Suara.com - Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan menyebut dirinya tidak antikritik. Ia bilang sudah terbiasa disebut Komunis/PKI, antek asing, antek aseng, planga-plongo, hingga dijuluki the king of lip service. Pernyataan pedas itu sudah jadi makanan sehari-hari, katanya.
“Saya kira itu bentuk ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi. Jadi kritik itu boleh boleh saja dan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi,” ujar Jokowi, Selasa 28 Juni lalu.
Pernyataan Jokowi itu bertolak belakang dengan dengan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat belakangan ini. Seorang peternak ayam di Blitar, Jawa Timur ditangkap hanya karena membentangkan poster saat presiden melintas. Terakhir 10 mahasiswa di Solo juga ditangkap, lagi-lagi hanya karena bentangkan poster. Padahal isi poster mereka cuma menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.
SEPULUH mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dikabarkan ditangkap pada Senin, 13 September 2021 . Mereka ditangkap karena membentangkan poster ketika Jokowi berkujung ke kampus UNS Solo. Salah satu poster tersebut bertuliskan pesan ‘Pak Tolong Benahi KPK’.
Baca Juga: Bantah Wacana Tambah Periode Presiden Jokowi, Komisi II DPR Tegaskan Pemilu Tetap 2024
Namun, aparat kepolisian membantah telah melakukan penangkapan. Mereka berdalih hanya memberi pemahaman dan pengertian cara penyampaian pendapat yang baik. “Pak, aku wis mulih. Mahasiswa UNS sing dicekal pas Pak Jokowi teka, salah sijine aku. (Pak saya sudah pulang. Mahasiswa UNS yang ditangkap saat pak Jokowi datang, salah staunya saya),” ujar Bagus diujung telepon kepada Bapaknya. Namanya sengaja disamarkan karena masih trauma dan merasa terancam.
Sekitar pukul 16.00 WIB, Bagus dipulangkan bersama sembilan kawannya, sesama mahasiswa UNS Solo. Ia bergegas menghubungi bapaknya lewat sambungan telepon sekadar memberikan kabar. “Walah, wani temen kowe le. Ya wis ora papa, Bapak seneng kowe totalitas. Sesuk, nek arep ngene maneh, sing penting ati-ati (Walah, berani sekali kamu nak, ya sudah tak apa-apa, Bapak senang kamu total. Besok kalau begitu lagi yang penting hati-hati)”.
Kaget dan khawatir, itu kesan pertama yang dirasakan orang tua Bagus saat tahu salah satu mahasiwa UNS Solo yang ditangkap ialah putranya. “Saya termasuk yang totalitas kata orang tua. Tapi ya mungkin dari orang tua mengharapkan coba penyampaian secara lisan, baik, dan sebagainya,” tutur Bagus kepada suara.com.
Halte UNS Solo
Sedari pagi Bagus telah bersiaga di Halte UNS Solo. Dia bersiap membentangkan poster bertuliskan ‘Pak Tolong Benahi KPK’ ketika nanti rombongan Jokowi melintas. Harapannya, sang presiden membaca pesan tersebut. Kemudian tergugah membenahi lembaga antirasuah yang kehilangan kepercayaan publik tersebut.
Baca Juga: SKB 3 Lembaga Dianggap Angin Lalu, Saiful Mahdi Tetap Mendekam Dalam Bui
Di titik-titik lain sekitar kampus, kawan-kawan Bagus dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS Solo juga telah menyiapkan hal serupa. Ada tujuh poster yang telah mereka siapkan. Selain menyoal permasalahan KPK, isu lain yang hendak disuarakan lewat poster itu yaitu persoalan petani lokal, hukum, hingga kasus pelanggaran hak asasi manusia/HAM. “Tapi dari pihak kepolisian dan intel itu memang sudah banyak sekali. Mungkin dua dari tujuh poster saja yang bisa kami bentangka,” ucap Bagus.
Satu dari dua poster yang berhasil dibentangkan ialah poster bertuliskan ‘Pak Tolong Benahi KPK’. Foto-foto ketika Bagus membentangkan poster itu viral di media sosial. “Saya itu dua kali bentangkan poster, pas Pak Ganjar (Gubernur Jawa Tengah) dan Pak Jokowi melintas,” katanya.
Aksi membentangkan poster yang dilakukan Bagus berlangsung singkat. Hanya berkisar 10 menit. Tiba-tiba lima orang berambut cepak dan berbadan tegap dengan pakaian biru muda dan putih dilengkapi handy talky alias HT menghampirinya. Tanpa berucap mereka merampas poster dan menggeledah badan Bagus. “Saya pun langsung ditangkap,” beber Bagus.
Tak pernah terbayang olehnya, poster permintaan ‘tolong’ itu akan berujung penangkapan. Dalam pikirannya, paling poster tersebut hanya dirampas. Ia mengaku panik dan cemas saat digelandang ke dalam sebuah mobil. Saat itu dia hanya seorang diri. Ia baru sedikit tenang ketika beberapa temannya menyusul digelandang ke mobil tersebut. “Sempat panik juga dalam posisi itu. Alhasil ya mungkin karena saya nggak sendiri, itu sedikit menenangkan,” katanya.
Dalih Polisi
Sekitar pukul 12.00 WIB siang, Bagus bersama sembilan kawannya digiring masuk mobil polisi lalu dibawa ke Mapolresta Surakarta untuk diperiksa. Di kantor polisi ia diperiksa selama hampir 4 jam. “Di Polres kami diperiksa sampai pukul 15.30 WIB dan baru dipulangkan pukul 16.00 WIB,” ujarnya.
Memang tak ada kekerasan selama proses pemeriksaan. Namun saat penangkapan beberapa diantara mereka ada yang digampar dan dipukul.
Bagus dan kawan-kawannya, mahasiswa UNS Solo sudah meminta kepada pihak universitas agar dipertemukan dengan presiden untuk menyampaikan aspirasi. Namun permintaan tersebut tidak mendapat respon, hingga akhirnya mereka secara spontanitas mencoba menyampaikan aspirasi melalui sebuah poster.
“Terus begaimana solusinya selain ini?” mereka bertanya balik ke polisi. “Akhirnya kami juga belum dapat hal yang memuaskan ketika bapak polisi itu menyampaikan kepada kami. Intinya itu mereka melarang kami menyampaikan pesan lewat poster,” imbuh Bagus.
Setelah apa yang terjadi di balik peritiwa ini, Bagus tetap berusaha merawat keberanian dalam dirinya. Mengkritisi pelbagai permasalahan yang merugikan rakyat dan mecoba menyampaikan aspirasinya. “Tapi secara trauma mungkin awal-awal penangkapan, mungkin agak wah seperti ini ternyata. Itu menjadi hal yang paling mengena,” tuturnya.
Traumatis akibat tindakan represif aparat tak dipungkiri masih mebekas dalam diri Bagus. Terlebih, bahasa sopan ‘meminta tolong’ saja tak bisa menjaminnya bebas dari tindakan represif aparat.
Teguran Jokowi
“Saya sudah tegur Kapolri soal ini,” kata Jokowi kepada sejumlah pimpinan redaksi media dalam pertemuan di Istana Kepresidenan, Rabu (15/9) lalu.
Dia menyampaikan itu merespon tindakan represif aparat kepolisian terhadap kritik lewat mural hingga penyampaian aspirasi mahasiswa dan peternak di tengah kunjungan kerjanya di beberapa daerah. “Kapolri mengatakan itu bukan kebijakan kita, tapi Kapolres. Dari Kapolres juga menyatakan bukan kebijakan mereka, tapi Polsek,” imbuh Jokowi.
Mantan wali kota Solo itu kemudian mengklaim bukan pribadi yang antikritik. Katanya dia sudah terbiasa dikritik. “Saya ini dibilang macam-macam, dibilang PKI, antek asing, antek aseng, planga-plongo, lip service. Itu sudah makanan sehari-hari,” katanya.
Malam harinya sekitar pukul 21.00 WIB, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yowono menggelar jumpa pers. Dia menginformasikan jika Kapolri Jendreal Listyo Sigit Prabowo telah menginstruksikan kepada seluruh Kapolda agar berpedoman pada Surat Telegram Nomor: STR 862/IX/PAM.III/2021. Dalam Surat Telegram itu Listyo meminta agar seluruh Kapolda dan jajarannya tidak reaktif terhadap masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi di tengah kujungan presiden. “Agar tidak terulang kembali, disampaikan kepada para Kasatwil (Kepala Satuan Wilayah) di jajaran Polda seluruh Indonesia untuk perhatikan pedoman yang diarahkan Bapak Kapolri,” tutur Argo.
Respon Lambat
Pengamat Kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menilai Kapolri Listyo Sigit Prabowo sering kali telat dalam menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Bambang mencatat, setidaknya sudah dua kali Listyo dapat teguran dari Jokowi. Pada Juni lalu, Jokowi pernah menelepon mantan ajudannya itu untuk membenahi permasalahan premanisme di Jakarta Utara. Jokowi menghubungi Listyo setelah menerima keluhan langsung dari sopir truk kontainer di tengah kunjungan kerjanya ke Jakarta Utara.
“Listyo harus segera berbenah, karena bila terjadi berikutnya, artinya dia harus siap untuk direshuffle,” kata Bambang.
Presiden BEM UNS Solo, Zakky Musthofa tidak yakin represifitas aparat kepolisian bakal hilang dengan keluarnya Surat Telegram Kapolri. Namun ia tetap berharap Polri kembali ke maruahnya, melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat. “Tinggal kita lihat saja ke depannya. Mungkin kami akan coba lagi menyampaikan aspirasi dengan upaya-upaya lain, mereka (aparat kepolisian) bakal reaktif atau seperti apa,” tutur Zakky.
Menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), setidaknya ada 28 peristiwa pembungkaman kritik yang dilakukan oleh polisi dan apart pemerintah lainnya sepanjang Januari hingga September 2021. Sebanyak 13 kasus di antaranya berupa penangkapan sewenang-wenang dan 12 lainnya penghapusan mural.
Dari 28 kasus, 17 di antaranya dilakukan anggota polisi. Kemudian tujuh dari Satuan Polisi Pamong Praja atau Salpol PP dan empat dari pemerintah.