Suara.com - Para mantan penerjemah Afghanistan yang bekerja untuk pasukan Inggris mengatakan kepada BBC bahwa mereka ketakutan setelah Inggris memblokir evakuasi mereka dengan alasan keamanan. Langkah itu mengejutkan karena mereka mengira bahwa evakuasi itu sudah pasti.
Berlindung di tempat persembunyian di pinggiran ibu kota Kabul, Abdul mengatakan ia sedang menghitung hari sebelum dia ditemukan dan dibunuh oleh Taliban.
Dia adalah satu dari 11 penerjemah Afghanistan yang telah diwawancarai BBC yang relokasinya ke Inggris telah dihentikan, meskipun awalnya diberitahu bahwa mereka memenuhi syarat untuk pindah.
Awalnya mereka menerima surat yang mengatakan bahwa mereka "memenuhi syarat relokasi" ke Inggris di bawah skema pemerintah untuk menyelamatkan mantan penerjemah yang pernah bekerja untuk pasukan Inggris.
Baca Juga: Kekayaan di Bumi Afghanistan, Mengapa Gagal Dimanfaatkan?
Tetapi relokasi itu harus melewati pemeriksaan imigrasi - dan pada tahap akhir, Kementerian Dalam Negeri Inggris memblokir mereka dengan alasan keamanan nasional.
Baca juga:
- 'Mengapa saya bantu Muslim?' - Kisah rabi Yahudi bantu evakuasi warga Afghanistan dari Taliban
- Amerika Serikat evakuasi para penerjemah Afghanistan yang nasibnya terancam
- 'Mereka akan membunuh saya', warga Afghanistan yang putus asa mencari jalan keluar setelah Taliban berkuasa
Mereka diberitahu bahwa kehadiran mereka di Inggris tidak akan "kondusif untuk kepentingan umum".
Orang-orang itu, yang namanya telah diubah demi keselamatan untuk menghindari incaran Taliban, belum menerima penjelasan mengapa mereka dianggap sebagai ancaman.
Mereka mengatakan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Baca Juga: Ya Ampun! Bom Meledak di Masjid Afghanistan Saat Jamaah Salat Jumat, Koban Bergelimpangan
Para pendukung mereka di Inggris mengkritik kurangnya transparansi seputar keputusan ini dan menyerukan agar dilakukan peninjauan ulang.
'Kami kehilangan arah'
Ketika pejabat Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan kepadanya pada bulan Juli bahwa dia memenuhi syarat untuk pindah, Abdul merasa lega.
Setelah sempat bekerja dengan pasukan Inggris di Helmand, dia khawatir akan menjadi target pembalasan ketika Taliban mulai mengambil alih Afghanistan.
Dia mengatakan dia diberitahu untuk mempersiapkan penerbangan ke luar Afghanistan dalam waktu dua minggu.
Dia pun menjual sebagian besar hartanya dan bersiap untuk berhenti dari pekerjaannya.
Namun pada 11 Agustus, ketika Taliban mendekati ibu kota, dia menerima surat yang mengatakan bahwa permohonan visanya telah ditolak dengan alasan "keamanan nasional" dan tidak bisa diganggu gugat.
Abdul, seorang pegawai PBB yang setelah membantu tentara Inggris juga bekerja untuk kedutaan Inggris dan pemerintah Afghanistan, terkejut dengan keputusan tersebut.
"Saya pernah bekerja dengan kedutaan Inggris. Dan PBB tidak menoleransi pelanggaran apapun," katanya.
Seorang juru bicara PBB mengkonfirmasi kepada BBC bahwa dia telah lulus pemeriksaan keamanan untuk pekerjaannya di sana baru-baru ini pada 2019.
"Saya tidak pernah terlibat dalam tindakan kriminal," kata Abdul. "Tapi saya telah bekerja bahu-membahu dengan tentara Inggris."
Saat bertugas dengan pasukan Inggris di Provinsi Helmand, seorang komandan memuji "kesetiaan, kepercayaan, dan profesionalisme penuh" Abdul lewat sebuah sertifikat dinas.
Dia sekarang takut Taliban akan menemukan dan membunuhnya, istrinya, dan anak-anaknya yang masih kecil.
"Saya tidak khawatir tentang diri saya sendiri, saya khawatir tentang anak-anak saya. Saya khawatir apakah mereka akan kembali setiap hari dari sekolah," katanya.
Setelah mendengar desas-desus bahwa pejuang Taliban melakukan pencarian dari pintu ke pintu, Abdul melarikan diri dari Kabul pada akhir Agustus bersama keluarganya. "Saya mencoba melakukan apa saja untuk keluar dari situasi ini. Tapi kami tidak tahu harus pergi ke mana," katanya.
'Apa dosa saya?'
Penerjemah lain yang ditolak relokasinya, Sayed, telah membangun tempat persembunyian darurat di semak-semak di belakang rumahnya.
Dia menitipkan pesan kepada kerabatnya untuk memberi tahu siapa pun yang datang ke rumahnya bahwa dia sedang pergi.
Sekali seminggu, setelah malam tiba, dia naik taksi ke pusat kota untuk membeli makanan untuk keluarganya.
Kepada BBC dia menunjukkan ancaman pembunuhan dari Taliban yang dia sebut diterima satu dekade lalu.
Di dalamnya, para militan memperingatkan dia akan dikirim "ke kerak neraka" karena "bekerja untuk orang-orang kafir".
Setelah melayani pasukan Inggris, ia bekerja untuk sebuah perusahaan yang dikontrak oleh PBB, kemudian sebuah perusahaan logistik.
Dia mendaftar Kebijakan Relokasi dan Bantuan Afghanistan (ARAP) Inggris - skema yang memungkinkan warga Afghanistan yang bekerja untuk militer Inggris dan pemerintah Inggris dapat pindah ke Inggris secara permanen.
Pada April, dia diberitahu bahwa dia memenuhi syarat untuk pindah.
Tetapi pada Agustus, beberapa hari sebelum Kabul jatuh ke tangan Taliban, Kementerian Dalam Negeri Inggris mengatakan kepadanya bahwa dia akan menimbulkan ancaman keamanan karena "perilaku, karakter, dan asosiasinya".
Sayed terkejut. "Apa dosa saya?" tanya dia. "Apa karena saya pernah bekerja bahu-membahu dengan pasukan Inggris? Saya tidak melakukan tindak kejahatan, saya bukan penjahat, saya tidak melakukan kesalahan apa pun."
Dia semakin bingung karena dua minggu setelahnya dia menerima email Kementerian Pertahanan Inggris yang menyuruhnya pergi ke bandara Kabul untuk dievakuasi.
Tapi dia tidak bisa melewati situasi kacau di luar bandara.
Meskipun evakuasi lewat pesawar militer negara-negara Barat telah usai, dia masih berupaya melarikan diri dari Afghanistan.
"Kami masih mengharapkan nasib kami, nasib anak-anak kami," katanya. "Tapi saya masih sangat ketakutan karena Taliban akan menemukan saya."
'Kami tidak percaya pada prosesnya'
Dua kisah di atas, bersama sembilan kisah serupa yang didokumentasikan oleh BBC, telah mendorong seruan agar kasus-kasus ini ditinjau ulang.
"Ini sangat, sangat mengganggu kami," ujar Kolonel Simon Diggins, mantan atase pertahanan Inggris di Kabul, dan sekarang menjadi juru kampanye untuk para mantan staf Afghanistan.
"Kami tidak percaya pada prosesnya. Buktinya tidak diperlihatkan. Tidak ada kesempatan untuk menantang bukti dan tidak ada kesempatan banding," katanya.
Kementerian Dalam Negeri Inggris tidak bersedia mengomentari kasus individu.
Tetapi seorang juru bicara pemerintah mengatakan kepada BBC: "Ada orang-orang di Afghanistan yang merupakan ancaman serius bagi keamanan nasional dan publik kita.
"Itulah sebabnya pemeriksaan menyeluruh dilakukan oleh pemerintah, badan intelijen kelas dunia kami, dan lainnya, Jika seseorang dinilai menimbulkan risiko bagi negara kami, kami akan mengambil langkah."
Inggris, dan negara-negara Barat lain yang menerima warga Afghanistan, telah mewaspadai kemungkinan penyalahgunaan skema evakuasi ini.
Pada Agustus, seseorang dalam daftar larangan terbang di Inggris bisa terbang ke Birmingham lewat proses evakuasi awal, meskipun orang itu tidak dianggap terlibat dalam penyalahgunaan ini.
Sementara pada paruh pertama September, pemerintah AS menandai 44 warga Afghanistan yang telah dievakuasi sebagai ancaman keamanan, menurut Washington Post.
Lima belas dari mereka kini telah dikembalikan ke lokas-lokasi di Eropa dan Timur Tengah.
Anggota Parlemen Inggris dari Partai Konservatif Tom Tugendhat - ketua Komite Urusan Luar Negeri - telah meminta kejelasan tentang bagaimana keputusan-keputusan itu dibuat.
"Setiap harinya, bagi orang-orang yang telah kami janjikan bantuan, bahaya semakin meningkat," katanya.
"Pasti ada alasan sah kenapa beberapa orang ditolak, tetapi transparansi dalam proses pengambilan keputusan menjadi penting untuk menghindari terabaikannya kasus-kasus mendesak."
Baca juga:
- Cerita perempuan yang dievakuasi dari Kabul: Ketakutan, kekacauan, dan Taliban
- Cerita aktivis yang berupaya keluarkan banyak perempuan dari Afghanistan
- 'Saya akan dibunuh jika Taliban menemukan saya'
Anggota Parlemen dari Partai Buruh Diane Abbott, yang menjabat di Komite Urusan Dalam Negeri, mengatakan para penerjemah harus bisa mengajukan banding.
"Menerima pengungsi dan kemudian menolaknya sangat aneh. Mungkin ada alasan untuk ini, tetapi setidaknya Kementerian Dalam Negeri memiliki kewajiban untuk memberikan transparansi dan mengizinkan banding.
"Rakyat Afghanistan telah diperlakukan sangat buruk oleh pemerintah baik yang sekarang dan sebelumnya. Pemerintah tidak boleh memperparahnya dengan memperlakukan pengungsi dengan buruk."
'Saya tidak bisa tidur'
Dua penerjemah yang dianggap memenuhi syarat tetapi kemudian ditolak oleh Kementerian Dalam Negeri Inggris berhasil keluar dari Afghanistan dengan penerbangan militer Denmark.
Salah satunya, Ali, yang bekerja dengan pasukan Denmark dan Inggris, kini bersama keluarganya di sebuah kota di Denmark timur.
Setelah diberi tahu bahwa dia memenuhi syarat untuk dipindahkan ke Inggris, dia menjual rumahnya di Provinsi Helmand.
Selama beberapa pekan, dia memeriksa emailnya setiap pagi, mengharapkan kabar tentang penerbangan keluar dari Kabul.
"Ketika saya melihat notifikasi di ponsel saya, saya sangat bersemangat," kenangnya. "Tapi ketika saya membuka pesan itu, saya benar-benar terkejut."
"Saya tidak bisa tidur selama empat atau lima hari - bertanya pada diri sendiri mengapa mereka membuat keputusan ini," katanya.
Ali - yang kemudian bekerja untuk misi polisi Uni Eropa ke Afghanistan - mengatakan dia tidak tahu mengapa Inggris menganggapnya sebagai ancaman keamanan, tetapi mengapa Denmark mengizinkannya memasuki negara itu.
'Mereka akan menggantungku'
Banyak lainnya yang tidak begitu beruntung.
Setelah pada Juni dia diberitahu bahwa dia memenuhi syarat untuk pindah dalam beberapa pekan, Ahmad mengambil pinjaman 7.000 dollar AS (Rp98 juta) supaya bisa berangkat ke Kabul dan terbang ke Inggris untuk memulai hidup baru.
Tetapi pada 16 Agustus - hanya sehari setelah ibu kota jatuh ke tangan Taliban - dia diberitahu bahwa dia telah ditolak masuk ke Inggris.
Membaca surat Kementerian Dalam Negeri Inggris, katanya, adalah "momen terburuk dalam hidup saya".
"Saya bertanya 'kenapa, 'kenapa', 'kenapa'?" katanya. Dia bertanya-tanya apakah dia bisa dianggap sebagai ekstremis karena ayat Al-Quran yang dia bagikan di Facebook, atau karena dia berasal dari suku Pashtun yang secara tradisional memiliki hubungan dengan Taliban.
Ahmad memutuskan untuk melarikan diri ke Pakistan, melewati jalan gurun untuk menghindari pos pemeriksaan Taliban.
Ketika dia berhasil sampai di pos perbatasan, dia berhasil meyakinkan seorang penjaga Pakistan untuk membiarkannya lewat, mengklaim bahwa dia membutuhkan perawatan medis.
Dia berhasil mencapai kota perbatasan Pakistan, tetapi dia terlalu takut untuk pergi ke luar.
Dia mengatakan Taliban telah mengancam keluarganya, dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Ketika saya menyerahkan diri, mereka akan menyiksa saya, memukuli saya," katanya. "Kemudian mereka akan menggantung atau menembak saya."