Suara.com - Maria Ressa, Jurnalis senior Filipina menyatakan berdiri dalam satu barisan bersama koalisi tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk merespon atas menguatnya tekanan pada pers dan demokrasi di Asia Tenggara.
Peraih penghargaan Nobel Perdamaian 2021 ini, menekankan bahwa pentingnya kerjasama yang solid dalam menghentikan serangan-serangan terhadap jurnalis lewat penyalahgunaan hukum dan manipulasi informasi.
Terkhusus selama pandemi Covid-19 yang berisiko dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak yang berbahaya bagi kebebasan pers dan demokrasi.
“Saya menyukai gagasan komunitas yang ingin kita bangun bersama ini. Lebih-lebih pada situasi pandemi, dimana orang-orang merasa terisolasi sehingga rawan sekali dimanipulasi lewat media sosial," kata Ressa dalam Forum Regional 'Press In Distress' secara daring pada Jumat (8/10/2021).
Baca Juga: Jurnalis Maria Ressa dan Dmitry Muratov Dianugerahi Nobel Perdamaian 2021
Sementara itu, Jurnalis senior Tempo dan anggota Dewan Per Arif Zulkifli mengatakan apa yang dialami Maria Ressa di Filipina merupakan potret demokrasi saat ini yang juga terjadi di Indonesia dan negara-negara lain.
Menurut dia serangkaian serangan fisik, digital hingga kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis di Indonesia yang bersuara keras terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap merugikan publik, seperti RUU Cipta Kerja dan RUU KPK pada 2019 silam.
"Tanpa perlawanan serius, serangan tersebut akan menjadi jalan pintas terhadap pembungkaman media dan siapa saja yang berusaha kritis menyuarakan kebenaran," ucapnya.
Pendiri Malaysiakini Steven Gan menyoroti perlunya penggalangan dukungan publik, termasuk dalam hal pembiayaan. Menurutnya kebebasan pers akan sulit ditegakkan apabila publik tidak melihat jurnalisme sebagai hal yang serius diperhatikan.
Adapun forum regional ini merupakan gagasan sejumlah organisasi jurnalis dan sineas di tiga negara. Terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (Indonesia); Freedom Film Network, Gerakan Media Merdeka (Geramm), Center for Independent Journalism (CIJ) Malaysia; serta Dakila, Active Vista dan Rappler di Filipina.
Baca Juga: AJI: Pasal yang Ancam Kebebasan Pers Harus Dihapus di RUU KUHP dan RUU ITE
Forum ini dibuka dengan pemutaran film dokumenter 'A Thousand Cuts' tentang perjuangan Maria Ressa dan tim Rappler melawan kesewenang-wenangan rezim Presiden Rodrigo Duterte, terutama dalam penanganan isu-isu narkoba.
"Sangat penting bagi kita semua untuk bersama-sama melindungi institusi pers, karena jika jurnalisme independen mati, maka demokrasi juga akan mati,” kata Anna Har, pendiri Freedom Film Network.
Lebih lanjut, AJI, CIJ, Geramm, dan Dakila menyatakan, perlunya melanjutkan kolaborasi ini di tingkat kawasan.
"Perlu ada solidaritas dan semangat bersama untuk mengawal kebebasan pers di Asia Tenggara. Kemenangan Maria Ressa akan membakar semangat media di Malaysia untuk bersuara lebih lantang dalam menyuarakan kebebasan pers dan berekspresi," kata Radzi Razak, juru bicara Geramm.
Kemudian, Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim menegaskan akan terus membuka ruang-ruang kolaborasi dengan berbagai jejaring di Asia Tenggara. Koalisi tiga negara ini merupakan alarm terhadap menguatnya kekuasaan yang dirasa mulai anti terhadap demokrasi.
"Jurnalis tidak boleh ditundukkan, karena jurnalis harus berperan sebagai watchdog, mengawal demokrasi, mengungkap praktik-praktik kotor, serta melawan penyalahgunaan kekuasaan," tegas Sasmito.