmen Nasional merupakan program penilaian mutu sekolah dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah.
Kualitas sekolah dinilai dari hasil belajar murid yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran.
Program asesmen nasional ini dijadikan sebagai pengganti ujian nasional selama masa pandemi.
Namun pegiat pendidikan Doni Koesoema menyebut asesmen nasional bukan solusi untuk mengatasi ketimpangan kemampuan akademik siswa.
"Learning loss terkait tingkat kemampuan akademik siswa ketika dia kembali ke sekolah. Jika dia ke sekolah dan guru langsung melanjutkan materi, anak akan semakin tertinggal. Jadi pembelajaran tatap muka malah jadi tidak efektif," kata Doni.
"Harus ada asesmen awal. Harus dilihat, misalnya anak kelas tiga sudah bisa bacakah? Kalau guru berasumsi semua murid bisa membaca, akan ada anak-anak yang makin tertinggal.
"Asesmen nasional berbeda. Yang saya maksud adalah asesmen kelas untuk mengukur tingkat akademik siswa.
"Pada pelajaran bahasa Inggris misalnya, anak SMP yang melewatkan materi dasar, saat guru melanjutkan materi ke gramatikal, dia tidak akan paham.
"Saya belum melihat kementerian melakukan assesment kelas. Padahal banyak riset sudah merujuk itu," ujar Doni.
Kritik serupa dikatakan Ulfah Alifia dari Smeru Research Institute. Untuk mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan yang diterima siswa selama pandemi, dia menyebut para guru perlu mendiagnosa kemampuan siswa.
Diagnosa itu, kata Ulfah, kemudian harus dilanjutkan dengan sistem pembelajaran yang terdeferensiasi.
"Guru harus mengajar dengan cara berbeda pada setiap muridnya. Dia bisa membuat kelompok, dari siswa yang berkemampuan tinggi sampai rendah," tutur Ulfah.
"Cara mengajarnya harus berbeda pada setiap kelompok anak. Semua anak mengalami learning loss, tapi dampaknya dirasakan berbeda. Anak yang paling terdampak harus mendapatkan pembelajaran paling intensif.
"Ini sudah ada dalam panduan kurikulum untuk tahun ajaran baru. Tapi saya tidak tahu implementasinya seperti apa," ucapnya.
'Pemda tak bisa lepas tangan'
Lebih dari itu, pemerintah daerah juga disebut memiliki peran sentral untuk mengatasi ketimpangan pendidikan ini.
UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa urusan pendidikan anak usia dini dan nonformal serta pendidikan dasar (SD dan SMP) merupakan kewenangan pemerintah kabupaten atau kota.
Adapun urusan pendidikan menengah dan pendidikan khusus menjadi kewenangan pemerintah provinsi.
Sebaliknya, pemerintah pusat diserahi tugas mengurus manajemen pendidikan, kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga kependidikan, serta perizinan pendidikan.
"Pemda itu eksekutor di lapangan untuk asesmen. Mereka harus punya data, berapa anak yang tidak bisa belajar karena tidak punya gawai, misalnya," kata Doni.
"Dari situ pemda memulai intervensi. Mereka juga membantu pembiayaannya. Selama ini pemda diam saja karena menanggap semuanya sudah diurus pemerintah pusat. Pemda tidak pernah ada insiatif sesuai kebutuhan," ucapnya.
Namun tudingan ini dibantah, setidaknya oleh Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat, Adib Alfikri.
Adib mengakui terdapat disparitas pendidikan di setiap siswa di provinsinya. Untuk mengatasi itu, sudah lembaganya meminta para guru untuk membuat siasat yang sesuai dengan persoalan di wilayah mereka.
"Masing-masing sekolah dan guru punya metode evaluasi berbeda, misalnya remedi dan pembelajaran tambahan," kata Adib.
"Jadi tergantung kreativitas guru. Batas yang kami berikan adalah bahwa guru harus melakukan evaluasi, sejauh mana murid memahami materi dalam sistem pembelajaran daring.
"Kami di dinas selalu punya strategi. Bagi daerah yang tidak bisa daring sama sekali, kami izinkan untuk bersekolah sesuai protokol karena tidak mungkin kami paksakan daring sehingga anak tidak belajar sama sekali," kata Adib.
Bagaimanapun, learning loss hanyalah satu dari persoalan pendidikan yang dipicu pandemi. Jurang kesejahteraan pada masa depan juga diprediksi akan meningkat karena menurut data Kemendikbud, angka putus sekolah naik hingga 10 kali lipat.
Selain itu, perkawinan anak juga melonjak hingga 300% dalam setahun terakhir, menurut Komnas Perempuan.
---
Wartawan di Padang, Halbert Chaniago, berkontribusi pada liputan ini