Suara.com - Selain menghadirkan Rev. Sung Seok Kang, selaku perwakilan dari Korea Medical Cannabist Organization, pihak pemohon dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menghadirkan saksi ahli dari Thailand. Sosok tersebut adalah dokter Pakakrong Kwankhao.
Dalam sidang yang disiarkan secara daring oleh akun Youtube Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (12/10/2021), Pakakrong dalam memberikan keterangan turut dibantu oleh seorang penerjemah. Pakakrong menjelaskan soal situasi penggunaan ganja untuk keperluan medis di Negeri Gajah Putih.
Penggunaan ganja untuk keperluan medis dan penelitian sudah dilakukan sejak Februari 2019 lalu. Pakakrong melanjutkan, setahun berselang, pihaknya mengeluarkan tangkai dan akar dari tanaman ganja keluar dari daftar atau kategori narkotika.
Hanya saja dalam upaya tersebut, Pakakrong dan rekan-rekan perlu mendapat persetujuan dengan tujuan medis.
Baca Juga: BNNK Badung : 70 Persen Penghuni Lapas Kerobokan Terlilit Narkotika
Serupa dengan Korea, di Thailand ganja bisa dilegalisasi untuk keperluan medis karena terjadi peningkatan penelitian ganja untuk pengobatan penyakit kanker.
"Kenapa Thailand melegalisasi canabis? Mungkin alasannya sama seperti di Korea, yakni terjadinya peningkatan penelitian dan pengalaman penggunaan dalam perawatan terutama untuk kasus perawatan standar seperti kanker," kata Pakakrong.
Tidak hanya itu, ganja menjadi legal di Thailand lantaran adanya sebuah gerakan legalisasi secara global. Sebab, sebelum itu, permintaan ganja yang tinggi membikin warga Thailand kerap menuju pasar gelap yang produk ganjanya tidak memenuhi kualifikasi.
"Kita tahu kode produk di pasar gelap tidak memiliki kualifikasi dan itu tidak baik bagi populasi kami dan canabis sebetulnya adalah bagian dari pengetahuan tradisional," tegas Pakakrong.
Ihwal Obat Tradisional
Baca Juga: Catatan KontraS Setahun, 35 Orang Divonis Hukuman Mati, Terbanyak karena Kasus Narkoba
Pakakrong mengatakan, obat-obatan tradisional biasa digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup. Misalnya, kualitas tidur, mencegah rasa nyeri dan sakit. Hal itu terbukti dari rumah sakit tempat Pakakrong bekerja.
Di setiap rumah sakit Thailand yang bernaung di bawah Kementerian Kesehatan Publik, lanjut Pakakrong, membuka layanan ganja medis bagi setiap pasien. Tentunya, hal itu harus dalam pengawasan dokter medis.
"Kami harus diwajibkan melaporkan efektivitas dan keamanan produk kepada BPOM Thailand dan anda lihat di sini (menunjuk slide) , garis merah, untuk pasien dengan kondisi neuropati dan garis biru untuk pasien kanker," beber dia.
Dalam slide tersebut, terlihat terjadi peningkatan yang signifikan dalam kualitas hidup pasien neuropati dan kanker. Pakakrong melanjutkan, pihaknya juga menemukan peningkatan terkait kondisi nyeri neuropatis khususnya untuk pasien kanker tahap lanjut -- yang salah satunya meningkatkan nafsu makan.
Tidak hanya itu, keamanan dan efek samping dari penggunaan ganja medis juga terus dipantau, disejajarkan dengan pengetahuan kesehatan modern. Apabila dosis pemakaian ditingkatkan, efek yang terjadi bisa dipantau dari sisi keamanan produk.
"Kami temukan bahwa biasanya pasien mengembangkan toleransi pada efek samping setelah beberapa bulan di badannya dan kami juga memiliki obat-obatan yang mengandung canabis di dalam obat-obatan tradisional Thailand," kata dia.
Legalisaso ganja medis di Thailand rupanya cukup efektif dan berpengaruh terhadap beberapa hal. Misalnya, kualitas tidur pasien jadi meningkat dan perekonomian masyarakat meningkat.
"Setelah pasien mendapatkan obat ini, kualitas tidur meningkat, selain itu, juga meningkatkan perekonomian masyarakat setelah menggunakan untuk tujuan medis," sebut Pakakrong.
Bagaimana Kemanan Dikontrol?
Menurut peraturan di Thailand, ganja masih diregulasi sebagai obat-obatan narkotika. Bahkan, izin untuk keperluan penelitian berbasis medis harus melalui Komite Narkotika Nasional.
Pakakrong mengatakan, pihaknya telah membangun suatu ekosistem untuk menjamin keamanan publik. Ekosistem, dalam konteks ini adalah dengan memberi pelatihan kepada tenaga medis soal penggunaan ganja.
"Kami juga mewajibakan mereka mendaftar dengan pemerintah dan mendapat produk canabis medis yang memenuhi syarat kepada pasien dan kami membangun sistem data elektronik untuk memantau keamanan dan efektivitas produk," lanjut Pakakrong.
Tidak hanya itu, Pakakrong dan rekan-rekan juga selalu melaporkan ke basis data milik Kementerian Kesehatan Publik. Setiap produk yang digunakan akan dilaporkan secara rutin.
Uji Materi
Pemohon uji materi penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a dan pasal 8 ayat (1) UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti.
Selanjutnya Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform, dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.
Dalam sidang sebelumnya, 20 April 2021, pemohon menyampaikan narasi ilmiah sehubungan dengan perbandingan dari negara-negara lainnya di dunia yang menggunakan terapi ganja sebagai bagian pengobatan penderita cerebral palsy atau lumpuh otak.
Menurut pemohon, ketentuan penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut telah mengakibatkan hilangnya hak para pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari narkotika golongan I.
Sementara dalam sidang Selasa (10/8), Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya, yang mewakili pemerintah, menjelaskan penggunaan minyak ganja ataupun ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia.
Selain karena sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia, Arianti juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan.
Sidang selanjutnya akan diselenggarakan pada hari Selasa (14/9) mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan dari tiga orang ahli pemohon berikutnya.