Suara.com - Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia mengaku khawatir terkait TNI-Polri yang menjadi penjabat sementara atau Pjs untuk mengisi kekosongan kursi kepala daerah jelang 2024. Menurutnya, tindakan itu bisa mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan.
Doli menjelaskan, kekhawatiran pertama jika TNI menjadi Pjs adalah adanya traumatik masa lalu yaitu dwifungsi ABRI. Menurutnya, ketika TNI berpolitik maka akan mendominasi.
"Ada trauma dulu terjadi praktik dwifungsi ABRI ya, begitu TNI kemudian ikut berpolitik kemudian justru menjadi faktor yang mendominasi katakan lah begitu ya. Karena secara politik kan rezim satu rezim yang kemudian punya kekuasaan bukan hanya kekuasaan politik tapi juga kekuasaan senjata itu kan dikhawatirkan sangat dikhawatirkan," kata Doli dalam diskusi daring, Selasa (12/10/2021).
Kemudian Doli menyampaikan kekhawatiran dia yang kedua yakni jika Polri menjadi Pjs. Menurutnya, Polri saat ini berperan lebih besar ketimbang dari masa rezim-rezim sebelumnya.
Baca Juga: Penentuan Tanggal Pemilu 2024, DPR: Kalau Mau Paksa Bisa Saja Voting, Tapi Kami Hindari
"Artinya yang dikhawatirkan masyarakat itu kan adalah ketika seseorang diberi kekuasaan politik tambah lagi kekuasaan ekonomi tambah lagi, kekuasaan bersenjata kira-kira itu yang khawatir kan jadi sehingga nanti sangat berpotensi menjadi abuse of power," tuturnya.
"Sudah lah punya kekuasaan politik yang besar memimpin satu daerah terus kemudian untuk mengelola sumber daya ekonominya kuat tambah back up kan punya pasukan. Punya pasukan dan ini yang dikhawatirkan," sambungnya.
Lebih lanjut, Politisi Partai Golkar ini menyampaikan, meski secara aturan tidak ada larangan mengenai Pjs diisi oleh TNI-Polri, namun adanya kekhawatiran dari masyarakat perlu didengar.
"Aspirasi-aspirasi ini penting juga untuk di sampaikan. Sehingga kalau pun pada akhirnya nanti beberapa daerah ditetapkan pejabat-pejabat kepala daerah berasal dari TNI-Polri, ya bapak-bapak di TNI-POLRI itu sadar betul bahwa bapak-bapak itu ditempatkan bukan untuk melakukan game yang dikhawatirkan tadi itu," tandasnya.
Untuk diketahui, Masa jabatan sejumlah kepala daerah akan habis di periode 2022-2023, nantinya posisi kosong kursi kepemerintahan akan diisi oleh penjabat sementara atau Pjs sambil menunggu Pilkada Serentak yang rencananya digelar pada 2024.
Baca Juga: Perludem Kritik Pemerintah: Pemilu Mei 2024 Tak Masuk Akal, Implikasi ke Beban Kerja
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan Pilkada serentak 2024 harus tetap dilaksanakan sebagaimana Undang Undang Nomor Nomor 10 tahun 2016. Ia meminta seluruh pihak konsisten menjalankan amanat undang-undang.
Terlebih, kata Tito seluruh fraksi di DPR saat pembahasan UU terkait Pilkada, sudah bulat menyepakati pemilihan kepada daerah periode 2022 dan 2023 dilangsungkan di 2024.
"Saya belum jadi Mendagri tapi dapat informasi dari staf dan juga dari rekan-rekan di DPR, fraksi-fraksi saat itu tidak ada satupun yang menolak untuk melaksanakan Pilkada dilaksanakan serentak di tahun 2024. 9 fraksi bulat," kata Tito dalam rapat dengan Komisi II DPR, Senin (15/3/2021).
Karena itu, dikatakan Tito Pilkada serentak 2024 harus dilakukan terlebih dahulu. Menurutnya, jangan sampai Undang-Undang tentang Pilkada justru malah direvisi saat Pilkada 2024 yang menjadi salah satu ketentuannya belum dijalankan.
"Oleh karena itu kami kira kita harus konsisten Undang Undang ini kami ikuti, kami jalankan, untuk Pilkada tetap dilaksanakan di tahun 2024 sampai nanti kami bisa revisi setelah kami laksanakan. Bukan sebelum kita laksanakan," pungkasnya.