Remaja Ini Tewas Usai Minum Pil yang Dibeli di Snapchat, Ternyata Narkoba

Reza GunadhaABC Suara.Com
Rabu, 06 Oktober 2021 | 14:43 WIB
Remaja Ini Tewas Usai Minum Pil yang Dibeli di Snapchat, Ternyata Narkoba
Ilustrasi aplikasi Snapchat. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Alexander Neville, remaja asal California, Amerika Serikat memesan pil yang ia pikir oxycodone, atau obat penahan nyeri di Snapchat.

Namun, beberapa hari kemudian ia mendapat perawatan untuk penyalahgunaan narkoba.

Ibunya, Amy Neville mengatakan pil yang ia dapatkan ternyata palsu dan dicampur dengan kandungan fentanil.

"Alexander meminum satu pil yang kemudian membunuhnya karena mengandung centanil yang bisa membunuhnya dan empat orang lainnya," katanya kepada program radio PM milik ABC.

Baca Juga: Bayaran Pakai Bitcoin, Begini Cara PNS di Riau Jual Narkoba 'Kertas Dewa'

Fentanil adalah opioid sintetik yang masuk ke dalam obat terlarang yang butuh resep dengan kekuatan seratus kali dari morfin.

Alexander, yang berusia 14 tahun, ditemukan meninggal di kamar tidurnya.

Ibunya mengatakan ia kemungkinan meninggal sebelum pukul 10 pagi.

Amy menjelaskan jika putranya tersebut sudah terbuka dengannya soal mencoba-coba obat-obatan dan memesannya di Snapchat.

"Alexander sebenarnya penakut," ujarnya.

Baca Juga: Pesan Shah Rukh Khan Buat Aryan Khan di Tahun 1997 Silam Viral: Boleh Pakai Narkoba

"Tetapi kemudahan untuk mendapatkannya dan terkesan sangat normal, para pengedar obat-obatan ini mempromosikan jika mereka memiliki obat-obatan yang sah, ini membuatnya terlalu mudah."

Di Amerika Serikat semakin banyak orang tua yang kehilangan anak mereka karena overdosis setelah memesan narkoba di Snapchat.

Amy menghitung ada 427 kematian 'overdosis' di kawasan Orange County.

Ia juga sudah bertemu dengan pemimpin Snapchat dan menuntut perusahaan tersebut agar melarang penjualan obat di jejaring sosial tersebut.

Perdagangan obat-obatan keras yang butuh resep semakin berkembang karena teknologi. Penjualnya juga berpindah dari situs-situs gelas ke aplikasi jejaring sosial.

Semudah memesan pizza

Di Australia, penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Narkoba dan Alkohol Nasional menunjukkan 70 persen anak muda yang disurvei menggunakan jejaring sosial untuk membeli narkoba.

Ganja adalah yang paling populer, diikuti oleh pil 'MDMA' atau ekstasi.

Monica Barratt dari RMIT University di Melbourne adalah pakar obat-obatan di dunia digital, sekaligus peneliti.

"Ketika kita bertanya, 'Mengapa Anda menggunakan aplikasi daripada situs gelap?' Mereka akan berkata, 'Ini lebih cepat. Saya bisa mendapatkan obat lebih cepat karena ini sifatnya pertukaran langsung.'

"Para pengedar akan menampilkan video-video dari obat-obatan ini. Mereka akan membuka bungkusnya atau menunjukkan seperti apa obat itu dari aspek yang berbeda."

Tapi tidak hanya berhenti di video saja.

Fitur 'Location' di Snapchat digunakan untuk mengirim menu kepada calon pembeli, yang kemudian akan menghilang setelah dilihatnya. Ada juga kode, jenis huruf, dan emoji tertentu yang memberikan kode kepada calon pembeli jika akun mereka menjual narkoba.

Salah satu orang tua yang kehilangan anak mereka karena 'overdosis' mengatakan memesan narkoba di jejaring sosial semudah memesan pizza.

Kepala komunikasi Snapchat, Rachel Racusen, mengatakan perusahaannya berkomitmen untuk menemukan, kemudian menghapus akun pengedar narkoba.

"Dalam beberapa bulan terakhir, kami terus memperkuat machine-learning kami, untuk secara proaktif mendeteksi aktivitas terkait narkoba, kemudian bekerja dengan DEA [Administrasi Penegakan Narkoba] dan para pakar lainnya untuk terus memperbarui upaya ini, seiring dengan berkembangnya perilaku ini, " dia berkata.

Tim operasi penegakan hukum Snapchat di Australia juga mengatakan sudah memberikan data kepada Polisi Federal Australia untuk membantu penyelidikan penjualan obat-obatan keras dan terlarang di Snapchat.

Pakar kejahatan dunia maya dari University of New South Wales, Richard Buckland ada kesulitan untuk mengatasi masalah ini.

"Saya bukannya dengan perusahaan teknologi," kata Profesor Richard.

"Saya tidak ingin ada undang-undang yang nantinya akan mengatakan setiap kali polisi datang minta data, kemudian mereka harus memberikannya."

"Tapi saya pikir perusahaan teknologi harus memiliki orang-orang yang mau terlibat, harus ada upaya yang dilakukan agar membuat mereka sangat termotivasi untuk membantu memecahkan masalah ini."

Apa yang dilakukan perusahaan jejaring sosial?

Snapchat sekarang menjalankan kampanye yang ditargetkan untuk mendidik penggunanya soal fentanil.

Tetapi Amy ingin Snapchat dan jejaring sosial lainnya menginvestasikan uang untuk beriklan atau berkampanye di platform lainnya, seperti papan reklame dan iklan TV.

Dia ingin komite transparansi eksternal untuk mengevaluasi upaya Snapchat, bersama dengan orang tua yang kehilangan anak karena pengedar narkoba di Snapchat.

Amy masih akan terus mendorong Snapchat untuk berbuat lebih banyak lagi demi melarang penjualan obat-obatan di aplikasinya, tapi menuntut perusahaan besar juga ada dampaknya.

"Suatu malam saya sedang duduk depan komputer, ada sebuah artikel berita muncul tentang [CEO Snapchat] Evan Spiegel yang baru saja membeli rumah senilai $ 100 juta dan menyebut Snapchat memiliki tahun terbaiknya," katanya.

"Saya ke sebelah komputer saya, ada foto anak saya dan saya langsung sedih," jelas Amy.

"Saya menangis tak karuan. Yang bisa saya pikirkan adalah Snapchat memiliki tahun terbaik mereka, membeli rumah senilai $ 100 juta, tetapi kematian akibat narkoba mencetak rekor tertinggi, kejahatan online juga ada di rekor tertinggi.

"Bagaimana ini bisa terjadi saat anak-anak kita meninggal?"

Laporan ini dirangkum dan diterjemahkan oleh Erwin Renaldi dari laporannya dalam bahasa Inggris

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI