Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako Unand) Feri Amsari menilai ada kejanggalan terkait keinginan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang ingin melakukan perubahan atau amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Kejanggalan itu disampaikan Feri, setelah melihat tujuan MPR melakukan amandemen hanya untuk menghadirkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).
Lebih lanjut, dia meragukan, jika kepentingan amandemen hanya untuk PPHN. Begitu juga dengan isu-isu berkembang terkait penambahan masa jabatan presiden.
"Kalau kepentingannya hanya bicara PPHN tidak mungkin. Kepentingan hanya bicara perubahan pemilihan presiden juga tidak mungkin menurut saya. Hanya soal masa jabatan juga tidak mungkin," kata Feri dalam webinar dan rilis survei SMRC, Jumat (15/10/2021).
Baca Juga: Kontra Wacana Amandemen UUD 1945, Aktivis 98 Desak Jokowi Tolak Jabatan Tiga Periode
"Kenapa? Karena kita punya tradisi mengganti keseleuruhan atau mengubah keseluruhan," sambung Feri.
Misalnya, disebutkan Feri perubahan secara menyeluruh terjadi mulai amandemen pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
"Dari UUD 1945 naskah awal berubah diganti dengan konstitusi RIS, lalu diganti dengan UUD sementara 1950, lalu kemudian kita kembali ke naskah awal. Lalu perubahan 1, 2, 3, 4 yang kita namakan amandemen itu dengan konsep adendum yang kalau diteliti tidak adendum seperti Amerika tapi meng-adendum banyak hal dalam satu naskah," tutur Feri.
Berkaca dari sejarah tersebut, Feri menegaskan, dalam setiap amandemen pasti dilakukan perubahan secara menyeluruh.
Tidak hanya pada satu tujuan, seperti MPR saat ini yang ingin amandemen hanya untuk menghadirkan PPHN.
Baca Juga: Wacana Amandemen UUD 1945, Pakar UGM: Negara Tidak Akan Pernah Stabil
"Jadi tidak pernah satu topik. Maka kalau ada yang mengatakan perbuhan Undang-Undang Dasar hanya karena satu topik PPHN bagi saya janggal sekali," kata Feri.
Rencana MPR Hadirkan PPHN
Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan rencana menghadirkan PPHN tidak akan mengubah sistem presidensial.
Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo, itu berujar bahwa PPHN tetap akan disesuaikan dengan ciri khas sistem presidensial pada umumnya, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
"Serta presiden dan wakil presiden memiliki masa jabatan yang tetap, yaitu dua periode dan tidak dapat dijatuhkan hanya karena alasan politik," kata Bamsoet dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (11/10/2021).
Bamsoet menyadari dalam perjalannnya melaksanakan rekomendasi MPR dua periode sebelumnya tentang PPHN itu banyak menuai pro dan kontra.
Ia memahami bahwa pro dan kontra timbul karena banyak kecurigaan dan pendekatan politik praktis.
Di mana, lanjut Bamsoet, ada dugaan bahwa MPR memiliki agenda terselubung dalam merencanakan kehadiran PPHN melalui amandemen terbatas UUD 1945.
"Kami yang sedang melaksanakan tugas rekomendasi MPR sebelumnya dituding memiliki agenda-agenda terselubung, semisal memperpanjang masa jabatan atau menambah tiga periode yang sama sekali kami belum pernah membahas. Dan kami tidak ada penumpang gelap dalam hal pengadaan kembali PPHN ini," tuturnya.