Suara.com - Pemerintah meminta DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Kekinian nama RUU tersebut diketahui berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
Pernyataan ini disampaikan Tenaga Ahli Utama Kedeputian II KSP Brian Sriprahastuti, dalam agenda KSP Mendengar bersama pimpinan Ormas, LSM, OKP, dan unsur lembaga sipil lainnya, di Kota Banda Aceh, Senin (25/10/2021).
"Kami juga berkoordinasi dengan Kementerian PPPA untuk menindaklanjuti percepatan pengesahan RUU PKS di DPR," ujar Brian.
Seperti diketahui, RUU PKS diusulkan sejak 2016. Namun karena terjadi pergulatan dan kekuatan yang tidak seimbang di DPR, RUU PKS sempat mengambang hingga akhirnya kembali masuk Prolegnas pada Januari 2021.
Baca Juga: Cegah Aksi Korupsi, Moeldoko Sebut Pentingnya Perbaikan Tata Kelola Ekspor Impor
Agar pembahasan RUU PKS di DPR berlangsung efektif dan segera dapat diundangkan, KSP menginisiasi pembentukan gugus tugas lintas Kementerian/Lembaga percepatan RUU PKS.
"Gugus tugas ini beranggotan KSP, Kemenkum HAM, Kemen PPA, Kejagung, dan Polri ini. Tugasnya mengawal kinerja politik, aspek substansi, dan komunikasi media," ucap Brian.
Sementara aktivis perempuan Aceh Suraiya Kamaruzzaman menilai, selama ini terjadi dualisme hukum di Aceh, yakni antara Qonun Jinayat dan hukum positif Indonesia.
Dalam kasus putusan kekerasan seksual pada anak, kata Suraiya, dualisme hukum bisa menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap korban.
"Harapan pada KSP untuk memastikan semua kebijakan diskriminatif di Aceh dihapus. Harus ada sinkronisasi regulasi dan kebijakan pusat dan daerah" tegas Suraiya.
Baca Juga: KSP Klaim UU Cipta Kerja Atasi Hambatan Berusaha Bagi UMKM
Suraiya mencotohkan, masih ada vonis bebas terhadap pelaku kekerasan pada anak oleh Mahkamah Syariah di Aceh Besar.
Padahal kata dia, setiap hari ada satu atau dua anak dan peremuan yang menjadi korban.
Anggota Presidium Balai Syura Ureng Inong Aceh itu juga menyayangkan, rendahnya pelayanan Pemerintah Daerah (Pemda) terhadap korban kekerasan seksual.
"Pelayanan yang baik hanya ada di Pemerintah Provinsi dan Kota Banda Aceh. Regulasi yang dibuat Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota mayoritas diskriminatif terhadap perempuan," ujar Suraiya.