Drakor DP di Netflix Ungkap Kelamnya Wajib Militer Korea Selatan

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Selasa, 12 Oktober 2021 | 18:24 WIB
Drakor DP di Netflix Ungkap Kelamnya Wajib Militer Korea Selatan
Wajib militer di Korsel. (BBC Indonesia)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seorang prajurit wamil ditampar, kemudian rekannya dihajar sampai babak belur oleh seorang anggota militer berpangkat lebih tinggi karena iseng saja.

Itu adalah sekelumit adegan drama Korea Selatan alias drakor berjudul DP yang kini ditayangkan Netflix. Sejak muncul pertama kali, serial tersebut menimbulkan perdebatan karena mengungkap sisi kelam wajib militer Korea Selatan.

Di media sosial, sejumlah warganet berpendapat serial tersebut berlebihan, mengingat kehidupan militer di Korsel dianggap menjadi lebih mudah dalam satu dekade terakhir.

Namun kenyataannya, kejadian bunuh diri serta pengakuan mengenai adanya penyiksaan di dalam tubuh militer, berulang kali menjadi tajuk pemberitaan media Korsel.

Baca Juga: Amanda Rawles Bangga Film A World Without Tayang di 190 Negara

Awal pekan ini, misalnya, sebanyak 15 orang didakwa menyangkut kematian seorang personel perempuan angkatan udara yang bunuh diri, setelah diduga mengalami pelecehan seksual.

Bagi mereka yang pernah dirundung saat menjalani wajib militer, serial DP terasa begitu personal.

"Drama ini membuat saya mengalami PTSD [gangguan stres pascatrauma]," sebut seorang warganet di YouTube.

"Semua mimpi buruk saya muncul lagi dan saya harus berhenti menonton serial itu," tulis warganet lainnya.

Kim Bo-tong, selaku penulis skenario sekaligus pencipta serial ini, menulis di Instagram: "DP diciptakan untuk mengakhiri ilusi bahwa seolah-olah keadaan saat ini sudah membaik."

Baca Juga: Film A World Without, Kisah 3 Perempuan di Masa 2030

Budaya perundungan

Di Korsel, yang secara teknis masih berperang dengan Korea Utara, semua warga negara diharuskan menjalani wajib militer selama 18 bulan—walau ada sejumlah orang yang diberikan pengecualian.

Wamil, bagi sebagian warga Korsel, dianggap 18 bulan yang sia-sia. Sebagian lainnya bahkan kabur dari kewajiban ini.

Judul serial ini sejatinya merupakan singkatan dari "deserter pursuit", sebuah tim yang bertugas melacak dan menangkap para desertir.

Kim Bo-Tong, yang mengadaptasi serial ini dari komik digital berjudul sama, menjadikan pengalaman pribadinya sebagai mantan personel tim DP ke dalam beberapa kisah pada serial tersebut.

Walau para desertir dalam serial ini punya beragam alasan untuk kabur dari kamp militer, ada kesamaan yang berulang kali muncul: kekerasan.

"Ketika saya menyaksikan tokoh penjahat memukul leher si serdadu, saya harus menekan tombol pause karena itulah yang persis saya alami," kata aktor dan model Kang Un, yang menjalani wamil dari 2012 hingga 2014, kepada BBC Korean.

"Saya juga sering dipukuli senior-senior saya. Tatkala seseorang memukul leher seperti itu sebanyak 20 kali, kamu akan menangis."

Bukan kebetulan drakor tersebut seolah-olah berlangsung pada 2014. Sebab sejumlah kasus penyiksaan militer pada tahun itu mengejutkan warga Korsel dan menimbulkan kemarahan publik.

Pada April 2014, prajurit Yoon Seung-joo meninggal dalam usia 23 tahun setelah dipukuli senior-seniornya. Kejadian itu baru terungkap beberapa bulan kemudian setelah mendapat sorotan sebuah kelompok pembela HAM.

Sebelum meninggal, Yoon dilaporkan mengalami beragam perlakuan keji, termasuk dilarang makan dan tidur.

Pada tahun itu pula, seorang sersan bernama Im melakukan aksi penembakan yang menewaskan lima serdadu. Im diduga membalas dendam karena dirundung.

Ada pula kejadian dua serdadu tewas kehabisan napas dalam latihan. Kepala mereka ditutupi kain dan kedua tangan mereka terikat di balik punggung.

Gelombang kemarahan publik atas rangkaian kejadian itu, memicu presiden saat itu, Park Geun-hye, untuk menempuh langkah-langkah meredam kekerasan di tubuh militer.

Kementerian Pertahanan Nasional menerapkan beberapa perubahan, termasuk membangun jalur komunikasi yang lebih baik antara prajurit wamil dan keluarga mereka. Prajurit wamil juga diizinkan menerima kunjungan pada hari kerja. Sebelumnya mereka hanya boleh menerima kunjungan pada akhir pekan atau hari libur.

Ponsel mengubah keadaan

Beberapa perubahan terkini, khususnya penggunaan ponsel pintar, menurut sejumlah orang membuat kehidupan militer menjadi jauh lebih baik.

Pada Juli 2020, setelah diuji dalam persidangan yang memakan waktu setahun, ponsel boleh digunakan para serdadu di kamp militer. Meski begitu, ada beberapa pembatasan: mereka hanya boleh menggunakan ponsel dalam waktu tertentu dan ponsel tidak diperbolehkan di area keamanan tinggi.

Bagaimanapun, para pengamat memandang langkah ini secara keseluruhan membantu meringankan perasaan keterisolasian para serdadu di barak-barak militer.

Yang lebih penting, ponsel berpotensi membuat para serdadu mengungkap ketidakadilan dalam kamp-kamp militer.

"Para serdadu kini bisa merasa lebih aman karena mereka selalu dapat memilih untuk menelpon bantuan dari luar," kata Cho Kyu-suk, koordinator Pusat HAM Militer, sebuah kelompok yang mengadvokasi hak-hak serdadu.

Ponsel juga memberikan "kekuatan pengetahuan" kepada para prajurit wamil, tambah Cho. "Mereka dapat menemukan informasi tentang hak-hak mereka dan membandingkan situasi yang mereka alami dengan serdadu lainnya melalui media sosial secara instan."

Awal tahun ini, sebuah foto makanan serdadu menjadi viral dan memicu perdebatan mengenai perlakuan terhadap para anggota militer. Diunggah ke Facebook oleh seorang serdadu muda, foto itu memperlihatkan baki makanan berisi nasi, sayuran layu, dan acar.

Foto itu seharusnya tidak bocor karena para prajurit dilarang mengambil foto atau video. Namun, foto sudah telanjur beredar dan militer Korsel kembali dicaci.

Insiden semacam itu mungkin diabaikan di masa lalu, namun kini hal tersebut memancing kemarahan publik hingga militer berikrar menaikkan anggaran makanan harian untuk prajurit wamil sampai hampir 20%.

"Militer tidak lagi bisa menghindari tanggung jawab di balik tameng 'keamanan nasional'," kata Cho.

Insiden kekerasan yang dilaporkan menurun selama beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan data Kementerian Pertahanan, 42 prajurit tewas bunuh diri pada 2020, menurun dari 62 orang pada tahun sebelumnya, dan jauh merosot dari ratusan orang yang tercatat pada era 1980-an.

Tapi bukan berarti militer bisa berpuas diri, kata Cho.

Dia menyoroti diskriminasi militer terhadap anggota komunitas LGBT. Bahkan, militer mengkriminalisasi hubungan seksual kaum gay walau hal itu diperbolehkan dalam kehidupan sipil.

https://www.youtube.com/watch?v=cTySQq7olnU

Bulan Maret lalu, serdadu transgender pertama di Korsel yang dipaksa keluar dari dinas militer setelah operasi ganti kelamin, ditemukan meninggal dunia.

Pengadilan Korsel, pada Kamis (07/10) lalu, memutuskan militer melakukan diskriminasi yang melanggar hukum terhadap Byun Hee-soo dan tindakan pemecatannya harus dianulir.

Dihadapkan pada insiden-insiden nyata ini, Han Jun-hee selaku sutradara DP meyakini serial yang digarapnya punya peran lebih besar ketimbang hanya menyediakan hiburan.

"Saya mengetahui ada beberapa perbaikan di tubuh militer, namun saya pikir serial ini akan memainkan peran dalam meningkatkan kewaspadaan kita terhadap kekerasan militer dan mengingatnya," kata Han dalam wawancara baru-baru ini.

Di Instagram, Kim Bo-tong selaku pencipta serial DP, mengunggah ulang sebuah pesan yang dia terima dari seorang perempuan yang mengaku suaminya tewas pada 2012 akibat kekerasan militer.

"Saya ingin bilang terima kasih," sebut pesan itu. "Saya merasa seolah kami belum dilupakan, dan saya harap makin banyak orang yang menonton acara ini dan menjadi sadar [pada budaya militer]."

Reportase tambahan oleh BBC Korean.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI