Suara.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan, untuk segera mengusut tuntas kasus perkosaan anak oleh terduga pelaku ayah kandungnya sendiri. Kalau menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak, apabila terbukti pelaku bisa mendapatkan pemberatan hukuman.
"KPAI mendorong kepolisian mengusut tuntas kasus ini dan mengenakan UU Perlindungan Anak (UUPA) kepada pelaku, karena dalam UUPA kalau pelakunya orang terdekat korban, dapat dilakukan pemberatan sebanyak 1/3 hukuman," kata Retno saat dihubungi wartawan, Kamis (7/10/2021).
"Mengingat, orangtua seharusnya melindungi anak-anaknya bukan malah menjadi pelaku kekerasan seksual pada anaknya," sambungnya.
Retno menyampaikan kalau pihaknya mengaku keprihatinan dan mengecam tindakan perkosaan yang dilakukan terduga ayah kandung dari tiga anak-anaknya.
Baca Juga: ASN Perkosa 3 Anak Kandung di Luwu Timur, Polri Buka Peluang Penyelidikan Lagi
Karena itu, KPAI mendorong pemerintah daerah setempat untuk segera memenuhi hak anak-anak korban untuk mendapatkan rehabilitasi psikologis maupun medis.
"Juga perlindungan bagi anak-anak korban maupun ibunya," tuturnya.
Di samping itu, KPAI juga memberikan apresiasi kepada keluarga korban yang berani melaporkan adanya kejahatan seksual.
"Apresiasi pada keluarga korban yang melaporkan kejahatan seksual ini, tidak menyembunyikan kasus ini karena pelaku ayah korban."
Lawan Pemerkosa Anaknya
Baca Juga: Polisi Lanjutkan Laporan Kasus Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Timur Jika Ada Bukti Baru
Kisah seorang ibu tunggal berjuang mencari keadilan melawan Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerkosa tiga anak perempuannya. Plaku yang merupakan ASN tak lain adalah mantan suaminya alias ayah kandung tiga anak perempuan tersebut.
Kisah tragis ini terjadi pada Lydia (bukan nama sebenarnya). Lydia melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya, semuanya masih di bawah 10 tahun.
Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri, ASN yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah.
Laporan itu tertanda Oktober 2019, bulan yang sama saat Lydia mendapati salah satu anaknya mengeluhkan area kewanitaanya yang sakit.
Polisi menyelidiki pengaduannya, tapi prosesnya diduga kuat penuh manipulasi dan konflik kepentingan. Hanya dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan.
Bukan saja tidak mendapatkan keadilan, Lydia bahkan dituding punya motif dendam melaporkan mantan suaminya. Ia juga diserang sebagai orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
Serangan ini diduga dipakai untuk mendelegitimasi laporannya dan segala bukti yang ia kumpulkan sendirian demi mendukung upayanya mencari keadilan.