Suara.com - Temuan kontaminasi paracetamol di Teluk Jakarta baru-baru ini menyoroti pencemaran limbah obat-obatan atau farmaseutikal di perairan Indonesia.
Temuan yang diungkap para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Universitas Brighton, Inggris, tersebut telah mendorong pemerintah untuk menanyai perusahaan-perusahaan farmasi di Jakarta tentang pengelolaan limbah serta membentuk tim untuk mengidentifikasi hal yang disebut sebagai emerging pollutant.
Meskipun tidak secara langsung mengancam manusia--karena kadarnya rendah--limbah farmaseutikal dapat berdampak pada ekosistem laut.
Tapi bagaimana obat-obatan yang kita minum berakhir di laut, dan apakah temuan ini berarti kita harus mengurangi konsumsi obat?
Baca Juga: Pemprov DKI Bungkam, Hasil Penelitian Kandungan Paracetamol di Laut Ancol Masih Misteri
Baca juga:
- Tercemar merkuri, kerang hijau dari Teluk Jakarta sebabkan kanker
- Limbah beracun rumah sakit dari Jakarta hingga Surabaya dibuang di tepi jalan Cirebon
- 'Tiga juta popok bayi setiap hari cemari Sungai Brantas di Jawa Timur
Paracetamol di Teluk Jakarta
Studi pendahuluan (preliminary study) yang diterbitkan di jurnal Marine Pollution Bulletin Juni lalu, menemukan kontaminasi paracetamol pada dua lokasi di Teluk Jakarta - Muara Angke dan Ancol.
Para peneliti menyebut kadar paracetamol yang ditemukan di Muara Angke, 610 ng/L, merupakan konsentrasi tertinggi yang pernah ditemukan dalam air laut.
Temuan paracetamol ini menambah daftar panjang polutan di Teluk Jakarta. Sebelumnya perairan ini juga dilaporkan telah terkontaminasi logam berat, yang terakumulasi dalam kerang hijau.
Salah satu peneliti dalam studi ini, Dr. Wulan Koagouw, menjelaskan bahwa kadar paracetamol yang ditemukan di Teluk Jakarta terlalu kecil untuk berdampak pada manusia. Namun, beberapa penelitian sebelumnya mengindikasikan potensi bahaya obat sakit kepala ini bagi biota laut.
Baca Juga: Pemprov DKI Rampungkan Penelitian soal Paracetamol di Laut Ancol, Hasilnya?
Penelitian yang dilakukan Wulan sendiri di laboratorium menemukan bahwa paparan paracetamol sekecil 40 ng/L dalam jangka panjang dapat berdampak pada sistem reproduksi kerang biru (Mytilus edulis).
"Memang pemaparan paracetamol pada kerang biru itu mengakibatkan terjadinya perubahan pada jaringan gonad atau reproduksi pada kerang biru, dan juga modulasi dari beberapa transkripsi gen yang terkait dalam proses reproduksi dan apoptosis," kata Wulan kepada BBC News Indonesia.
Bagaimana obat-obatan sampai ke laut?
Sumber kontaminasi paracetamol tidak termasuk cakupan studi Wulan dan kawan-kawan. Namun, mengingat lokasi penemuan paracetamol berada di mulut dua sungai besar - Angke dan Ciliwung - para peneliti menduga pencemaran paracetamol dapat berasal dari limbah rumah tangga dan limbah industri.
Ketika kita meminum paracetamol, para peneliti menjelaskan, obat itu akan melalui proses metabolisme dalam tubuh dan terpecah menjadi senyawa-senyawa glucuronat dan sulfat. Sekitar 5%-nya dikeluarkan secara utuh dalam feses.
Namun, ada kemungkinan sebagian kecil metabolit-metabolit tersebut bersatu kembali menjadi obat asalnya dan terlarut dalam air limbah yang kemudian dibuang ke perairan terbuka.
Meskipun belum bisa menentukan seberapa banyak paracetamol di Teluk Jakarta berasal dari limbah rumah tangga, temuan tersebut mengindikasikan adanya kekurangan dalam sistem pengolahan air limbah atau waste treatment plant saat ini.
"Saya bukan pakarnya di bidang ini ... Tetapi tentu saja, logikanya, kalau kita sudah punya teknologi dan sistem pengelolaan limbah yang lebih baik mudah-mudahan bisa mereduksi paracetamol dan kadar obat-obatan lainnya yang nanti akan dilepaskan ke laut," kata Wulan.
Menurut sebuah kajian pada tahun 2015, baru 2% rumah tangga di Jakarta yang terhubung dengan sistem pengolahan air limbah terpusat. Sekitar 16% populasi menggunakan pengolahan limbah individu, 71% mengolah air limbah mereka di septic tank sebelum menyalurkan air ke selokan. Adapun 11% penduduk urban, terutama di daerah kumuh, membuang air limbah langsung ke sungai.
Limbah obat-obatan
Limbah obat-obatan atau farmaseutikal tergolong dalam emerging pollutants, yaitu pencemar jenis baru atau belum diregulasi.
Paracetamol bukan satu-satunya limbah obat-obatan atau farmaseutikal yang ditemukan di perairan Jakarta.
Pada 2016, Dsikowitzky dan kawan-kawan menemukan konsentrasi kafein dan ibuprofen yang relatif tinggi dalam sampel air dari sungai-sungai di Jakarta.
Baca juga:
- Bertandang ke Curug Jompong yang beracun di Jawa Barat
- Video viral sampah laut: Tujuh hal yang harus Anda ketahui dan apa solusinya?
- Sungai Citarum yang tertutup lautan sampah
Dan tidak hanya di Jakarta, limbah farmaseutikal juga ditemukan di tempat lain di Indonesia. Sebuah studi pada tahun 2013, misalnya, menemukan 107 senyawa yang disebut sebagai emerging pollutants atau pencemar baru di Segara Anakan, pantai selatan Jawa.
Di antara 107 senyawa tersebut ada dexaamfetamin, yang berasal dari obat bagi pasien psikiatrik; azlocilin, antibiotik bagi hewan ternak; dan hidromorphin, yaitu obat pereda rasa sakit.
Pakar Kelautan dari Universitas Maritim Ali Haji, Profesor Agung Dhamar Syakti, mengatakan emerging pollutant dapat berdampak pada biota laut. Salah satu dampak yang telah dipelajari ialah "endocrine disruptor" yang mengakibatkan perubahan jenis kelamin pada ikan.
Bagaimanapun, senyawa-senyawa tersebut belum dianggap sebagai polusi menurut peraturan di Indonesia karena belum ditetapkan baku mutunya.
Prof. Agung mengatakan temuan-temuan ini seharusnya mendorong pemerintah untuk melakukan kajian dasar, dan kemudian meninjau kembali Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut.
"Pertama kita harus lakukan baseline study tadi di beberapa tempat, kemudian merevisi baku mutu, dan mendorong pemerintah maupun swasta membangun instalasi pengolahan air limbah, terutama di komunal," kata Prof. Agung.
"Karena memang limbah-limbah tadi, grey water ataupun black water enggak diolah. Sedangkan dengan teknologi treatment yang hari ini ada pun itu, hanya mampu mereduksi sekitar 20 sampai 90 persen kalau bagus," imbuhnya.
Perlu kajian lebih lanjut
Menyusul temuan paracetamol di Teluk Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan akan menanyai 27 perusahaan farmasi di Jakarta tentang pengelolaan limbah.
"Jadi rencananya memang akan kami panggil dan akan kami cek bagaimana melakukan pengelolaan limbahnya juga bagaimana pengelolaan dari obat-obatan bekasnya yang sudah kedaluwarsa dan sebagainya," kata Rosa Vivien, direktur jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya di KLHK dalam sebuah webinar awal bulan ini.
Rosa menambahkan bahwa KLHK juga akan membentuk satuan kerja untuk mengidentifikasi emerging pollutants sebelum memasukkannya ke dalam peraturan di Indonesia.
"Kalau kita lihat penelitian yang dilakukan Mbak Wulan, Prof. Zainal, ini kan baru penelitian pertama juga terkait paracetamol. Jadi perlu ada penelitian-penelitian lanjutan, yang nanti kalau sudah firm baru kita atur di dalam peraturan di Indonesia," ujarnya.
Plt. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, menjelaskan tantangan terbesar dalam menangani pencemaran di Teluk Jakarta ialah tempat itu merupakan muara dari 13 sungai yang ada di Pantai Utara.
Sumbernya memang sebagian besar dari Jakarta, tapi itu juga dipengaruhi oleh daerah Bogor, dari Bekasi, dan sebagainya.
"Repotnya, kalau [pencemar] sudah ada di alam, itu remediasinya memang mahal sekali. Paling efisien melakukan penanggulangan itu adalah di sumbernya," imbuhnya.
Haruskah kita mengurangi konsumsi obat?
Dr. Emma Rosi, pakar ekologi akuatik di Cary Institute of Ecosystem Studies, mengatakan keberadaan obat-obatan seperti paracetamol di perairan belum tentu secara langsung terkait dengan konsumsi manusia.
Dalam sebuah penelitian di kota Baltimore, Amerika Serikat, ia dan rekan-rekan penelitinya menemukan bahwa kontaminasi obat-obatan di perairan ternyata disebabkan oleh kebocoran pipa-pipa bawah tanah yang membawa air limbah ke instalasi pengolahan.
Jadi, menurutnya, temuan limbah farmaseutikal di lingkungan tidak berarti kita harus mengurangi konsumsi obat.
"Ini bukan tentang konsumsi obat-obatan, orang-orang akan terus menggunakannya, dan memang seharusnya seperti itu. Masyarakat berhak menggunakan obat untuk memperbaiki kesehatan. Kita hanya perlu mengolah limbah dengan lebih baik," pungkasnya.