Suara.com - Aliansi politik yang mewakili milisi Syiah pro Iran mengalami kekalahan besar dalam pemilu Irak. Menurut perhitungan sementara, fraksi terkuat adalah kubu Syiah Irak pimpinan Muqtada al-Sadr.
Blok Syiah Irak pimpinan Muqtada Al-Sadr muncul sebagai fraksi terkuat di parlemen. Demikian menurut hasil perhitungan sementara pemilu di Irak.
Kubu Al Sadr memimpin di beberapa dari 18 provinsi Irak, termasuk di ibukota Baghdad. Kubu Syiah Irak diperkirakan memenangkan 60 sampai 70 kursi di parlemen Irak.
Namun tidak ada kubu politik yang berhasil merebut suara mayoritas di parlemen, yang seluruhnya beranggotakan 329 wakil rakyat.
Baca Juga: Irak Klaim Tangkap Bendahara ISIS, Amerika Tawarkan Hadiah Rp71 Milyar
Dengan sekitar 94% suara sudah dihitung, terlihat tidak ada blok politik yang berhasil memenangkan lebih 50 persen suara dan dengan demikian bisa menunjuk perdana menteri.
Tetapi blok al-Sadr akan mengambil peran utama dalam pembentukan pemerintahan. Sedangkan kubu pro Iran, Aliansi Fatah yang sebagian besar terdiri dari milisi Syiah pro-Iran di bawah pimpinan Hadi al-Ameri, hanya berhasil memenangkan sekitar 14 kursi, mengalami kemerosotan besar dari 47 kursi yang mereka dapatkan pada pemilu 2018.
Tingkat partisipasi terendah
Tingkat partisipasi dalam pemilihan parlemen yang berlangsung hari Minggu (10/10) hanya mencapai 41%, ini merupakan rekor terendah di era pasca-Saddam Hussein.
Hal itu menegaskan kembali luasnya ketidak puasan di kalangan pemilih terhadap para pemimpin dan politisi.
Baca Juga: Partai Ulama Syiah Al-Sadr Raih Suara Terbanyak di Parlemen Irak
Tingkat partisipasi pada pemilu 2018 adalah 44%, ketika itu juga sudah mencatat rekor terendah.
Sekalipun begitu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengucapkan selamat kepada rakyat Irak "atas cara pemilihan berlangsung.''
Dia meminta warga Irak tenang menunggu pengumuman hasil pemilu, dan berharap agar perundingan pembentukan pemerintahan yang baru bisa berlangsung dalam "lingkungan yang damai, aman dan tenteram.''
Pemilihan paremen kali ini adalah pemilu yang dipercepat beberapa bulan dari jadwal sebenarnya. Ini sebagai konsesi kepada gerakan unjuk rasa yang dipimpin orang-orang muda untuk memrotes korupsi dan salah urus.
Para pengunjuk rasa pada akhir 2019 memadati jalan-jalan di Baghdad dan provinsi-provinsi selatan Irak dan menyerukan reformasi besar-besaran serta pemilihan umum baru.
Protes anti Iran meningkat
Meskipun pemerintah Irak kemudian menyetujui pemilu yang dipercepat, namun karena banyaknya korban tewas dan tindakan keras aparat terhadap gerakan protes, banyak aktivis yang kemudian menyerukan aksi boikot pemilu.
Banyak aktivis muda yang ambil bagian dalam protes 2019 juga menentang makin kuatnya pengaruh Iran dalam politik Irak, termasuk milisi bersenjata pro Iran yang menyaingi otoritas negara.
Banyak pemrotes menyalahkan milisi pro Iran, karena ikut mengambil bagian bersama pasukan keamanan dalam menekan aksi protes secara brutal.
Diperkirakan ini salah satu alasan, mengapa aliansi Fatah kehilangan banyak suara dalam pemilu. Di bawah undang-undang Irak, partai yang memenangkan suara mayoritas dapat memilih perdana menteri, namun belum jelas koalisi mana yang bisa mengamankan suara mayoritas.
Banyak pengamat menilai, perlu negosiasi panjang untuk mencapai konsensus dan membentuk koalisi pemerintahan. Parlemen baru juga akan memilih presiden baru Irak.