Suara.com - Taruna Arora kehilangan suaminya Rajeev karena Covid-19, dua hari sebelum pria itu berulang tahun ke-50.
Rajeev tertular virus tersebut pada April, ketika India mengalami puncak gelombang kedua pandemi.
Saat itu, tenaga kesehatan dan rumah sakit kewalahan, dan keluarganya kesulitan menemukan tempat untuk merawatnya.
Mereka akhirnya mendapatkan tempat tidur di salah satu fasilitas kesehatan darurat yang dibangun oleh pemerintah, namun dua pekan kemudian Rajeev meninggal dunia.
Baca Juga: Keras! Faizal Assegaf ke Loyalis NU: Hasyim Asyari dan Abu Janda Sama Saja
"Kematian Rajeev membuat saya merasa lumpuh. Ini adalah hari-hari terburuk dalam kehidupan saya, tapi saya tak punya waktu untuk berduka," ujar Taruna, 46 tahun.
Baca juga:
- Seperti apa varian Covid India dan apakah memang kebal terhadap vaksin?
- Apa kesalahan India dalam penanganan Covid yang bisa jadi pelajaran untuk Indonesia?
- 'Saya dijual karena saya perempuan Muslim', kisah perempuan di India yang jadi korban pelecehan di dunia maya
Rajeev, yang sebelumnya bekerja di bidang telekomunikasi, adalah tulang punggung keluarga dan pengambil keputusan dalam semua urusan keuangan mereka.
Taruna kini bergantung pada uang tabungan untuk hidup sehari-hari. Dengan pengetahuannya yang terbatas tentang pengaturan keuangan, dia harus menghidupi dua anak mereka.
"Selama ini kami hidup dengan nyaman dan saya bisa mendapatkan semua yang saya inginkan. Dia yang mengurus semua uang dan saya tinggal meminta padanya jika butuh sesuatu.
Baca Juga: Viral Ibu Ini Histeris Lihat Anaknya Makan Daun Janda Bolong, Publik Ikut Keringat Dingin
"Sekarang, saya tidak tahu sampai kapan tabungan ini bertahan karena saya tidak pernah mengurus keuangan sendiri," kata Taruna.
Dia berharap menemukan pekerjaan untuk menghidupi kedua anaknya, tapi Taruna tidak punya pengalaman bekerja dan dia tak tahu harus mulai dari mana.
"Saya hanya ingin mendapatkan pekerjaan, meninggalkan rumah, bertemu orang-orang dan mungkin minum teh bersama. Ketika saya berada di rumah saja, duka ini membuat saya tidak bisa tidur."
India adalah salah satu negara dengan dampak pandemi terparah di dunia, dengan angka kematian mencapai 440.000 sejauh ini.
Pandemi juga membuat puluhan ribu perempuan menjanda dan berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang sama sekali baru.
Banyak dari para perempuan ini belum pernah bekerja sebelumnya. Menurut Bank Dunia, tingkat partisipasi angkatan kerja untuk perempuan di India yang jumlahnya di bawah 21% pada 2019 adalah salah satu yang terendah di dunia.
Banyak keluarga kehilangan tulang punggung, dan saat dunia mereka jungkir balik dalam semalam, mereka kesulitan mengatasi beban ganda, rasa duka ditinggal suami dan kesulitan finansial.
Peranan gender dan norma-norma patriarki berarti mereka bergantung secara finansial kepada pasangan pria mereka dan tak diikutkan dalam perencanaan dan jasa keuangan selama ini.
Pada 2017, nyaris 13% perempuan India tidak mampu menyiapkan dana darurat jika dibandingkan dengan pria, menurut Bank Dunia.
Para perempuan India juga 6% lebih sedikit dari para pria dalam hal memiliki rekening di bank permasalahan yang diperparah dengan fakta bahwa kaum perempuan di India jauh lebih jarang yang memiliki telepon genggam atau menggunakan internet mobile dibandingkan pria.
Ini membuat para perempuan seperti Taruna semakin sulit menerima bantuan sosial seperti yang baru-baru ini digelontorkan pemerintah.
Pemerintah India mengumumkan akan memberikan bantuan uang tunai senilai total 50.000 rupee (Rp9,4 miliar) untuk keluarga korban yang meninggal karena Covid.
Selama gelombang kedua di negara tersebut, Madhura Dasgupta Sinha, seorang wirausaha bidang sosial di Mumbai, mengumpulkan dana dari teman-teman sekelasnya untuk seorang temannya yang terkena Covid seorang insinyur berusia 50 tahun yang membutuhkan perawatan intensif.
Teman itu kemudian meninggal dunia, namun para donatur menginginkan uang yang telah terkumpul diberikan kepada keluarga almarhum.
Ketika Madhura menanyakan kepada istri teman tersebut, ke rekening mana uang tadi harus dikirimkan, dia berkata tidak tahu apakah dia memiliki rekening.
"Tidak ada pengetahuan finansial dalam keluarga mereka, jadi mereka sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi tragedi. Tapi saat berduka juga bukan waktu yang tepat untuk mengajari mereka tentang internet banking," ujar Madhura, 51 tahun, seorang eks-bankir.
Dari pengalaman ini, Madhura meluncurkan Not Alone, sebuah kampanye untuk membantu para perempuan yang kehilangan tulang punggung keluarga karena pandemi.
Banyak relawan dan diaspora India yang tertarik untuk memberikan bantuan.
Ada sekitar 100 perempuan dalam komunitas ini. Banyak di antaranya berjuang dengan kesehatan mental.
Madhura dan tim relawan telah melihat banyak kasus depresi, rasa bersalah sebagai penyintas, bahkan kecenderungan bunuh diri. Beberapa yang lain berjuang untuk menghidupi keluarga.
Baca juga:
- Cerita perawat di India yang berjuang selamatkan pasien Covid 'hingga napas terakhir'
- Menjawab pertanyaan pembaca BBC soal gelombang kedua dan penanganan pandemi di India
"Beberapa perempuan menghadapi masalah warisan, sementara yang lain, diusir dari rumah oleh keluarga mertua.
"Kadang-kadang, tempat kerja keluarga yang meninggal memberikan dana bantuan cukup banyak, namun tiba-tiba sanak saudara bermunculan dan meminta bagian," ujar Madhura.
"Banyak yang kesulitan membayar uang sekolah anak-anak mereka. Di satu kasus, seorang perempuan tidak tahu tata cara pembayaran asuransi, dan tetap membayar premi bahkan ketika sang suami sudah meninggal dunia."
Akar dari permasalahan ini, dia menambahkan, adalah literasi finansial yang sangat buruk.
Secara global, 35% pria memiliki pengetahuan literasi keuangan, sementara jumlahnya untuk perempuan hanya 30%, menurut lembaga survei Standard and Poor's (S&P) pada 2015.
Tapi di India, literasi finansial jauh lebih rendah dari tingkat global dengan kesenjangan gender lebih tinggi, 27% pria dibandingkan 20% perempuan.
Madhura dan timnya mendorong para perempuan untuk bekerja, namun beberapa mengaku tidak siap.
Untuk kasus-kasus tersebut, konseling berduka menjadi prioritas. Ini bukan proses yang linear. Kemajuan emosional yang didapatkan selama konseling berminggu-minggu bisa runtuh karena pemicu sederhana seperti foto atau kenangan percakapan dengan mendiang.
Mereka yang siap bekerja perlahan-lahan diperkenalkan kepada dunia kerja dan diberikan dukungan dan panduan karier. Para relawan membantu mereka mengembangkan usaha kecil dari hobi atau kegemaran mereka.
Beberapa perusahaan rintisan juga telah mendekati Madhura untuk menawarkan kesempatan kerja untuk para perempuan dari komunitas ini.
Dengan dukungannya, istri teman Madhura yang telah meninggal dunia dalam kisah di atas telah berhasil membuka rekening bank.
Dia telah bisa menerima dana dari teman-teman suaminya, namun masih membutuhkan pemasukan yang stabil.
Madhura dan timnya ingin membantu, tapi masih ada halangan. Saat ditawari pekerjaan, istri teman tersebut menolak, karena masih belum siap secara emosional.
Madhura menunggu dengan sabar, sampai suatu hari perempuan itu menelponnya.
"Dia sekarang sudah mampu menginvestasikan uang dengan bijak, telah belajar internet banking dan menyisihkan uang untuk membayar pendidikan putrinya. Semua ini tampak seperti hal-hal kecil, tapi bagi kami, ini adalah kemenangan besar."