Suara.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengklaim saat ini kondisi penurunan muka tanah ibu kota sudah mulai melambat dibanding sebelumnya. Pemungutan pajak air tanah dianggap sebagai salah satu faktornya.
Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) Yusmada Faizal menyebut saat ini penurunan tanah di Jakarta berkisar pada 5-10 sentimeter. Hal ini terjadi karena pajak air tanah untuk sektor komersial membuat penyedotan air menjadi berkurang.
"Kalau dulu kan (tanah turun) 20 sentimeter per tahun, kalau sekarang di bawah 10 sentimeter, ada yang lima senti malah. Itu dampaknya (aturan pajak air tanah) signifikan terhadap penurunan tanah," ujar Yusmada saat dikonfirmasi, Rabu (6/10/2021).
Ia mencontohkan penyedotan air tanah paling parah di sekitar tahun 1995. Tiap tahunnya, air tanah yang disedot mencapai 30 juta meter kubik.
Baca Juga: Jakarta Terancam Tenggelam: Kenapa Larangan Eksploitasi Air Tanah Sulit Diterapkan?
"Kalau sekarang, tahun lalu sudah di angka 8 juta. Menurun penggunaan air tanah itu, berbarengan dengan penurunan tanah," katanya.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 17 Tahun 2010 disebut pajak air tanah ditetapkan sebesar 20 persen. Harga ini disebutnya terlampau mahal bagi sektor komersial.
"Pajak air tanah itu mahal sekali dibandingkan air pipa," jelasnya.
Ke depannya, Yusmada berencana terus mengurangi penggunaan air tanah dengan membuat aturan kawasan bebas air tanah. Namun, regulasi ini harus dibarengi dengan jaringan air perpipaan kepada masyarakat luas.
"Aturan itu sedang dibahas untuk wilayah yang sudah dilayani air perpipaan itu akan dibikin kebijakan tidak lagi menyedot. Kami sedang rumuskan," pungkasnya.
Baca Juga: Soal Wacana Warga Dilarang Gunakan Air Tanah, Pemprov DKI: Tak Pantas kalau Kita Melarang