Suara.com - Ribuan warga Tunisia pada Minggu (10/10) berunjuk rasa di ibu kota negara, Tunis, untuk memprotes Presiden Kais Saied yang mencengkeram hampir semua kekuasaan.
Aksi penentangan itu berlangsung pada saat semakin banyak orang turun ke jalan dalam beberapa minggu belakangan ini hingga meningkatkan kemungkinan kemunculan krisis politik yang dapat memicu kerusuhan.
Seminggu setelah ribuan orang berdemonstrasi untuk mendukung Saied, jumlah penentangnya yang kian banyak memperbesar kemungkinan perpecahan politik Tunisia menjadi konfrontasi jalanan antara kubu-kubu yang bersaing.
"Kami tidak akan menerima kudeta. Cukup sudah," kata Yassin ben Amor, seorang pengunjuk rasa.
Kehadiran polisi dalam jumlah besar menghentikan pawai di Habib Bourguiba Avenue di Tunis tengah. Meskipun beberapa pengunjuk rasa melemparkan botol plastik, tidak ada bentrokan.
Baca Juga: Kritisi Presiden, Stasiun Televisi di Tunisia Langsung Kena Tutup
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Khaled Hayouni mengatakan polisi akan menangani pengunjuk rasa dari kedua belah pihak dengan cara yang sama.
"Polisi Tunisia adalah polisi republik dan tidak mengintervensi sisi politik mana pun," katanya.
Saied memberhentikan perdana menteri, menangguhkan parlemen, dan mengambil alih kekuasaan eksekutif pada Juli dalam gerakan yang oleh musuhnya disebut kudeta.
Pada September, dia mengesampingkan sebagian besar aturan konstitusi, yang dia katakan akan diperbaiki dengan menunjuk sebuah komite, seraya menambahkan bahwa dia bisa memerintah dengan dekrit.
Intervensinya tampak didukung rakyat setelah negara itu bertahun-tahun mengalami stagnasi ekonomi dan kelumpuhan politik.
Baca Juga: Makin Panas, Presiden Tunisia Kini Pecat Dua Menteri
Namun, campur tangannya menimbulkan keraguan atas manfaat demokrasi yang diupayakan oleh rakyat Tunisia selama revolusi 2011, yang memicu kemunculan demo besar-besaran Musim Semi Arab.
"Kami menentang kudeta ... Kami menolak pidato perpecahan," kata Jaouhar Ben Mbarek, seorang aktivis terkemuka dan penyelenggara utama aksi protes terhadap Saied.
Mbarek mengatakan mereka harus setia kepada orang-orang yang gugur dalam revolusi 2011.
Saied telah menunjuk Najla Bouden Romdhane sebagai perdana menteri.
Tetapi, Romdhane belum membentuk pemerintahan kendati Saeid mengatakan pada Sabtu (9/10) bahwa Romdhane akan segera melakukannya.
Pembentukan kabinet merupakan langkah awal yang penting untuk setiap upaya menyelesaikan krisis yang menjulang di sektor keuangan publik Tunisia.
Selama pertemuan pada Sabtu bersama menteri dalam negeri sementara Ridha Gharsaloui, Saied mengatakan akan memulai dialog dengan rakyat Tunisia mengenai masa depan negara.
Dialog apa pun yang tidak melibatkan partai politik besar atau elemen masyarakat sipil mapan lain, seperti serikat pekerja yang kuat, kemungkinan akan mendorong oposisi yang lebih terbuka terhadap langkahnya.
Negara-negara Barat pendonor, yang diperlukan untuk mencegah runtuhnya keuangan publik Tunisia, telah menyerukan proses pelibatan semua pihak untuk mengakhiri periode krisis, dengan membuat jadwal waktu yang jelas.
Dengan manuver politik yang bergerak sangat lambat dalam membahas masa depan Tunisia, Saied meminta massa yang berdemonstrasi agar mendukung posisinya.
Pekan lalu, lebih dari 8.000 demonstran berunjuk rasa di Tunis untuk mendukung Saied, kata wartawan Reuters dan kantor berita negara.
Keesokan harinya, Saied mengatakan 1,8 juta orang telah turun ke jalan untuk mendukungnya. (Sumber: Antara/Reuters)