Suara.com - Polri enggan turut campur soal adanya temuan bendara mirip organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di salah satu meja kerja Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Alasannya, karena itu dinilai sebagai permasalahan internal KPK.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono meyakini KPK bisa menyelesaikan permasalahan internalnya tersebut.
"Itu internal KPK, internal KPK. Kita tunggu saja penyelesaian masalah itu. Kita yakin KPK itu akan bisa menyelesaikan masalah itu," kata Rusdi di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (6/10/2021).
Polemik soal bendera organisasi radikal dan terlarang ini mencuat dari beredarnya surat terbuka seorang bernama Iwan Ismail yang mengaku dipecat KPK sekitar 2 tahun lalu.
Iwan mengaku saat itu bekerja sebagai pegawai tidak tetap di KPK di bagian pengamanan atau singkatnya sebagai petugas satpam.
Baca Juga: Kronologi Hebohnya Foto 'Bendera HTI' di Ruang Kerja Pegawai KPK
Kala itu dia mulai bekerja pada 14 November 2018 dan mengikuti pelatihan pengelolaan rumah tahanan dan pengawalan tahanan.
Saat itu dia mengaku melihat bendera putih dengan tulisan hitam yang disebutnya sebagai bendera HTI di meja kerja pegawai KPK di lantai 10 Gedung Merah Putih.
Waktu berlalu hingga 20 September 2019 ketika KPK digoyang isu ‘Taliban’, Iwan Ismail mengaku mendapati bendera yang sama dan memotretnya.
Iwan Ismail mengaku akan melaporkan temuannya itu, tetapi terlebih dahulu menyebarkannya ke grup WhatsApp Banser Kabupaten Bandung. Iwan Ismail sendiri mengaku sebagai anggota Banser.
Selepasnya foto yang diambil dan disebarkan Iwan Ismail menjadi viral. Buntutnya Iwan Ismail diadili secara etik oleh Pengawas Internal (PI) KPK karena saat itu Dewan Pengawas (Dewas) KPK belum dibentuk. Iwan Ismail dinyatakan melanggar kode etik berat dan dipecat.
Baca Juga: Menohok! Respon Novel Baswedan Atas Tudingan Denny Siregar Soal Bendera HTI
Framing Koruptor
Mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan menilai isu radikal yang kerap diarahkan ke KPK merupakan framing koruptor. Hal itu menurutnya dilakukan, agar para maling uang rakyat tersebut bisa dengan bebas melancarkan aksi korupsi tanpa tertangkap.
“Sejak awal sudah kita sampaikan bahwa isu radikal dan sebagainya adalah framing para koruptor agar aman berbuat korupsi,” kata Novel seperti dikutip dari Hops.id, Senin, (4/9/2021).
Apalagi, kata Novel, para koruptor mampu membayar orang-orang di jejaring media sosial, sehingga isu yang dimainkan bisa berjalan sesuai dengan rencananya.
Dengan demikian, seperti sekarang ini, para koruptor bakal semakin aman dan mengeruk uang negara.
“Mereka bisa saja bayar orang-orang untuk buat tulisan di medsos. Sekarang koruptor semakin aman dan terus garong harta negara. Kasihan masyarakat Indonesia, koruptor makin jaya,” imbuh Novel.