Marak Korban Kekerasan Seksual Dikriminalisasi, LPSK Sebut Banyak Polisi Tak Tahu UU Ini

Jum'at, 15 Oktober 2021 | 15:32 WIB
Marak Korban Kekerasan Seksual Dikriminalisasi, LPSK Sebut Banyak Polisi Tak Tahu UU Ini
Marak Korban Kekerasan Seksual Dikriminalisasi, LPSK Sebut Banyak Polisi Tak Tahu UU Ini. Ilustrasi Pemerkosaan. (Project M)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengaku banyak mendapati laporan soal korban dan saksi kasus pelecehan seksual yang dikriminalisasi setelah membeberkan kasusnya kepada aparat kepolisian. Upaya kriminalisasi itu terkait adanya pelaporan balik pihak terlapor terhadap para korban maupun saksi dalam kasus tersebut. 

"Memang dari banyak kasus ditemui LPSK, sering terjadi laporan balik. Itu yang sering lebih dikenal sebagai kriminalisasi," kata Ketua LPSK, Hasto Atmojo saat dihubungi Suara.com, Jumat (15/9/2021).

Terbaru hal itu menimpa ibu korban kasus dugaan kekerasaan seksual anak di Luwu Timur. S terduga pelaku berencana melaporkan balik ibu korban yang merupakan mantan istirnya, atas dugaan pencemaran nama baik. 

Kemudian, MS pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), terduga korban pelecehan seksual dan perundungan juga dilaporkan bali ke kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik.

Baca Juga: Ibu Korban Dugaan Kekerasan Seksual di Luwu Timur Dilaporkan Balik Oleh Mantan Suaminya

Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo (Bidik layar)
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo (Bidik layar)

Dalam kondisi tersebut aparat penegak hukum harus bekerja berdasarkan kasus yang pertama. 

"Jadi kalau ada laporan balik, itu harus dinomorduakan. Menunggu perkara yang pertama itu diproses lebih dulu," kata Hasto. 

Hal itu merujuk pada Undang Undang Nomor 31 tahun 2014 Tentang Perubahan  atas UU Nomor 13 tahun 2016 Perlindungan Saksi dan Korban. Di Pasal 10 ayat  1 dan 2 disebutkan: “(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik."

"(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap."

Namun pada kebanyakan kasus, kata Hasto, aparat penegak hukum lupa dengan keberadaan undang-undang itu, sehingga  menjadi bomerang terhadap para korban atau saksi. 

Baca Juga: Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Lutim MauPolisikan Ibu Korban, LPSK: Bentuk Pembungkaman

"Nah sering sekali aparat penegak hukum tidak tahu ada pasal di Undang Undang perlindungan saksi dan korban, ada  yang mengatur seperti itu," ujarnya. 

Karenanya LPSK meminta aparat penegak hukum, khususnya kepolisian tidak hanya berpedoman pada satu undang-undang. 

"Itu makanya penegak hukum jangan hanya berpedoman pada Undang Undang Kepolisian atau KUHP saja, karena sekarang ini ada undang-undang perlindungan saksi dan korban," kata Hasto mengingatkan. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI