Suara.com - Tim kuasa hukum tiga anak terduga korban kekerasan seksual di Luwu Timur angkat bicara. Setelah Polres Luwu Timur menuding pemberitaan yang disebarkan www.projectmultatuli .com terkait kasus itu sebagai berita bohong.
Mereka menegaskan dalam proses pengusutan kasus yang dilakukan Polres Luwu Timur terdapat sejumlah kejanggalan.
Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir, salah satu kuasa hukum terduga korban, menyebutkan saat proses pengambilan keterangan terhadap para anak korban, pelapor selaku ibu dari para anak dilarang untuk mendampingi, juga untuk membaca berita acara pemeriksaan para anak korban yang penyidik minta pelapor untuk tandatangani.
“Bahwa proses tersebut juga tidak melibatkan pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lainnya. Hal ini menyalahi ketentuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 23 yang menyatakan bahwa, dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial,” kata Muhammad dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/10/2021).
Baca Juga: Terlapor Kasus Dugaan Pemerkosaan di Luwu Timur Sebut Nama Baiknya Hancur
Jelasnya, pengambilan keterangan para anak korban yang hanya dilakukan satu kali dan tidak didampingi dalam pemeriksaan.
“Mengakibatkan keterangan para anak korban tidak tergali dan terjelaskan utuh dalam berita acara interogasi pada berkas perkara,” ujarnya.
Kemudian, dasar penghentian penyelidikan oleh kepolisian juga menuai kejanggalan. Dua dokumen yang dikategorikan penyidik sebagai bukti Petunjuk yaitu hasil asesmen P2TP2ALuwu Timur dan asesmen Puspaga Lutim. Kedua petunjuk tersebut pada pokoknya menyatakan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya.
“Sementara keduanya berasal dari proses yang berpihak pada terlapor. Ini salah satunya ditunjukkan dari dipertemukannya para anak korban dengan terlapor ketika pertama kali pelapor meminta perlindungan di P2TP2A Luwu Timur. Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan karena pertemanan dengan terlapor sebagai sesama Aparat Sipil Negara,” papar Muhammad.
Atas sejumlah kejanggalan itu, tim kuasa hukum mengajukan tiga tuntutan ke Polri,
Baca Juga: Perlindungan Perempuan dan Anak Sulsel Ungkap Fakta Laporan Pencabulan Anak di Luwu Timur
1. Kapolri memerintahkan untuk membuka kembali penyelidikan perkara serta mengalihkan Proses Penyelidikannya kepada Mabes Polri, dengan secara penuh melibatkan Tim Kuasa Hukum, Pelapor sebagai ibu para anak korban, serta pendamping sosial anak; menghadirkan saksi dan ahli, melengkapi berkas perkara dengan laporan sosial serta psikologis, dan petunjuk lain dalam penyelidikan; serta memastikan perlindungan korban dan akses terhadap pemulihan bagi para anak korban dan pelapor.
2. Meminta kepada semua Pihak termasuk Polisi untuk melindungi identitas korban dengan tidak menyebarkan dan mempublikasikannya. Secara khusus terkait beredarnya klarifikasi terkait perkara dari Humas Polres Lutim yang mencantumkan identitas orangtua anak korban.
3. Kapolri mengevaluasi kinerja kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Kritik publik dan temuan pelanggaran oleh anggota Polri terhadap penanganan kasus ini menunjukkan urgensi Polri untuk segera dan sungguh-sungguh membenahi kinerja institusinya dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Di mana sebagai bagian dari sistem penegakan hukum Polri bertanggung jawab untuk memastikan proses yang berkeadilan bagi korban kekerasan seksual.