Enam Alasan Mengapa Pembelian Newcastle oleh Konsorsium Arab Kontroversial

SiswantoBBC Suara.Com
Sabtu, 23 Oktober 2021 | 09:53 WIB
Enam Alasan Mengapa Pembelian Newcastle oleh Konsorsium Arab Kontroversial
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Meskipun banyak pendukung menyambut pembelian klub sepak bola Liga Primer Inggris, Newcastle United oleh konsorsium Arab Saudi, langkah itu terus dikritik oleh kalangan yang mempertanyakan catatan buruk hak asasi manusia negara kerajaan tersebut.

Konsorsium yang membeli klub itu sebelumnya membantah pengambilalihan terkait upaya menjadikan olahraga sebagai cara pencucian dari isu hak asasi manusia (HAM).

Berikut enam alasan yang membuat pembelian senilai 305 juta atau sekitar Rp5,9 triliun lebih itu menimbulkan kontroversi.

Pembunuhan wartawan yang menggemparkan

Reputasi internasional Arab Saudi sangat ternodai akibat pembunuhan Jamal Khashoggi pada Oktober 2018. Ia adalah wartawan Arab Saudi yang berdomisili di Amerika Serikat dan kritikus terkemuka pemerintah Arab Saudi.

Baca Juga: Arab Saudi Izinkan Kapasitas Penuh di Masjid Mekah-Madinah

Pelapor khusus PBB Agnes Callamard menyimpulkan bahwa Khashoggi "dibunuh secara brutal" ketika mengurus surat-surat di Konsulat Arab Saudi di Istanbul. Ketika itu, ia hendak menikahi tunangannya, seorang warga Turki.

Baca juga:

Penguasa de facto Arab Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman, dan sejumlah pejabat tinggi lainnya juga terseret dalam kasus ini. Meskipun putra mahkota membantah terlibat, reputasinya di luar negeri sudah tercemar.

Tunangan Khashoggi, Hatice Cengiz, menyebut pembelian ini "menyayat hati".

Dana Investasi Publik (PIF) Arab Saudi, yang memegang 80% saham Newcastle, dipimpin oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman, walaupun Liga Primer mendapat jaminan bahwa pemerintah Arab Saudi tidak akan mengendalikan klub.

Baca Juga: Cabut Stiker Jaga Jarak, Arab Saudi Mulai Longgarkan Prokes Covid-19 di Mekkah

Pemenjaraan aktivis HAM

Pada 2018, pihak berwenang Arab Saudi menangkap 13 aktivis hak-hak perempuan yang memimpin kampanye menuntut pencabutan larangan mengemudi bagi perempuan.

Setidaknya empat di antara mereka diduga mengalami penyiksaan dan pelecehan seksual selama interogasi.

Pada 2020, pengadilan tindak pidana terorisme menyatakan aktivis terkenal, Loujain al-Hathloul, bersalah atas kejahatan terhadap negara. Ia menolak dakwaan itu dan pelapor khusus masalah HAM PBB menyebut dakwaan itu "palsu".

Walaupun hakim memberikan hukuman percobaan atas vonis lima tahun penjara sehingga ia bebas pada Februari lalu, Loujain al-Hathloul dikenai larangan bepergian dan pembatasan-pembatasan lain.

Semua dari aktivis-aktivis lain, kecuali satu dilaporkan telah dibebaskan dengan jaminan atau menjalani hukuman percobaan.

Pemberangusan kaum intelektual, ulama dan reformis terkemuka

Para aktivis hak-hak perempuan bukan satu-satunya kelompok yang ditahan sebagai bagian dalam upaya pemberangusan kritikus Arab Saudi, negara yang melarang partai politik, serikat pekerja dan kelompok HAM independen.

Puluhan pembela HAM, intelektual, akademisi, ulama dan reformis ditangkap sejak 2017, sekedar menjalankan haknya dalam hal kebebasan berekspresi, menurut sejumlah organisasi hak asasi manusia.

Banyak dari mereka, menurut Amnesty International, disidangkan tanpa mendapat keadilan dengan dakwaan samar-samar terkait terorisme dan kejahatan siber, dan mereka dijatuhi hukuman berat, termasuk hukuman mati.

Beberapa hari sebelum pengambilalihan Newcastle, pengadilan Arab Saudi mengukuhkan vonis 20 tahun penjara yang ditajuhkan kepada pekerja sosial warga Amerika-Arab Saudi, Abdul Rahman al-Sadhan karena menulis twit berisi kritikan terhadap pihak berwenang.

Saudaranya, Areej, mengatakan Abdul Rahman al-Sadhan "disiksa secara brutal.

Perang yang menghancurkan Yaman

Arab Saudi dikecam pedas karena mengobarkan perang di negara tetangganya, Yaman yang telah menimbulkan bencana kemanusiaan.

Koalisi pimpinan Arab Saudi campur tangan di Yaman pada 2015 sesudah kelompok pemberontak menguasai sebagian besar wilayah barat dan memaksa presiden melarikan diri ke luar negeri.

Lebih dari 100.000 warga dilaporkan terbunuh, termasuk 8.700 warga sipil yang meninggal dunia akibat serangan udara pasukan koalisi, menurut lembaga pemantau.

Puluhan ribu penduduk Yaman diperkirakan meninggal dunia akibat dampak tak langsung dari perang, seperti kekurangan pangan, layanan kesehatan dan infrastruktur, sedangkan blokade parsial yang diterapkan pasukan koalisi menghambat upaya penyaluran bantuan bagi 20 juta penduduk yang memerlukannya.

Penggunaan hukuman mati secara luas

Arab Saudi termasuk kelompok negara yang paling banyak menerapkan hukuman mati.

Setidaknya 49 orang dieksekusi antara Januari hingga Juli 2021, menurut Amnesty International.

Pada Juni, seorang pria dieksekusi atas kejahatan yang dituduhkan dilakukannya ketika berusia 17 tahun, meskipun pemerintah Arab Saudi memberikan jaminan telah menghapus hukuman mati bagi terpidana di bawah umur.

Mustafa al-Darwish dinyatakan bersalah atas sejumlah dakwaan terkait keterlibatannya dalam protes menentang pemerintah, meskipun dalam sidang ia mengatakan terpaksa mengaku karena disiksa selama pemeriksaan.

Hukuman bagi hubugan seks sesama jenis

Walaupun Arab Saudi tidak mempunyai landasan hukum dalam masalah orientasi seksual atau identitas jenis kelamin, hubungan seksual di luar pernikahan, termasuk seks sesama jenis, dilarang keras.

Berdasarkan penafsiran syariah di negara itu, hukuman mati dimungkinkan dalam kasus hubungan sesama jenis.

Orang laki-laki yang "berperilaku seperti perempuan" atau mengenakan pakaian perempuan juga dilarang, dan demikian sebaliknya.

Undang-undang kejahatan siber melarang aktivitas online yang dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan moralitas.

Pada Juli 2020, pengadilan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada seorang blogger Yaman dan kemudian mendeportasikannya karena mengunggah video yang menyerukan persamaan hak, termasuk bagi kaum gay.

REKOMENDASI

TERKINI