Dulu Adili Taliban, Jaksa - Pengacara Perempuan Afghanistan Kini Diburu

Reza GunadhaBBC Suara.Com
Rabu, 06 Oktober 2021 | 13:37 WIB
Dulu Adili Taliban, Jaksa - Pengacara Perempuan Afghanistan Kini Diburu
Perempuan Afghanistan [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Farishta adalah seorang jaksa berpengaruh yang menggunakan kekuasaannya demi suatu tujuan. Tapi itu hanya sampai Agustus 2021.

Dia mengadili para pelaku kriminal, anggota kelompok militan Taliban, para birokrat korup, dan pria-pria yang memukuli perempuan dan anak-anak.

Saat ini, Farishta yang berusia 27 tahun, memilih bersembunyi. Seperti buronan, dia acap berpindah-pindah lokasi. Demi keselamatannya, kami mengubah namanya.

Berasal dari provinsi Paktia di wilayah tenggara Afghanistan, Farishta termasuk di antara kaum perempuan Afghanistan yang memperoleh kesuksesan profesional di tahun-tahun setelah Taliban ditaklukkan, menantang negara yang didominasi laki-laki dan kelompok ultra-konservatif.

Baca Juga: PBB Sebut Separuh Balita di Afghanistan Terancam Kekurangan Gizi

Lima tahun lalu, di bawah pemerintahan sebelumnya, dia menjadi jaksa di kantor Jaksa Agung Afghanistan.

Bagian dari pekerjaannya adalah "menuntut dan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang melakukan pemerkosaan, pembunuhan dan kekerasan dalam rumah tangga", katanya kepada BBC dari sebuah rumah persembunyian di Afghanistan.

Itu adalah "pekerjaan penuh tantangan tetapi memuaskan", katanya.

Tetapi ketika Taliban menyapu bersih Afghanistan dalam beberapa bulan, sebelum merebut kembali negara itu, mereka membebaskan para tahanan, termasuk ribuan penjahat kriminal kelas kakap dan anggota militan Islam.

Di antara mereka yang dilepaskan oleh Taliban adalah Mohamad Gol, yang menghadapi tuduhan merencanakan serangan bom bunuh diri.

Baca Juga: Taliban akan Terbitkan Kembali Paspor Untuk Warga Afghanistan

Farishta dengan susah payah mengumpulkan bukti melawan Gol dan berhasil menuntutnya, menempatkannya di balik jeruji besi dengan ancaman hukuman 20 tahun.

Beberapa hari setelah Taliban mengambil alih Kabul, Mohammed Gol mengancamnya, ujar Farishta.

"Dia bilang dia mengejar saya untuk membalas dendam, dan saya tidak bisa bersembunyi di mana pun."

Semenjak saat itulah, dia hidup berpindah-pindah tempat. Tanpa gaji, dia merasa sulit untuk memenuhi kebutuhan.

Farishta dan rekan-rekannya mengatakan bahwa Taliban menentang perempuan yang bekerja sebagai jaksa dan hakim.

Mereka ingin menjauhkan sebagian besar perempuan dari tempat kerja, seperti yang mereka lakukan saat berkuasa hingga akhir 1990-an.

Kaum perempuan seperti Farishta punya alasan kuat untuk takut.

Pada Januari lalu, dua hakim perempuan Mahkamah Agung Afghanistan ditembak mati di Kabul - bagian dari gelombang pembunuhan yang ditargetkan secara luas dengan tuduhan mengarah kepada kelompok Taliban.

Dan dua pejabat hukum yang bekerja di Kementerian Kehakiman Afghanistan tewas di Kabul dalam beberapa pekan terakhir dalam apa yang diyakini sebagai serangan balas dendam.

Kelompok hak asasi internasional termasuk Amnesty dan Human Rights Watch telah melaporkan pembunuhan dan penculikan ekstra-yudisial, meskipun ada kebijakan amnesti yang diumumkan Taliban bagi para pegawai negeri.

Ratusan hakim perempuan bersembunyi saat kelompok itu merebut kekuasaan pada Agustus lalu.

Beberapa di antaranya bergegas meninggalkan negara itu selama evakuasi yang dipimpin AS pada Agustus, dan lainnya ditinggalkannya untuk menghadapi nasib mereka di Afghanistan.

"Saya secara pribadi menerima banyak panggilan telepon dan berbagai ancaman dari Taliban dan anggota kelompok terkaitnya," kata seorang hakim perempuan Afghanistan dari provinsi Parwan, yang berhasil meninggalkan negeri itu.

Hakim perempuan tersebut, yang menjalani profesi ini pada 2018, kini tinggal di Inggris.

Dia mengatakan propertinya, barang-barang miliknya dan semua aset lainnya telah disita oleh Taliban dan kerabatnya berisiko mengalami penganiayaan dari kelompok militan tersebut.

"Para hakim perempuan memainkan peran penting untuk menegakkan supremasi hukum dan memerangi korupsi di dalam institusi penegak hukum," katanya.

"Jika mereka meninggalkan Afghanistan, itu adalah kekosongan besar bagi lembaga yudisial."

Masih ada sekitar 230 hakim perempuan Afghanistan yang masih berada di Afganistan, semuanya kini bersembunyi.

Menurut wawancara dengan para hakim, dan beberapa aktivis yang bekerja atas nama mereka, bekas tempat tinggal mereka telah digeledah dan dijarah, serta para kerabatnya diancam.

"Karier mereka sudah berakhir, rekening bank mereka telah dibekukan, dan masa depan mereka sebagai perempuan di Afghanistan suram," kata Hakim Anisa Dhanji, anggota lembaga non-profit International Association of Women Judges, IAWJ, yang berkedudukan di Inggris.

IAWJ, yang memberikan pelatihan kepada sejumlah hakim perempuan Afghanistan di masa lalu, turun tangan untuk terlibat upaya evakuasi puluhan hakim di tengah kekacauan dan kekerasan di bandara Kabul setelah Taliban mengambil alih.

Ini merupakan operasi kompleks yang melibatkan beberapa tim yang bekerja sepanjang malam dengan bantuan peta dan penerjemah, mengoordinasikan laporan intelijen tentang apa yang terjadi di gerbang bandara Kabul.

Di luar dugaan, ada sekitar 40 hakim perempuan Afghanistan dan keluarganya yang berhasil dievakuasi.

Sebagian besar mereka saat ini berada di AS, Eropa dan beberapa lainnya di Turki, Tajikistan, Iran, dan Teluk. Tapi lebih banyak lagi yang masih tertinggal.

Seorang hakim Afghanistan yang bersembunyi di Kabul mengatakan kepada IAWJ bahwa seorang pria yang dijatuhi hukuman atas tuduhan terorisme tidak hanya dibebaskan, dan mengancamnya, tetapi sekarang telah ditunjuk sebagai hakim Taliban.

Hakim lainnya mengatakan dia akan segera melahirkan dengan operasi caesar sesuai yang direncanakan, namun dia terlalu takut untuk pergi ke rumah sakit dan mengenalkan identitasnya di sana.

Dan di luar kasus-kasus yang mengejutkan ini, hilangnya secara tiba-tiba sistem peradilan merupakan pukulan telak bagi kaum perempuan yang mencari keadilan di Afghanistan.

"Karena pengadilan ditutup, perempuan tidak memiliki jalan untuk mengadukan kasus pemerkosaan atau pelecehan oleh suaminya dan laki-laki lain," kata Zainab, pengacara independen yang menjalankan sebuah firma hukum di sejumlah kota Afghanistan, yang namanya telah kami ubah.

"Tidak ada yang maju untuk mempersoalkannya, karena tidak ada pengacara perempuan lagi," katanya.

Semua kantor Zainab telah ditutup dan 15 stafnya kehilangan pekerjaan. Dia menerima ancaman, katanya, dari seorang pria dari Herat yang dia tuntut karena penyerangan seksual tetapi dibebaskan oleh Taliban.

"Dia berkata, 'Saya akan menemukan Anda, bahkan jika Anda bersembunyi di Herat, dan saya akan menyerahkan Anda kepada Taliban'."

Juru bicara Taliban membantah bertanggung jawab atas ancaman dan penggeledahan properti para hakim perempuan dan pejabat hukum lainnya.

"Kami menolak tuduhan ini, para petempur kami tidak akan pernah melakukan hal seperti itu," kata Zabihullah Mujahid kepada BBC.

Ditanya apakah para hakim dan jaksa perempuan akan diizinkan kembali bekerja, Mujahid berkata, "Sebuah keputusan akan dibuat dan kerangka kerja sedang dalam proses. Nanti semuanya akan menjadi jelas."

Para pegiat mengatakan waktu hampir berakhir bagi para pengacara dan hakim perempuan Afghanistan yang tengah bersembunyi.

"Yang mendesak saat ini adalah membantu mereka yang ingin pergi," kata Hakim Dhanji.

"Nyawa mereka dan kehidupan keluarganya dalam bahaya. Mereka diburu hanya karena telah mengadili para pria."

Berdasarkan laporan wartawan BBC di Afghanistan Mahfouz Zubaid.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI