Nestapa Gajah di Pulau Dewata akibat Pandemi Covid-19, Tersisa Kulit dan Tulang

Kamis, 07 Oktober 2021 | 22:33 WIB
Nestapa Gajah di Pulau Dewata akibat Pandemi Covid-19, Tersisa Kulit dan Tulang
Kondisi gajah Sumatra di pulau Bali yang mengalami kelaparan akibat pandemi Covid-19.[Al Jazeera]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19 di sejumlah taman wisata gajah Bali menarik perhatian media internasional.

Al Jazeera pada Kamis (7/10/2021), mewartakan kondisi gajah-gajah di sejumlah taman dalam keadaan sengsara, bahkan disebut tinggal kulit dan tulangnya saja.

Dalam artikel ‘Just skin and bones’: Bali elephants left to starve, media yang berbasis di Dubai tersebut menyoroti kondisi gajah di Bali yang sedang kelaparan.

Salah satunya adalah gajah-gajah yang berada di Bali Elephant Camp (BEC), setengah jam berkendara ke utara Ubud.

Baca Juga: Jelang Timnas Indonesia vs Taiwan, Pelatih Bali United Puji Kualitas Yabes Roni

Pada tahun 2005, BEC bergabung dengan program konservasi satwa liar Kementerian Kehutanan untuk merawat gajah Sumatra yang terancam punah.

Sebuah studi tahun 2007 oleh World Wildlife Fund menemukan hanya ada 2.400 gajah Sumatra yang tersisa di alam liar. Jumlahnya diperkirakan sudah berkurang setengahnya akibat perburuan liar, konflik manusia-gajah, dan penggundulan hutan.

Antara tahun 1980 dan 2005, 67 persen dari potensi habitat gajah Sumatra hilang. Dan hewan tersebut masuk dalam daftar 'sangat terancam punah' pada tahun 2012.

Gajah yang hidup di BEC berasal dari pusat penangkaran yang didirikan 30 tahun lalu di Sumatra. Sebagai imbalan, gajah-gajah itu ditempatkan di tempat-tempat wisata yang sudah mengantongi izin.

Sebelum pandemi, bisnis pariwisata gajah ini sangat menguntungkan. BEC sendiri mengenakan biaya Rp 320.000 untuk naik gajah selama setengah jam untuk dua orang.

Baca Juga: Faktor Usia, Atlet Selancar Angin Asal Bali Ini Ingin Pensiun Setelah Raih Emas PON Papua

Kondisi gajah Sumatra di pulau Bali yang mengalami kelaparan akibat pandemi Covid-19.[Al Jazeera]
Kondisi gajah Sumatra di pulau Bali yang mengalami kelaparan akibat pandemi Covid-19.[Al Jazeera]

Kelahiran tiga bayi gajah selama 15 tahun terakhir menunjukkan BEC tidak hanya memenuhi tetapi juga melebihi persyaratan kesejahteraan hewannya.

Namun, kondisinya kini berubah sangat drastis. Seorang dokter hewan satwa liar pada bulan Mei membagikan foto secara eksklusif kepada Al Jazeera yang menunjukkan jika mereka kekurangan gizi.

"Anda tidak dapat membayangkan seekor gajah kurus sampai Anda melihatnya," ungkap Femke Den Haas, dokter hewan dari Belanda yang telah bekerja untuk melindungi satwa liar di Indonesia selama 20 tahun, kepada Al Jazeera.

"Mereka adalah hewan besar dan Anda tidak seharusnya melihat tulang mereka. Tapi itulah mereka, hanya kulit dan tulang." ungkapnya.

Bantuan Pemerintah

Haas mengunjungi tempat wisata tersebut sebagai mitra Badan Konservasi Sumber Daya Alam Bali (BKSDA).

Kepala BKSDA Agus Budi Santosa mengungkapkan jika banyak bisnis kebun binatang di Bali yang tumbang akibat pandemi Covid-19.

Agus juga mengungkapkan jika pandemi Covid-19 juga sangat berdampak pada sektor usaha kecil kecil seperti Bali Elephant Camp.

Pada bulan Juli, BEC mengatakan kepada Bali Animal Welfare Association (BAWA) bahwa mereka telah melakukan semua usahanya untuk merawat gajah, namun mengaku kehabisan dana.

BEC juga mengungkapkan kepada BAWA bahkan baik BKSDA atau Kementerian Kehutanan RI tidak ada yang menawarkan dukungan keuangan.

Kondisi gajah Sumatra di pulau Bali yang mengalami kelaparan akibat pandemi Covid-19.[Al Jazeera]
Kondisi gajah Sumatra di pulau Bali yang mengalami kelaparan akibat pandemi Covid-19.[Al Jazeera]

"Anda tidak bisa sebagai perusahaan mengatakan tidak ada pengunjung lagi jadi saya tidak merawat gajah lagi," kata Haas.

"Itulah yang terjadi dan sangat menjijikkan karena gajah-gajah ini telah memberi mereka keuntungan selama 15 tahun. Jadi saya tidak percaya ketika mereka mengatakan mereka tidak punya uang," sambung Haas.

Menurut Haas, biaya untuk merawat seekor gajah tidak terlalu mahal, "Biayanya Rp 2,8 juta sebulan untuk memberi makan satu ekor," ungkap Haas.

Haas mengatakan BEC juga menelantarkan stafnya tanpa bayaran. "Mereka telah bertindak tidak bertanggung jawab tidak hanya terhadap hewan tetapi juga kepada karyawan yang menyerahkan hidup mereka untuk pekerjaan mereka," ungkap Haas.

"Ketika saya pertama kali tiba di sana, beberapa staf telah pergi dan yang lain masih di sana, bekerja secara gratis, mencoba merawat gajah," katanya.

BKSDA mengatakan BEC diberi waktu dua bulan untuk mencari investor baru dan merestrukturisasi bisnis agar dapat merawat gajahnya kembali.

Jaringan Bantuan Hewan Jakarta, sebuah LSM tempat Dr Haas bekerja, juga ikut memberi makan gajah BEC dan membayar upah para penjaga.

"Mereka tidak ingin membiarkan mereka mengambil gajah. Mereka ingin membuat mereka kembali bekerja setelah pandemi," ungkap Dr Haas.

Rumah baru

Tiga dari 14 gajah milik BEC kini sudah diadopsi oleh sebuah kebun binatang yang tidak diketahui namanya di luar pulau Jawa.

Sedangkan 11 sisanya dipindahkan ke Tasta Wildlife Park, kebun binatang yang baru dibuka pada bulan Juni di Kabupaten Tabanan.

Al Jazeera melaporkan jika 11 gajah tersebut telah berhasil direhabilitasi dan kembali memiliki berat badan yang ideal.

Hampir bernasib sama seperti BEC, Tasta Wildlife Park beroperasi dalam bayang-bayang kerugian, tetapi terus memastikan semua hewannya diberi makan dengan baik.

BAWA mengungkapkan jika tiga taman gajah lainnya di Bali yakni Mason, Bali Zoo dan Bali Safari and Marine Park, juga kesulitan secara finansial, namun tetap berjuang memberi makan gajah mereka.

Suaka Etis

Nasib gajah yang kurang makan di Bali karena pandemi menghidupkan kembali seruan untuk memikirkan kembali pariwisata gajah di pulau itu.

Sebuah kelompok advokasi yang dibuat sebelum pandemi oleh wisatawan yang tidak suka dengan kondisi gajah di Bali mengungkapkan jika tidak ada suaka yang etis.

"Tidak ada suaka etis yang diketahui di Bali," jelas Bali Elephant Paradise Hell di situs web mereka sebelum pandemi.

"Gajah-gajah sering dirantai untuk waktu yang lama ketika tidak melakukan pertunjukan yang mengerikan atau dinaiki, hidup dalam ketakutan ditikam dengan bullhook dan ditolak untuk melakukan sesuatu yang alami bagi mereka," jelasnya.

Haas mengatakan semua masalah ini diciptakan oleh permintaan dari wisatawan untuk naik dan menunggani gajah.

"Satu wahana itu, satu selfie itu, itu berarti hukuman seumur hidup untuk hewan-hewan ini dan sekarang setelah Covid melanda, itu bahkan lebih buruk karena tidak ada lagi uang masuk dan beberapa gajah kelaparan," jelas Haas.

"Saya tidak mengatakan bisnis ini harus ditutup, namun harus ada kesadaran" kata dokter hewan itu.

Haas juga berharap setelah pandemi, wisatawan akan berpandangan lain dan tidak lagi ingin menunggang gajah atau bermain dengan mereka di kolam renang.

"Ini tahun 2021 dan kita harus memiliki pariwisata etis di mana orang yang mengunjungi Bali pada hari libur harus mengatakan, ya, kita ingin melihat gajah, tetapi di suaka di mana mereka dapat merumput dan tidak terikat rantai menunggu orang untuk menungganginya. Anda tidak perlu mendekati satwa liar, Anda tidak perlu menyentuh mereka atau berswafoto, cukup mengagumi mereka dari kejauhan," pungkas Haas.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI