Suara.com - Kondisi demokrasi di sepanjang dua tahun kepemimpinan Joko Widodo dan Maruf Amin, disebut organisasi HAM, mati secara perlahan.
Salah satunya dilihat dari negara yang dianggap semakin abai terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, menurut catatan Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.
Presiden Joko Widodo - yang tepat memasuki dua tahun menjabat presiden pada periode kedua pada Rabu (20/10) ini - dalam sejumlah kesempatan termasuk kampanye pemilu lalu, berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Korban pelanggaran HAM 1965 Bedjo Untung dan keluarga korban peristiwa Semanggi I tahun 1998, Sumarsih, sependapat dengan penilaian KontraS.
Baca Juga: Media Inggris Ungkap Fakta Baru Tragedi 1965, Amnesty: Buka Kembali Kasusnya
Anda juga tertarik:
- Pelanggaran HAM masa lalu: Keluarga tetap tuntut proses peradilan
- PP kompensasi korban pelanggaran HAM: "Kami mau pengakuan negara dan keadilan," kata korban tragedi 1965
- Kontras dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM tolak solusi nonyudisial
- Jokowi siapkan unit kerja penanganan kasus HAM sebagai 'penyelesaian secara kemanusiaan', namun dikritik justru 'melindungi pelaku pelanggaran HAM berat'
Mereka menyatakan kekecewaan dengan kepemimpinan Jokowi yang menyerah pada tekanan terduga pelanggar HAM berat dan tidak mampu menghadirkan pengadilan ad hoc.
Mereka menyebut, Jokowi justru menjamin dan melindungi para terduga pelaku dengan memberikan jabatan di pemerintahan.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai koalisi pemerintahan, menolak penilaian tersebut.
KontraS: 'Situasi lebih menyulitkan dan menyeramkan'
Komitmen Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu diungkap dalam sejumlah kesempatan.
Baca Juga: KontraS: Angkatan Darat Jadi Pelaku Dominan Kekerasan dan Pelanggaran HAM di TNI
Pertama, saat kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2014, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla ketika itu, berjanji menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan tercantum dalam agenda prioritas Nawa Cita.
Kemudian, dalam debat Pilpres 2019, Jokowi bersama Maruf Amin mengakui penyelesaian HAM berat masa lalu belum selesai, dan berkomitmen jika terpilih untuk menuntaskan persoalan tersebut.
Tidak hanya itu, saat hari HAM Sedunia Desember lalu, Jokowi kembali berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Kemudian, disambung dengan pidato Jokowi di Rapat Kerja Kejaksaan Agung 14 Desember 2020 lalu yang direspons dengan pembentukan Satuan Tugas Pelanggaran HAM Berat.
Namun, ucapan berbeda dengan tindakan, kata Ahmad Sajali dari KontraS.
Dia menyebut, kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu semakin "berkarat" dan mengalami kemunduran di era Jokowi - bahkan lebih "meyeramkan" dibandingkan periode sebelumnya.
Sajali mencontohkan, Jokowi mengangkat para terduga pelanggar HAM berat masa lalu menjadi pejabat di lingkarannya.
Seperti Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam penculikan aktivis tahun 1998 menjadi Menteri Pertahanan dan Wiranto yang diduga sebagai pelanggar HAM berat pernah menduduki kursi Menko Polhukam.
"Kemudian, dalam dua tahun terakhir ini, Jokowi memberikan gelar bintang jasa utama kepada Eurico Guterres yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Timor Leste. Lalu dua anggota Tim Mawar (penculik aktivis 1998) direkrut sebagai pejabat eselon di Kementerian Pertahanan," kata Sajali.
Sajali juga mengatakan kini tidak ada lagi agenda penuntasan pelanggaran HAM berat di Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021 - 2025 dan Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa tak kunjung diratifikasi.
"Jadi kami melihat sudah sangat kecil sekali ruang Presiden Jokowi mau menindaklanjuti penuntasan pelanggaran HAM berat ke depan," katanya.
Riset Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Litbang Kompas tahun 2019 pernah mengungkapkan, mayoritas masyarakat menilai pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin kesulitan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu karena ingin menjaga harmonisasi politik atau nuansa politis.
Berdasarkan hasil riset itu, 73,9% responden menganggap nuansa politis menjadi hambatan utama. Selain itu, 23,6% persen beranggapan presiden tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kasus HAM masa lalu, dan hanya 2,5% yang menjawab tidak tahu.
Suara korban dan keluarga korban: Semakin mengecewakan
Korban pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, Bedjo Untung mengatakan, tujuh tahun menjabat, Jokowi tidak berbuat apa-apa dalam penyelesai pelanggaran HAM masa lalu.
"Sama sekali (tidak membawa perubahan), maka menurut saya, Jokowi justru menyerah dari tekanan orang-orang terduga pelanggar HAM berat. Terus terang saya sangat kecewa terduga pelaku dapat jabatan. Saya memilih dia sebagai presiden tapi tidak berbuat apa-apa untuk kami para korban," kata Bedjo.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) itu bercerita, bahkan hingga kini ia dan para korban masih mendapatkan persekusi.
"Kami sampai sekarang masih diawasi dan dikontrol, padahal korban tidak melakukan kegiatan apapun kecuali pelayanan medis, psikososial, dan pemberdayaan ekonomi," katanya.
Bedjo menambahkan, hingga kini Jokowi sebagai kepala negara juga tidak pernah secara terbuka bertemu dan meminta maaf kepada para korban yang selalu hadir di depan Istana setiap Kamis (aksi Kamisan).
Ungkapan kekecewaan juga disampaikan oleh Sumarsih, ibu dari korban peristiwa penembakan Semanggi I tahun 1998.
"Janji tinggal janji, pemerintahan Jokowi terlihat semakin mengecewakan dan semakin melindungi para penjahat HAM masa lalu," katanya.
Hingga kini, kata Sumarsih, pengadilan ad hoc untuk mengadili para pelaku tak kunjung terlaksana.
"Harapan saya, Jokowi memenuhi janjinya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, menghapus impunitas. Caranya dengan melaksanakan pengadilan HAM. Itu saja yang kami minta," katanya.
Sumarsih mengatakan, upaya pemerintah mencari jalan di luar jalur hukum seperti yang dilakukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB), bukan sebuah jawaban dan penyelesaian.
'Kemuduran penyelesaian HAM masa lalu'
Sementara itu pengamat HAM, Imdadun Rahmat, mengatakan atensi Jokowi dalam isu HAM di periode kedua mengalami kemunduran jika dibandingkan dengan periode pertama.
Imdadun - yang menjabat Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2016-2017 - mengatakan dalam periode pertama, Jokowi cukup memberikan harapan terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat.
"Masih ada keinginan pemerintah mencari penyelesaian, meskipun tidak ideal, bukan melalui pengadilan HAM. Tapi paling tidak mencoba mencari cara, seperti membuat komite dan mencari jalan alternatif. Pembicaraan Menko Polhukam dengan Komnas HAM cukup intensif," katanya.
"Tapi periode kedua, saya lihat sama sekali tidak ada tindak lanjut, malah mengalami kemunduran dan hilang. Tapi jika dibandingkan dengan sebelumnya lagi, Presiden SBY tidak ada jejak yang bisa dicatat terkait terobosan masalah HAM," katanya.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012, Ridha Saleh mengatakan, tak kunjung selesainya kasus HAM masa lalu disebabkan karena pengaruh politik.
"Masalah ini dibawa ke ranah politik yang menyebabkan tidak dapat diselesaikan pemerintah sekarang dan sebelumnya karena diduga melibatkan petinggi negara," katanya.
"Sehingga muncul asumsi, jika diselesaikan bisa menganggu situasi politik nasional. Ini alasan sehingga pemerintah enggan menyelesaikan," kata Ridha.
Faktor kedua, tambah Ridha, karena belum ada titik temu dalam proses penyelesaian, apakah menggunakan pendekatan lunak dengan rekonsiliasi atau membawa ke pengadilan.
"Saya sulit membandingkan rezim dulu dan sekarang karena sama-sama tidak menunjukkan langkah nyata, jadi kesimpulannya sama saja," ujarnya.
PDIP: Itu terlalu naif
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai koalisi pemerintahan, menolak penilaian KontraS yang menyebut demokrasi mati secara perlahan di kepemimpinan Jokowi.
"Silakan saja KontraS melihat seperti itu. Tapi intinya indeks demokrasi Indonesia naik peringkat, itu fakta, kemudian tidak tepat dengan dasar itu mengatakan rezim sekarang represif dan otoriter, itu terlalu naif," kata Aria Bima, politikus dan anggota DPR dari PDIP.
Aria mencontohkan kebebasan berekspresi di media sosial yang cenderung mengungkapkan caci maki dan hujatan.
"Kalau di negara lain sudah diberangus, tapi di sini masih baik-baik saja, kecuali yang bermanufer dengan kegiatan politis, dan membahayakan demokrasi," kata Aria.
Terkait dengan dugaan pelanggaran HAM masa lalu, Aria mengatakan, ada cara lain yang ia sebut lebih Pancasilais dari sekedar pelaksanaan pengadilan HAM, yaitu dengan membangun konsensus ke depan dengan menyembuhkan luka batin masa lalu.
"Bahwa pengadilan HAM berjalan silakan, tapi yang penting adalah bagaimana menyembuhkan luka batin anak-anak DI/TII, keluarga PKI, keluarga pahlawan revolusi, keluarga PRRI. Inilah demokrasi Pancasila, jangan terlalu cara pandang human rights," kata Aria.
- Presiden Jokowi angkat dua eks-anggota Tim Mawar jadi pejabat tinggi, keluarga korban penculikan: 'Apa negara tak punya rasa kemanusiaan?'
- Kejaksaan Agung kembalikan berkas kasus pelanggaran HAM berat, bagaimana komitmen Presiden Jokowi?
- Nuansa politis menjadi hambatan terbesar Presiden Jokowi dalam menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu
Indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 mencapai titik terendah dalam 14 tahun terakhir dan cenderung menurun di era Jokowi.
Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EUI), skor indeks demokrasi Indonesia adalah 6,3 pada 2020 atau menduduki peringkat 64 dunia. Indeks demokrasi Indonesia mencapai puncak pada 2015 dengan skor 7,03.